Mahkamah

(Ar.: Mahkamah)

Mahkamah adalah tempat hakim atau kadi melaksanakan sidang pengadilan dalam menyelesaikan suatu perkara. Mahkamah baru dikenal pada zaman khalifah ketiga, Us­man bin Affan (576–656) yang memerintah 644–656.

Pada zaman Rasulullah SAW, mahkamah sebagai­ tempat menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya belum ditentukan secara khusus. Setiap­ perkara yang ada dan dia­ jukan kepada Rasulullah­ SAW diselesaikan pada tempat ia berada ketika kasus tersebut diajukan kepadanya. Oleh sebab itu penyelesaian perkara bisa dilakukan di masjid, di rumah Nabi Muhammad SAW sendiri, di jalan, di perkampungan­ penduduk Badui, maupun di tempat lainnya.

Di zaman Nabi Muhammad SAW belum ada gedung­ pengadilan yang khusus diba­ngun untuk menye­lesaikan perkara seperti yang dikenal sekarang. Karenanya, istilah “mahkamah” itu sendiri belum lahir pada masa awal Islam.

Tempat khusus untuk menyelesaikan suatu perkara di zaman tersebut tidak diperlukan karena kebutuhan untuk itu belum ada karena umat Islam belum terlalu banyak. Yang lebih penting­ adalah penentuan hakim. Untuk Madinah, yang bertindak sebagai hakim pada waktu itu adalah Nabi SAW sendiri. Dalam sejarah peradilan Islam di zaman Nabi SAW terdapat­ hakim yang ditunjuknya untuk beberapa dae­rah, namun Nabi SAW tidak pernah menentukan tempat tertentu yang harus ditempati seorang­ hakim dalam menyelesaikan perkara.

Demikian pula halnya di zaman Abu Bakar as-Siddiq. Pada masa tersebut juga belum ditentu­kan tempat khusus sebagaimana yang dikenal sekarang­ dengan sebutan mah­kamah (gedung peradilan)­ sebagai tempat menyelesaikan­ perkara yang terjadi.

Selanjutnya pada masa Umar bin Khattab terjadi pemi­sahan kekuasaan peradilan dari tangan khalifah. Walaupun demikian sejarah tidak menyebutkan­ adanya tempat khusus bagi para kadi untuk menyelesaikan suatu perkara. Biasanya yang dijadikan­ tempat tersebut, baik di masa Khalifah Abu Bakar maupun Umar, adalah masjid. Di masjidlah segala per­kara yang diajukan diselesaikan oleh pa­ra kadi. Akan tetapi penentuan kota dan wewenang yurisdiksi kadi telah dilaku­kan sejak zaman Umar. Umpamanya,­ Abu Darda ditunjuk sebagai kadi di Madinah dan Syuraih bin Amir di Mesir. Selain itu ada kadi khusus untuk kasus perdata dan lain se­bagainya.

Baru pada masa Usman, istilah “mahkamah” se­bagai tem­pat khusus untuk menyelesaikan perkara oleh hakim atau kadi dikenal. Usman adalah khalifah­ pertama yang mendiri­kan gedung pengadilan secara khusus.

Permasalahan mahkamah khusus dalam menangani­ perkara peradilan lebih merupakan kebutuhan­ zaman dan perkembangan masyarakat. Dalam­ masyarakat yang masih sedikit dan sederhana agaknya tempat khusus untuk per­adilan belum diperlukan­. Akan tetapi dalam masa selanjutnya­ hal tersebut diperlukan. Pemisahan antara kekuasaan­ ekseku­tif dan kekuasaan yudikatif pada gilirannya juga memerlukan penataan teknis terhadap kekuasaan yudikatif tersebut. Oleh sebab itu dalam Tarikh al-Qadha’ (Sejarah Peradilan Islam) terlihat bahwa ulama telah berusaha menjelaskan berbagai permasalahan menyangkut­ peradilan, baik yang menyangkut materi hukum maupun pelaksana peradilan dan perang­kat peradilan lainnya.

Dalam hadis Nabi SAW misalnya dikatakan: “Seorang hakim tidak boleh memutus perkara, sedangkan­ dia dalam keadaan marah” (HR. Bukhari dan Ahmad bin Hanbal). Dari hadis ini, ulama menyimpulkan bahwa situasi dan kondisi seorang hakim dalam menghadapi suatu perkara harus da­ lam keadaan mental yang stabil, tidak terganggu pikirannya, dan suasananya pun harus nyaman. Sebagai konsekuensinya, untuk mendukung suasana terse­but, suasana­ peradilan har­uslah menyenangkan, termasuk tentunya tempat bersidang. Untuk itu permasalahan tempat menyele­sai­kan perkara (mahkamah) lebih merupakan perangkat­ kebutuhan dalam rangka menyempurnakan­ hakikat peradilan­ itu sendiri. Oleh karena­nya hal ini berkembang sesuai dengan perkem­bangan zaman serta masyarakat Islam itu sendiri.

Sejalan dengan terjadinya dualisme hukum di dunia Islam sejak abad ke-18, yakni di Turki dan Mesir, dikenal beberapa gedung peradilan yang mengikuti­ wewenang masing-mas­ing peradilan yang ada. Umpamanya dikenal nama Mahkamah Syar‘iyah, Mahkamah Qansuliyah, dan Mahkamah Ahliyah. Penamaan ini lebih menunjukkan wilayah yuridis masing-masing peradilan tersebut­. Misalnya, ada peradilan khusus yang menangani hukum syarak dan kasus orang as­ing atau juga kasus antarpribumi, dan bahkan ada peradilan khusus untuk penganut agama tertentu di Turki pada abad ke-18 dan ke-19. Untuk tiap jenis peradilan tersebut, ada ge­dung khusus yang dibuat untuk masing-masing peng­adilan.

Di Indonesia, istilah “mahkamah” untuk arti “tempat men­gadili” (lembaga peradilan), masih tetap ada, yaitu untuk Mahkamah Militer (Mahmil) dan Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti) da­lam lingkungan Peradilan Militer. Demikian pula halnya dengan Mahkamah Agung, yang merupakan pengadilan tertinggi negara Republik­ Indonesia. Dahulu, istilah ‘mahkamah” juga terdapat dalam lingkungan peradilan agama di Indonesia, seperti Mahkamah Islam Tinggi (MIT) untuk pengadilan tinggi agama di daerah Jawa dan Ma­dura dan Mahkamah Syar‘iyah serta Mahkamah Syar‘iyah Propinsi masing-masing untuk penga­dilan agama tingkat pertama dan tingkat banding di daerah luar Jawa, Madura, dan Residensi Kalimantan Selatan serta (sebagian) Ti­mur.

Tetapi kini, istilah “mahkamah” di lingkungan peradilan ag­ama sudah tidak digunakan lagi karena telah dihapuskan Peraturan Menteri Agama RI No. 6 th. 1980 dan bahkan oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 tentang Peradilan Agama. Undang-Undang ini menggunakan istilah Pengadilan Agama untuk­ tingkat pertama­ dan Pengadilan Tinggi Agama untuk tingkat banding.

Akan tetapi pada 4 Maret 2003 Menteri Agama Said Agil al-Munawar meresmikan berdirinya Mahkamah Syar‘iyah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Dasar hukum pembentukan Mahkamah Syar‘iyah di NAD adalah Un­dang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus DI Aceh sebagai Propinsi NAD. Di tingkat propinsi, pengadilan tinggi dinamakan Mahkamah Syar‘iyah tingkat Propinsi, se­dangkan pengadilan negerinya menjadi Mahkamah Syar‘iyah.

Namun dalam pelaksanaannya hukum Islam belum sepenuhnya diterapkan, karena belum lengkapnya atur­an petunjuk pelaksanaan yang disebut Qanun (Qanun). Qanunlah yang akan menjadi pedoman hukum dan tata laksana kehidupan di Aceh. Hingga 2003, Qanun yang telah disahkan baru berjumlah dua buah, yakni Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang lembaga Mahkamah Syar‘iyah dan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang pe­laksanaan akidah, ibadah, dan syariat Islam.

 

Daftar Pustaka

Madkur, Muhammad Salam. al-Qadha’ fi al-Islam. Beirut: Dar al-Fikr, 1974.
al-Mawardi. Adab al-Qadha. Baghdad: Matba‘ah al-Irsyad, 1971.
–––––––. al-Ahkam as-Sultaniyyah. Cairo: al-Babi al-Halabi, 1973.
al-Qasimi, Zafir. Nizam al-hukm fi asy-Syari‘ah wa at-Tarikh, as-Sultan al-Qadha’iyyah. Beirut: Dar an-Nafa’is, 1978.

Nasrun Haroen