Mahmud Yunus

(Batusangkar, Sumatera­ Barat,­ 10 Februari 1899–Jakarta, 16 Januari 1982)

Mahmud Yunus memperoleh­ gelar doctor honoris causa dari IAIN Syarif Hidayatullah (kini UIN), Jakarta. Ia dikenal sebagai tokoh pendidikan Islam Indonesia yang gigih memperjuangkan masuknya pendidikan agama ke sekolah umum dan ikut memperjuangkan berdirinya PTAIN (Pergu­ruan Tinggi­ Agama Islam Negeri).

Sejak kecil ia sudah mempunyai kecenderungan­ pada pengetahuan agama. Ketika berumur 7 tahun, ia belajar membaca Al-Qur’an di bawah bimbingan kakeknya, M. Thahir (Engku Gadang)­. Kemudian setelah menamatkan Al-Qur’an ia menggantikan ka­keknya­ sebagai guru.

Dua tahun berikutnya ia melanjutkan studi ke sekolah desa dan kemudian menerus­kan ke Madras School yang dibuka 4 November­ 1910. Tahun 1917 Mahmud Yunus bersama teman-temannya mengajar di Madras School dan mulai memperbarui sistem kegiatan belajar mengajar dengan menambah sistem halaqah (belajar secara melingkar sekitar guru) di samping sistem madrasah dengan mengajarkan­ kitab-kitab mutakhir­.

Di samping sebagai guru, Mahmud Yunus juga me­ lakukan kegiatan penting lainnya seperti­ mewakili Syekh H M. Thaib (pemimpin madrasah)­ menghadiri rapat besar alim ulama seluruh Minangkabau (1919). Dalam rapat besar itu diputuskan untuk mendirikan Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI) dan Mahmud Yunus termasuk salah seorang anggotanya.

Kegiatan­ lain adalah memprakarsai pendirian Perkumpulan­ Pe­lajar-Pelajar Islam Batusangkar de­ngan nama Sumatra Thawalib. Pada 1920 perkumpulan ini menerbitkan majalah Islam al-Basyir di bawah asuhan Mahmud Yunus.

Kegiatan-kegiatan tersebut menimbulkan se­mangatnya untuk melanjutkan studi ke Mesir, namun gagal karena tidak memperoleh visa dari Konsul Inggris. Karena ke­gagalan ini Mahmud Yunus mengintensifkan dirinya­ menulis buku di samping mengajar.

Maret 1923 Mahmud Yunus menunai­kan­ ibadah haji lewat Penang, Malaysia. Setelah me­nunaikan ibadah haji, ia belajar di Mesir untuk melanjutkan studi yang selama ini menjadi cita-citanya. Ia memulai studinya di al-Azhar (1924) dan di Darul Ulum Ulya (Cairo) sampai 1930.

Setelah kembali ke Indonesia (1930) Mahmud Yunus memperbarui madrasah yang pernah dipimpinnya di Sun­ gayang dengan nama al-Jami‘ah al-Islamiyyah, di samping mendirikan sebuah seko­lah yang kurikulumnya memadukan ilmu pengetahuan­ agama dan umum, yakni Normal Islam.

Madrasah­ inilah yang pertama kali memiliki laboratorium­ untuk ilmu fisika dan kimia­ di Sumatera Barat. Pembaruan di dua madrasah­ ini diutamakan pada perubahan­ metode mengajar­ bahasa Arab. Keberhasilannya dalam memper­ barui dua madrasah­ ini menumbuhkan keinginan Mahmud Yunus untuk mendirikan Sekolah­ Tinggi Islam di Padang dan terwujud 1 November 1940.

Akan tetapi pada 1 Maret 1942 Sekolah Tinggi Islam ini terpaksa ditutup, sebab Jepang tidak menginginkan adanya sekolah tinggi semacam itu. Di samping kegiatan bidang pendidikan,­ Mahmud Yunus juga berkecimpung­ di dunia jurnalistik,­ yakni memelopori ber­ dirinya berbagai maja­lah di Sumatera Barat, se­perti al-Basyir, al-Munir al-Manar di Padangpanjang, al-Bayan di Bukittinggi, dan al-Itqan di Maninjau.

Di bidang politik Mahmud Yunus ikut memperjuangkan­ dan mempertahankan kemerdekaan RI. Tahun 1943 ia terpi­lih sebagai penasihat residen­ mewakili Majelis Islam Tinggi dan pada tahun­ yang sama menjadi anggota Chu Sangi Kai. Sebagai penasihat residen, Mahmud Yunus mengusahakan­ masuknya pendidikan agama di sekolah-sekolah pemerintah­.

Sebelum Indonesia merdeka,­ di Minang­kabau­ telah berdiri­ dua orga­nisasi, yaitu Ma­je­lis Islam Tinggi Mi­nang­kabau (MIT) dan Pemuda-Pemuda Bekas Gyugun yang didirikan­ Jepang.

Mahmud­ Yunus memegang­ peranan­ penting­ dalam kedua organisasi ini dan menyatakan­ siap menyambut dan mem­pertahankan kemerdekaan Indonesia. Di sela tugasnya ini Mahmud­ Yunus menye­ lesaikan terjemahan Al-Qur’an Tafsir­ Qur’an Karim Bahasa Indonesia­ (30 juz).

Sejak 1947 ia hijrah ke Pematangsiantar untuk memegang dua tugas, yakni kepala bagian Is­lam pada Jawatan Agama Pro­pinsi Sumatera Utara dan anggota Komite Na­sional Propinsi­ Sumatera.

Ia mengusulkan­ kepada PPK (seka­rang Kanwil Diknas) Propinsi Sumatera agar pe­lajaran agama dimasukkan dalam daftar pengajaran sekolah-sekolah negeri mulai dari SD sampai­ SMA. Usul tersebut diterima den­gan baik oleh PPK Propinsi Sumatera.

Setelah Pematangsiantar diserang dan dikuasai­ Belan­ da, ibukota Propinsi Sumatera dipindahkan ke Bukittinggi, sehingga administra­si­ juga turut dipindahkan. Mahmud Yu­ nuspun ikut pindah. Ketika Belanda­ menyerang Bukittinggi, Ja­nuari 1949, gubernur dan semua karyawannya­ mengungsi ke daerah pedalaman, sementara Mahmud Yunus mengungsi ke kampung halamannya.

Pada 1 Januari 1951 ia dipercayakan menjadi kepala pen­ ghubung pendidikan agama pada­ Departemen Agama di Jakarta oleh KH Abdul Wahid Hasyim selaku menteri agama waktu itu. Dalam jabatan ini Mahmud Yunus di bawah pimp­inan menteri agama mengeluarkan ketetapan-ketetapan yang cukup penting me­nyangkut pendidikan Islam di In­donesia, yakni:

(1) mewujudkan­ peraturan bersama­ Menteri P & K dan Menteri Agama RI tentang pendidikan­ agama di sekolah-sekolah swasta;

(2) mendirikan PGA (Pendidikan Guru Agama) pada 1951 di delapan kota: Tanjungpinang, Kotaraja, Padang,­ Banjarmasin, Jakarta, Tanjungkarang, Bandung, dan Pameka­san;­

(3) menetapkan­ rencana pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah dasar,­ dari kelas IV sampai kelas VI, demikian juga di sekolah menengah; dan

(4) mewujudkan peraturan­ bersama Menteri­ P & K dan Menteri Agama tentang peraturan PTAIN di Yogyakarta.

Setelah berdirinya PTAIN di Yogyakarta, Mahmud Yunus diminta untuk menjadi salah seorang­ dosennya, namun ia menolak tawaran itu dengan alasan bahwa perguruan ting­gi harus berada­ di pu­sat (Jakarta), dan ia berusaha untuk mendirikan PTAIN di Jakarta.

Usaha ini ternyata gagal karena ditolak Menteri P & K mengingat SK bersama itu menetapkan bahwa PTAIN hanya satu dan berada di Yogyakarta. Akhirnya, Mahmud Yunus beserta kawan-kawan mendirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA).

Mahmud Yunus yang kemudian menjadi dekan ADIA mengusulkan kepada Menteri­ Agama agar ADIA dapat menjadi sebuah perguruan tinggi yang dapat meluluskan sarjana penuh.

Di samping mengemban tugas seperti di atas, Mahmud Yunus sering menghadiri forum-forum­ internasional­. Beber­apa di antaranya adalah:

(1) 1961, ketika menjabat­ dekan pada Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta, ia mendapat­ tugas­ untuk mempelajari pendidikan agama di sembilan nega­ra:­ Mesir, Arab Saudi, Suriah, Libanon, Yordania, Turki, Irak, Tunisia, dan Maroko;

(2) 1962 Mahmud Yunus ke Arab Saudi untuk menghadiri sidang Majlis A‘la Istisyari al-Jami‘ah al-Islami­yyah; dan

(3) 1964 dan 1966 ke Cairo untuk mengikuti Muktamar ke-1 dan ke-2 Majma‘ al-Buhuts al-Islamiyyah.

Mahmud Yunus termasuk seorang tokoh yang aktif dan produktif dalam menulis. Tidak kurang dari 49 karya­nya dalam bahasa Indonesia dan 26 dalam bahasa Arab, antara lain Pokok-Pokok Pendidikan/Pengajaran (Dikdaktik Umum), Meto­dik­ Khusus Pendidikan Agama, Sejarah Pendidikan­ Islam Indonesia, Tafsir Al-Qur’an (30 juz), Kamus Arab-Indonesia, al-Adyan, al-Masa’il al-Fiqhiyyah ‘Ala al-Madzahib al-Arba‘ah, at-Tarbiyyah wa at-Ta‘lim, dan ‘Ilm an-Nafs.

Sementara yang dicetak dalam huruf Arab Melayu, antara lain Kitab Shalat (1921), Terjemahan Al-Qur’an I (1922), Jalan Selamat­ (1922), Hikayat Nabi Muhammad­ (1922), dan Terjemahan Al-Qur’an II (1922).

DAFTAR PUSTAKA

Roger, O.G. Who’s who in Indonesia. Jakarta: Gunung Agung, 1971.
Yunus, Mahmud. Metodik Khusus Pendidikan Agama. Jakarta: Hidakarya Agung, 1983.
–––––––. Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hadikarya, 1977.
–––––––. Riwayat Hidup Prof. Dr. H Mahmud Yunus. Jakarta: Hidakarya, 1982.
–––––––. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hidakarya, 1979.
SYAHRIN HARAHAP