Naguib Mahfouz adalah seorang sastrawan, pemikir, penulis novel dan cerita pendek, serta cendekiawan muslim terkemuka dari Mesir yang berpengaruh di Dunia Arab yang memperoleh hadiah Nobel bidang sastra pada 1988.
Nama lengkapnya adalah Naguib Mahfouz Abdul Aziz. Ketika berusia 6 tahun, ia bersama keluarganya pindah ke Madinah al-‘Abbasiyah, sebuah perkampungan modern di sebelah timur laut kota Cairo. Pada masa kanak-kanak ia ter jangkit penyakit epilepsi, yang memaksanya banyak tinggal di rumah.
Di tempatnya yang baru inilah ia masuk sekolah dasar dan menyelesaikannya pada 1925. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya ke sekolah lanjutan tingkat pertama.
Sejak duduk di bangku sekolah dasar dan awal sekolah menengah tingkat pertama, Naguib Mahfouz sudah rajin membaca buku cerita anak-anak, terutama buku terjemahan dari bahasa Eropa. Pada mulanya, secara kebetulan, ia mem injam buku cerita kepada temannya.
Namun, didorong rasa ingin tahu dan tertarik dengan ceritanya, ia pun membeli sendiri buku-buku cerita itu. Hal itu terjadi ketika ia berusia sekitar 10 tahun dan duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar. Menurutnya, buku-buku tersebut betul-betul menumbuhkan dan mengembangkan daya khayal/imajinasi, sampai-sampai ia menangis ketika membaca cerita sedih, atau tertawa ketika membaca cerita lucu.
Pada masa selanjutnya, tepatnya ketika ia duduk di bangku sekolah menengah, sesuai dengan bertambahnya usia dan berkembangnya wawasan, ia mulai membaca tulisan tentang politik, dan berita tentang peristiwa aktual di surat kabar, terutama peristiwa politik.
Setelah itu, kegemarannya juga tumbuh dalam membaca karya sastra, seni, dan artikel ilmiah. Dalam waktu tidak lama setelah itu, Naguib Mahfouz juga gemar membaca tulisan yang berkaitan dengan pemikiran, intelektualitas, dan kritik sastra, seperti karya Thaha Husein, seorang ahli sastra dan budaya Mesir.
Setelah menyelesaikan pendidikan tingkat menengah, pada 1930 ia melanjutkan studinya ke Fakultas Adab Jurus an Filsafat Universitas Cairo. Bacaan nya pun beralih ke buku-buku filsafat. Setelah menamatkan pendidikan tingkat sarjananya (S1) pada 1934, ia meneruskan studinya ke tingkat magister yang juga dalam bidang filsafat.
Ketika masuk, ia sudah merencanakan penulisan tesis magister yang berjudul Mafhum al-Jamal fi al-Falsafah al-Islamiyyah (Keindahan dalam Perspektif Filsafat Islam). Akan tetapi, ia tidak menye lesaikan tesisnya itu, dan memilih untuk bekerja sebagai pegawai negeri.
Kariernya sebagai pegawai negeri dilaluinya dengan baik. Pada 1954, Naguib Mahfouz bekerja pada bagian film di Kementerian Kebudayaan, dan pada 1965 terpilih menjadi anggota Majelis Tinggi Pembinaan Kesenian dan Kesusas traan.
Setelah itu, ia menjadi staf ahli menteri Kebudayaan sampai masa pensiun pada 1971. Ketika itu, ia menjadi anggota dewan redaksi surat kabar al-Ahram, penanggung jawab bidang kesusastraan.
Sejarah hidupnya sebagai seorang penulis dan sastrawan dimulai ketika ia duduk di perguruan tinggi. Sebagaimana layaknya seorang mahasiswa, ketika duduk di bangku kuliah, ia mulai menulis makalah ilmiah.
Sejak 1930 sampai 1934, ia telah menghasilkan lebih dari 30 makalah. Namun, pada masa yang sama, ia mulai menyadari bahwa bakatnya terletak pada bidang sastra. Karena itu, pada 1935–1937 ia menulis karya sastra, di samping makalah ilmiah. Ia menekuni aktivitas itu sampai akhirnya dengan sadar ia meninggalkan penulisan makalah filsafat dan bahkan meninggalkan kuliahnya di program magister, untuk memusatkan perhatian pada penulisan karya sastra.
Pada mulanya tulisannya didominasi bentuk cerita pendek, dan pada 1937 ia mulai banyak menghasilkan karya sastra dalam bentuk novel. Baginya, menulis novel ada lah kerja yang mengasyikkan, karena tulisan dalam bentuk ini mencakup hampir segala aspek sastra, bahkan juga kesenian, yang dapat mewadahi seseorang untuk mengekspresikan segala peran kejiwaannya.
Sementara itu, ia juga mulai terlibat secara emosional dengan perkembangan politik, yang membuat semangat nasionalismenya meningkat. Ia juga aktif mengikuti kuliah sejarah klasik Mesir. Studinya ini menumbuhkan minatnya menulis novel sejarah, termasuk novel sejarah Mesir pada periode Fir’aun, yang dianggap periode kejayaan Mesir klasik.
Bahkan belakangan, ia pun beralih dari novel sejarah ke novel yang menggambarkan kehidupan modern di Mesir yang mengandung problem dan pemikiran sosial, seperti persoalan ekonomi dan politik.
Dari 1930, ketika ia mulai duduk di bangku kuliah, sampai 1946, ketika ia telah menghasilkan setidaknya 144 tulisan, yaitu 32 tulisan makalah filsafat, 15 makalah tentang kesenian, 73 cerita pendek, dan 24 karya sastra yang dihimpun menjadi sebuah bunga rampai yang berjudul Majmu‘ah Hamasy al-Junun. Naguib Mahfouz mengatakan,
“Ketika mulai menulis sastra realis itu, sangat saya ras akan bahwa gaya bahasaku dipengaruhi gaya bahasa Eropa. Namun, saya berusaha keras mendapatkan gaya bahasa sendiri yang orisinal. Saya tidak ingin menjiplak. Saya ingin mendapatkan gaya bahasa sendiri.”
Dengan bahasa seperti itu, Naguib Mahfouz menulis karyanya pada periode itu, seperti Mesir Modern (1945), Khan al-Khalili (1946), Zuqaq al-Midaq (Fatamorgana, 1948), dan Bidayah wa Nihayah (Awal dan Akhir).
Perubahan politik dalam masyarakat pada umumnya, tidak saja membawa pengaruh terhadap novel yang di tulisnya, tetapi juga bahkan pada semangat menulisnya. Perubahan politik itu juga menyebabkan beberapa kali Na guib Mahfouz kehilangan inspirasi sastranya, sehingga tidak kurang dari lima fase tertentu dalam hidupnya, ia betul-betul berhenti menulis sastra.
Misalnya, setelah Revolusi Mesir 1952, terjadi kevakuman seni dalam diri Naguib Mahfouz yang berlangsung selama 5 tahun, yaitu sampai 1957. Di antara masa vakum itu pula ia memutuskan untuk menikah (1954). Kevakuman menulis sastra yang kedua terjadi setelah kekalahan dunia Arab pada Perang Arab pada 1967. “Pada waktu itu semangat menulis betul-betul tidak ada,” katanya.
Ketika perang Arab berakhir pada 1973, ketika Palestina berada di pihak yang kalah, ia sekali lagi berhenti menulis selama setahun. Ia memanfaatkan kondisi yang sangat mengecewakan hatinya itu untuk memahami perubahan yang sedang berlangsung. Namun, setiap kali kevakuman sastra terjadi, ia selalu mulai kembali dengan karya sastra yang membawa nuansa baru.
Pada 1980, Naguib Mahfouz mulai dikenal sebagai penu lis penting, terutama setelah muncul karya sastranya yang menggambarkan kehidupan keseharian di Mesir.
Di Barat, karya Naguib Mahfouz dikenal luas, terutama di kalangan mahasiswa yang mengambil sastra Arab sebagai bidang kajian. Setelah itu, banyak bermunculan buku dan makalah yang membahas karya sastranya.
Pada 1988, Akademi Swedia menetapkan dalam publikasi resminya bahwa Naguib Mah fouz terpilih sebagai salah seorang pemenang hadiah Nobel dalam bidang sastra. Perjalanan hidupnya sebagai sastrawan dapat dibagi men jadi beberapa fase.
Pertama, masa penulisan novel romantis yang bersumber pada sejarah Mesir kuno, seperti karyanya Abats al-Aqdar (Permainan Takdir, 1939), Radoubiez (1943), dan Kifah Tibah (Perjuangan Theba, 1944). Bahasa sastranya masih sangat dipengaruhi al-Manfaluti; sastrawan yang san gat mementingkan ukiran kata-kata.
Kedua, masa penulisan novel realis yang mengambil latar belakang kawasan kota lama Cairo, seperti Khan Khalili, Zuqaq al-Midaq, Bain al-Qasrain (Di antara Dua Istana, 1956), Qasr asy-Syauq (Istana Rindu, 1957), dan as-Sukkariyah (Mangkuk Gula, 1957); semua judul buku merupakan nama tempat dengan lorongnya yang khas. Pada fase ini, ia mulai menggunakan bahasa novel modern yang menampilkan langsung kejadian dan peristiwa.
Ketiga, masa penulisan novel simbolis dan filosofis, seperti al-Liss wa al-Kilab (Pencuri dan Anjing, 1961), as-Summan wa al-Kharif (Puyuh dan Musim Gugur, 1962), at-Tariq (Jalan, 1964), dan asy-Syahhadz (Pengemis, 1965).
Keempat atau fase akhir, masa penulisan novel simbolis dan filosofis yang dilengkapi dengan orientasi sufistik, yang sebenarnya bukan merupakan hal yang baru dalam kecenderungan sastranya itu. Karya sastranya dalam fase akhir ini adalah antara lain Rihlah ibn Fattumah (Perjalanan Ibnu Fattumah), sabah al-Ward (Selamat Pagi), dan Qasytamar (nama tempat, 1989) yang ditulis secara bersambung setiap Jumat pada surat kabar al-Ahram.
Terdapat beberapa faktor yang membawa ia ke puncak keberhasilan, baik berdasarkan apa yang diungkapkannya sendiri maupun berdasarkan analisis para ahli, antara lain bahwa ia
(1) cendekiawan berwawasan luas, sejak kecil rajin membaca, sehingga sumber sastranya sangat kaya;
(2) kreatif dengan taklid sebagai musuh besar sastra, dan mencoba berbagai metode penulisan dan gaya bahasa;
(3) konsisten dan disiplin;
(4) mandiri, tidak terikat pada kaidah yang baku, hanya terikat pada suara batin dan rasa sastra serta imajinasinya sendiri;
(5) memandang kritik terhadap dirinya sebagai lecutan untuk semakin meningkatkan kualitas; dan yang terpenting
(6) menjadikan seni sebagai kehidupan, menghadapinya secara konsisten, dan tidak cepat tergoda dengan daya tarik eksternal.
Sebagai sastrawan yang bebas dan liberal, karya sastra nya menyajikan masalah kemanusiaan dan perubahan sosial. Di dalamnya ia menyatakan bahwa perubahan yang terjadi cenderung mengarah kepada keadaan yang lebih buruk.
Peradaban modern telah tergelincir ke dunia kebendaan dan hawa nafsu, yang membuat manusia masuk ke jurang malapetaka dekadensi moral dan konflik sosial. Dalam hal ini, tidak semua orang senang dan memujinya.
Sebagaimana respons orang terhadap karyanya di bidang sastra, demikian pula terhadap karya tulisnya sebagai seorang cendekiawan.
Ia sering kali dikategorikan sebagai seorang sekularis dan liberalis, tidak islami. Naguib Mahfouz memang juga menulis berbagai persoalan aktual yang dialami masyar akatnya, termasuk persoalan politik. Ia, misalnya, melibatkan diri dalam polemik penerapan hukum Islam (syariat) di Mesir. Berkenaan dengan hal ini, sejalan dengan novel realisnya, ia menulis,
“Dilihat dari segi pengalamannya, masyarakat kita belum bisa dikatakan sebagai masyarakat Islami…. Kita terlebih dahulu harus melenyapkan perbedaan pendapat di antara kita. Sekarang kita membikin minuman keras dan menjualnya kepada rakyat, kita mendirikan tempat perjudian.
Kita juga menyediakan tempat sewaan (untuk pelacuran) dan memungut pajaknya. Apakah semua itu tidak lebih baik untuk kita permasalahkan terlebih dahulu sebelum kita mencoba melaksanakan ketentuan tentang hudud…?”
Berkenaan dengan kehidupan wanita, Naguib Mahfouz mengecam tradisi perkawinan dini atas pilihan orangtua, karena hal itu, menurutnya, mendatangkan penderitaan berkepanjangan bagi wanita. Ia menganjurkan agar perka winan dilangsungkan pada usia yang pantas.
Menurutnya, jalan hidup yang positif bagi wanita adalah ikut berpartisi pasi dalam kehidupan sosial dan politik. Menjadi ibu rumah tangga bukanlah sesuatu yang negatif, asalkan hal itu betul-betul bertolak dari panggilan hati, menjadi pilihan sadar. Menurutnya, seseorang wanita harus berjuang mencapai cita-cita, mempunyai tekad, dan bersikap konsisten dalam memperjuangkan cita-cita itu.
DAFTAR PUSTAKA