Magribi

Secara kebahasaan, kata “magribi” berarti “tempat matahari terbenam”. Secara terminologis dan geografis, Magribi ada­ lah kawasan Afrika Utara yang mencakup Aljazair, Tunisia, Maroko, dan Libya.

Para ahli geografi membagi wilayah Magribi menjadi

(1) Magribi al-Aqsa (Magribi yang paling jauh), yang disebut Kerajaan Magribi;

(2) Magribi al-Ausath (Magribi tengah), yang sekarang disebut Aljazair; dan terakhir

(3) Magribi al-Adna (Magribi bawah), yakni wilayah selain wilayah yang telah disebutkan di atas.

Karena Magribi adalah suatu kawasan, berikut ini akan dipaparkan penjelasan yang meliputi kawa­ san Aljazair, Tunisia, Maroko, dan Libya.

Aljazair. Aljazair adalah bekas koloni Perancis yang mem­peroleh kemerdekaannya pada 1962. Jauh sebelum Perancis menduduki Aljazair, wilayah ini diperintah oleh persekutuan antarkepala suku lokal yang didukung para sufi berdasarkan kekerabatan dan loyalitas keagamaan.

Sejak 1830 beberapa wilayah negeri ini mulai dijajah Perancis, mengakibatkan kes­engsaraan penduduk akibat sistem pajak yang berat, eksploi­ tasi tanah yang mereka kuasai, dan sebagainya. Meskipun pemerintah Perancis menerapkan kebijakan asimilasi, yakni menerima penduduk­ Aljazair sebagai warga negara Perancis dengan persyaratan, perlawanan rakyat Aljazair tidak surut.

Berbagai­ bentuk perlawanan muncul dan dipimpin para to­koh sufi dan tarekat; ada di antara mereka yang mengklaim diri sebagai Imam Mahdi atau wakilnya. Beberapa tokoh sufi tersebut adalah Abdul Qadir, Bu Zian (w. 1849), Sidi Saduq (w. 1858), dan Muhammad Amzian (w. 1879). Tetapi, semua perlawanan tersebut berhasil ditumpas pemerintah­ Perancis.

Kebijakan asimilasi melahirkan generasi muda elite Aljazair yang terbagi ke dalam tiga kelompok:

(1) Alumni sekolah Arab Perancis. Kelompok ini berharap dapat ber­integrasi sepenuhnya dengan Perancis, tetapi ingin tetap dalam koridor identitas hukum dan sosial sebagai muslim.

(2) Kelompok radikal yang berorientasi­ pada nasionalisme. Kelompok ini mendesak terbentuknya parlemen Aljazair tersendiri sebagai langkah awal bagi ke­ merdekaan Aljazair.

(3) Tokoh gerakan reformis Islam yang mengadap­tasikan skripturalisme Islam dengan kebutuhan­ nasional Aljazair. Ketiga kelompok inilah yang kemudian hari menjadi pelopor usaha kemerdekaan Aljazair.

Tunisia. Tunisia jatuh ke dalam kekuasaan Perancis, yang secara perlahan-lahan mulai menancapkan pengaruhnya­ sejak 1881. Sebelum dikuasai Perancis, sejak perte­ngahan abad ke-19, Tunisia sudah mengalami­ kemu­nduran akibat ekspansi ekonomi Eropa dan kebangkrutan­ ekonomi internal.

Kondisi sep­erti ini bukan tidak disadari para pemimpinnya, yang sudah berusaha memperbaiki keadaan melalui berbagai program reformasi mereka, seperti yang dilakukan Ahmad Niyazi Bey (1837–1855), Muhammad Bey (1855–1859), dan terutama Khayruddin (1873–1877).

Reformasi mereka meliputi berb­ agai bidang, antara lain pendidikan, militer, konstitusi, dan peradilan. Reformasi ini didasarkan pada sebuah prinsip bah­ wa pemerintahan yang baik merupakan dasar bagi pemban­gunan ekonomi dan sosial.

Pemerintahan mereka ditopang dukungan ulama yang mempunyai pengaruh besar dalam sistem sosial masyarakat Tunisia. Para pemimpin Tunisia tidak dapat membendung pengaruh Perancis di Tunisia.

Kolonisasi Perancis atas Tunisia akhirnya mengundang perlawanan, baik dalam bentuk fisik maupun politik. Per­lawanan ini merupakan salah satu “buah” upaya Perancis sendiri ketika menempuh modernisasi sistem pendidikan, misalnya modernisasi Madrasah Zaitunah.

Para alumnus perguruan ini dan perguruan lainnya mempunyai kesadaran­ baru dengan membentuk komunitas Pemuda Tunisia. Mereka menerbitkan jurnal-jurnal yang memuat berbagai masalah politik. Kesadaran baru ini kemudian memuncul­kan Partai Dustur (Partai Konstitusi) yang menuntut pemberlakuan­ kembali Konstitusi 1861.

Sejak 1920-an gerakan perlawanan terhadap kolonial Per­ ancis semakin terorganisasi, tetapi semuanya dapat ditump­ as Perancis. Akhirnya pada tahun-tahun berikutnya Partai Dustur memegang kendali gerakan dan bahkan kelompok lebih radikal partai ini membentuk Partai Neo-Dustur.

Tujuan utama pendirian partai ini adalah ke­merdekaan Tunisia, yang baru tercapai pada 1956. Habib Bourguiba, presiden Tunisia pertama, memimpin Tunisia dengan kebijakan sekularisasi, seperti langkah yang ditempuh Mustafa Kemal Ataturk (1881–1938) di Turki.

Maroko. Sejak awal Maroko merupakan sebuah negara merdeka yang diperintah kombinasi khalifah dan sufi. Akan tetapi, seperti yang terjadi pada negara lain di wilayah Magri­bi, Maroko juga tidak dapat menahan ekspansi bangsa Eropa, dan pada akhir abad ke-19 jatuh kepada kekuasaan Perancis dan Spanyol.

Perancis menguasai perekonomian Maroko dengan men­guasai daerah sentral ekonomi, melakukan penerapan pajak, dan mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mengeruk keka­ yaan Maroko.

Perancis juga menerapkan kebijakan asimilasi bagi para bangsawan dengan cara mendirikan sekolah baru dan memperbaiki madrasah. Para lulusannya diharapkan dapat diajak bekerjasama. Perancis juga memberlakukan kebijakan yang sama terhadap suku Berber, di samping menerbitkan Dekrit 1930 yang berisi sistem peradilan Ber­ ber yang didasarkan pada adat mereka.

Upaya modernisasi pendidikan yang dilakukan Perancis ini di kemudian hari melahirkan generasi baru nasionalis yang justru menentang pendudukan Perancis dan memperjuangkan­ kemerdekaan negerinya.

Perlawanan pertama dipimpin Muhammad bin Abdul Karim al-Khattabi (seorang mantan kadi) yang pada 1923 memproklamasikan Negara Republik ar-Rif. Pemberontakan ini dapat ditumpas Perancis pada 1926. Perlawanan se­lanjutnya dilakukan gerakan reformasi keagamaan.

Gerakan ini muncul sebagai akibat dari kekecewaan para ulama perkotaan dan para sufi pedalaman atas kebijakan Perancis. Reformasi keagamaan ini kemudian melebar menjadi gerakan reformasi politik yang pada gilirannya melahirkan kelompok nasionalis. Gerakan perlawanan ini akhirnya berhasil meraih kemerdekaan Maroko pada 7 Maret 1956.

Libya. Wilayah Libya pada awalnya berada di bawah kekuasan Kerajaan Usmani (Ottoman). Meskipun demikian, kekuasaan­ Usmani atas Libya tampak hanya bersifat simbolis karena kekuasaan sesungguhnya berada di tangan suku besar yang bersekutu dengan Dinasti Mamluk.

Selama menguasai­ Libya, Usmani bekerjasama dengan penguasa lokal, seperti Dinasti Qaramanli di Tripoli dan Tarekat Sanusiyah di Sire­ naika. Sejak 1911 Libya dikuasai Italia. Pada awal pendudu­ kannya, Italia menghadapi banyak perlawanan dari pengikut Tarekat Sanusiyah yang merasa diri sebagai pewaris otoritas Usmani. Baru setelah Perang Dunia I (1914–1918), Italia be­nar-benar dapat menguasai Libya.

Ketika Italia kalah dalam Perang Dunia II (1939–1945), Libya jatuh ke tangan Inggris dan Perancis, namun Perserika­tan Bangsa-Bangsa (PBB) memutuskan bahwa Libya menjadi negara merdeka pada 1951. Negara baru ini dipimpin Amir Idris, pemimpin Tarekat Sanusiyah.

Karena pemerintahannya sangat korup, ia ditentang gerakan oposisi dari generasi muda nasionalis radikal dan kelompok mahasiswa sosialis. Akhirn­ ya pada 1969 Gerakan Perwira Bebas Libya yang dipimpin Muammar Khadaffi mengambil alih kekuasaan. Hingga saat ini Libya masih dipimpin Khadaffi yang menawarkan arabisme islamisme sebagai alternatif bagi kapitalisme dan komunisme.

DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, Yunus A. “Peranan Aljazair dalam Kebangkitan Islam di Tanah Arab,” Risalah Islamiyah, 1, Januari 1971.
Lapidus, M. Ira. Sejarah Sosial Umat Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 2000.
Ma’luf, Louis. al-Munjid fi al-Lugah wa al-A‘lam. Beirut: Dar el-Mashreq, 1975.
Moha, El Moutawassit. Morocco: The Fascination of Contrasts. Narni-Terni: Plurigraf, t.t.
Schaar, Stuart. “Libya,” The Encyclopedia Americana. Canada: Grolier Interna­ tional, Inc., 1980.
Din Wahid