Mahmud Yunus memperoleh gelar doctor honoris causa dari IAIN Syarif Hidayatullah (kini UIN), Jakarta. Ia dikenal sebagai tokoh pendidikan Islam Indonesia yang gigih memperjuangkan masuknya pendidikan agama ke sekolah umum dan ikut memperjuangkan berdirinya PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri).
Sejak kecil ia sudah mempunyai kecenderungan pada pengetahuan agama. Ketika berumur 7 tahun, ia belajar membaca Al-Qur’an di bawah bimbingan kakeknya, M. Thahir (Engku Gadang). Kemudian setelah menamatkan Al-Qur’an ia menggantikan kakeknya sebagai guru.
Dua tahun berikutnya ia melanjutkan studi ke sekolah desa dan kemudian meneruskan ke Madras School yang dibuka 4 November 1910. Tahun 1917 Mahmud Yunus bersama teman-temannya mengajar di Madras School dan mulai memperbarui sistem kegiatan belajar mengajar dengan menambah sistem halaqah (belajar secara melingkar sekitar guru) di samping sistem madrasah dengan mengajarkan kitab-kitab mutakhir.
Di samping sebagai guru, Mahmud Yunus juga me lakukan kegiatan penting lainnya seperti mewakili Syekh H M. Thaib (pemimpin madrasah) menghadiri rapat besar alim ulama seluruh Minangkabau (1919). Dalam rapat besar itu diputuskan untuk mendirikan Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI) dan Mahmud Yunus termasuk salah seorang anggotanya.
Kegiatan lain adalah memprakarsai pendirian Perkumpulan Pelajar-Pelajar Islam Batusangkar dengan nama Sumatra Thawalib. Pada 1920 perkumpulan ini menerbitkan majalah Islam al-Basyir di bawah asuhan Mahmud Yunus.
Kegiatan-kegiatan tersebut menimbulkan semangatnya untuk melanjutkan studi ke Mesir, namun gagal karena tidak memperoleh visa dari Konsul Inggris. Karena kegagalan ini Mahmud Yunus mengintensifkan dirinya menulis buku di samping mengajar.
Maret 1923 Mahmud Yunus menunaikan ibadah haji lewat Penang, Malaysia. Setelah menunaikan ibadah haji, ia belajar di Mesir untuk melanjutkan studi yang selama ini menjadi cita-citanya. Ia memulai studinya di al-Azhar (1924) dan di Darul Ulum Ulya (Cairo) sampai 1930.
Setelah kembali ke Indonesia (1930) Mahmud Yunus memperbarui madrasah yang pernah dipimpinnya di Sun gayang dengan nama al-Jami‘ah al-Islamiyyah, di samping mendirikan sebuah sekolah yang kurikulumnya memadukan ilmu pengetahuan agama dan umum, yakni Normal Islam.
Madrasah inilah yang pertama kali memiliki laboratorium untuk ilmu fisika dan kimia di Sumatera Barat. Pembaruan di dua madrasah ini diutamakan pada perubahan metode mengajar bahasa Arab. Keberhasilannya dalam memper barui dua madrasah ini menumbuhkan keinginan Mahmud Yunus untuk mendirikan Sekolah Tinggi Islam di Padang dan terwujud 1 November 1940.
Akan tetapi pada 1 Maret 1942 Sekolah Tinggi Islam ini terpaksa ditutup, sebab Jepang tidak menginginkan adanya sekolah tinggi semacam itu. Di samping kegiatan bidang pendidikan, Mahmud Yunus juga berkecimpung di dunia jurnalistik, yakni memelopori ber dirinya berbagai majalah di Sumatera Barat, seperti al-Basyir, al-Munir al-Manar di Padangpanjang, al-Bayan di Bukittinggi, dan al-Itqan di Maninjau.
Di bidang politik Mahmud Yunus ikut memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan RI. Tahun 1943 ia terpilih sebagai penasihat residen mewakili Majelis Islam Tinggi dan pada tahun yang sama menjadi anggota Chu Sangi Kai. Sebagai penasihat residen, Mahmud Yunus mengusahakan masuknya pendidikan agama di sekolah-sekolah pemerintah.
Sebelum Indonesia merdeka, di Minangkabau telah berdiri dua organisasi, yaitu Majelis Islam Tinggi Minangkabau (MIT) dan Pemuda-Pemuda Bekas Gyugun yang didirikan Jepang.
Mahmud Yunus memegang peranan penting dalam kedua organisasi ini dan menyatakan siap menyambut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Di sela tugasnya ini Mahmud Yunus menye lesaikan terjemahan Al-Qur’an Tafsir Qur’an Karim Bahasa Indonesia (30 juz).
Sejak 1947 ia hijrah ke Pematangsiantar untuk memegang dua tugas, yakni kepala bagian Islam pada Jawatan Agama Propinsi Sumatera Utara dan anggota Komite Nasional Propinsi Sumatera.
Ia mengusulkan kepada PPK (sekarang Kanwil Diknas) Propinsi Sumatera agar pelajaran agama dimasukkan dalam daftar pengajaran sekolah-sekolah negeri mulai dari SD sampai SMA. Usul tersebut diterima dengan baik oleh PPK Propinsi Sumatera.
Setelah Pematangsiantar diserang dan dikuasai Belan da, ibukota Propinsi Sumatera dipindahkan ke Bukittinggi, sehingga administrasi juga turut dipindahkan. Mahmud Yu nuspun ikut pindah. Ketika Belanda menyerang Bukittinggi, Januari 1949, gubernur dan semua karyawannya mengungsi ke daerah pedalaman, sementara Mahmud Yunus mengungsi ke kampung halamannya.
Pada 1 Januari 1951 ia dipercayakan menjadi kepala pen ghubung pendidikan agama pada Departemen Agama di Jakarta oleh KH Abdul Wahid Hasyim selaku menteri agama waktu itu. Dalam jabatan ini Mahmud Yunus di bawah pimpinan menteri agama mengeluarkan ketetapan-ketetapan yang cukup penting menyangkut pendidikan Islam di Indonesia, yakni:
(1) mewujudkan peraturan bersama Menteri P & K dan Menteri Agama RI tentang pendidikan agama di sekolah-sekolah swasta;
(2) mendirikan PGA (Pendidikan Guru Agama) pada 1951 di delapan kota: Tanjungpinang, Kotaraja, Padang, Banjarmasin, Jakarta, Tanjungkarang, Bandung, dan Pamekasan;
(3) menetapkan rencana pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah dasar, dari kelas IV sampai kelas VI, demikian juga di sekolah menengah; dan
(4) mewujudkan peraturan bersama Menteri P & K dan Menteri Agama tentang peraturan PTAIN di Yogyakarta.
Setelah berdirinya PTAIN di Yogyakarta, Mahmud Yunus diminta untuk menjadi salah seorang dosennya, namun ia menolak tawaran itu dengan alasan bahwa perguruan tinggi harus berada di pusat (Jakarta), dan ia berusaha untuk mendirikan PTAIN di Jakarta.
Usaha ini ternyata gagal karena ditolak Menteri P & K mengingat SK bersama itu menetapkan bahwa PTAIN hanya satu dan berada di Yogyakarta. Akhirnya, Mahmud Yunus beserta kawan-kawan mendirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA).
Mahmud Yunus yang kemudian menjadi dekan ADIA mengusulkan kepada Menteri Agama agar ADIA dapat menjadi sebuah perguruan tinggi yang dapat meluluskan sarjana penuh.
Di samping mengemban tugas seperti di atas, Mahmud Yunus sering menghadiri forum-forum internasional. Beberapa di antaranya adalah:
(1) 1961, ketika menjabat dekan pada Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta, ia mendapat tugas untuk mempelajari pendidikan agama di sembilan negara: Mesir, Arab Saudi, Suriah, Libanon, Yordania, Turki, Irak, Tunisia, dan Maroko;
(2) 1962 Mahmud Yunus ke Arab Saudi untuk menghadiri sidang Majlis A‘la Istisyari al-Jami‘ah al-Islamiyyah; dan
(3) 1964 dan 1966 ke Cairo untuk mengikuti Muktamar ke-1 dan ke-2 Majma‘ al-Buhuts al-Islamiyyah.
Mahmud Yunus termasuk seorang tokoh yang aktif dan produktif dalam menulis. Tidak kurang dari 49 karyanya dalam bahasa Indonesia dan 26 dalam bahasa Arab, antara lain Pokok-Pokok Pendidikan/Pengajaran (Dikdaktik Umum), Metodik Khusus Pendidikan Agama, Sejarah Pendidikan Islam Indonesia, Tafsir Al-Qur’an (30 juz), Kamus Arab-Indonesia, al-Adyan, al-Masa’il al-Fiqhiyyah ‘Ala al-Madzahib al-Arba‘ah, at-Tarbiyyah wa at-Ta‘lim, dan ‘Ilm an-Nafs.
Sementara yang dicetak dalam huruf Arab Melayu, antara lain Kitab Shalat (1921), Terjemahan Al-Qur’an I (1922), Jalan Selamat (1922), Hikayat Nabi Muhammad (1922), dan Terjemahan Al-Qur’an II (1922).
DAFTAR PUSTAKA