Mafqud

Kata mafqud berasal­ dari kata faqada-yafqudu yang berarti “hilang”­. Dalam hukum Islam, istilah mafqud berarti “se­seorang yang hilang dari tempatnya­ atau negerinya dalam waktu yang cukup lama dan tidak diketahui keadaannya, apakah masih hidup­ atau sudah meninggal dunia”.

Dalam pembahasan fikih, masalah mafqud menjadi­ sangat penting, karena menyangkut beberapa hak dan ke­ wajiban orang yang hilang tersebut serta hak dan kewajiban keluarganya.

Misalnya, apabila ia mempunyai istri, bagaimana­ dengan nafkah istri dan anaknya; apabila ada keluarga dekatnya yang meninggal, bagaimana­ dengan pembagian warisnya atau sebaliknya;­ dan jika ia meninggalkan­ harta yang cukup banyak, bagaimana menyelesaikan persoalan­ hartanya­ tersebut sementara ia tidak dike­tahui apakah sudah meninggal atau masih hidup.

Dalam kaitan ini, ulama membahas masalah­ orang hilang dari berbagai segi hak dan kewajibannya­. Dari segi hak dan kewajiban suami-istri, apabila suami yang hilang, menurut ulama Mazhab Hanafi dan Syafi‘i, istrinya tidak bisa difasakh (diceraikan) karena status suaminya be­lum jelas. Walaupun suami hilang dalam waktu yang cukup lama, istrinya tidak bisa meminta fasakh sampai status suaminya benar-benar jelas.

Dalam kaitannya dengan masalah harta, ulama Mazhab Hanafi berpendapat­ bahwa harta yang ditinggalkan­ suami tidak dapat dibagi; apabila kerabatnya­ meninggal dunia, bagian warisnya tetap disediakan­ dan dipelihara oleh keluarg­anya dan diserahkan apabila ia benar-benar hidup.

Demiki­an juga halnya jika seseorang mewasiatkan­ sejumlah­ hartanya kepada orang yang hilang tersebut. Wasiat orang itu dapat dilaksanakan setelah diketahui­ bahwa orang yang hilang itu ternyata masih hidup.

Imam Malik dan Imam Hanbali berpendapat, jika suami raib atau hilang selama 4 tahun tanpa berita apa-apa, hakim berhak memutuskan­ perkawinannya dengan istrinya dan istri dikenakan­ idah wafat (4 bulan 10 hari) sesuai dengan­ kandungan surah al-Baqarah (2) ayat 234.

Setelah itu istrinya dapat menikah dengan orang lain jika ia menghendaki. Pen­ dapat mereka didasarkan pada perbuatan Umar bin Khattab dalam menangani persoalan orang hilang.

Ulama Mazhab Hanafi memberikan solusi terhadap kelu­ arga dan harta yang ditinggalkan orang yang hilang tersebut. Menurut mereka, hakim berhak­ mengatur keluarga­ dan harta orang yang hilang itu, dengan perincian sebagai berikut:

(1) menunjuk seseo­rang yang dipercaya untuk mengelola harta tersebut dan mengembangkannya;­

(2) menjual harta orang yang hilang itu jika harta itu terdiri atas benda yang tidak tahan lama dan menyimpan hasil penjualannya; dan

(3) mengeluarkan­ biaya hidup yang diperlukan oleh istri dan anak-anaknya jika diketahui bahwa hubungan perkawinan mereka belum putus.

Apabila orang yang hilang itu tidak memiliki harta tetapi mempu­nyai sim­panan, biaya hidup anak dan istrinya dikeluarkan­ dari harta simpanan tersebut.

Akan tetapi, jika barang­ yang ditinggalkan orang yang hilang itu adalah barang dagangan, hakim tidak dibe­narkan untuk menjual barang tersebut dan memberikannya­ sebagai nafkah terhadap anak dan istrinya.

Namun demikian, ayah orang yang hilang itu dapat menju­al harta itu dan menge­luarkan biaya hidup untuk anak dan istrinya.

Persoalan lain yang dibahas ulama mengenai­ perkara mafqud adalah bagaimana menentukan­ keadaan orang itu (masih hidup atau telah meninggal)­ dan apa akibat hukum­ nya. Dalam kait­an ini, yang menjadi ukuran bagi ulama adalah orang yang segenerasi dengan orang yang hilang itu.

Apabila­ orang yang segenerasi dengan mafqud pada umumnya telah meninggal, mafqud itu dihukumkan­ telah pula meninggal. Dengan demikian,­ hartanya dapat dibagi secara faraid serta istri­nya secara otomatis terlepas dari ikatan perkawi­nan mereka dan wajib menjalani idah wafat.

Di sisi lain, mafqud tidak berhak mendapatkan warisan dari keluarganya­ yang meninggal ketika ia telah diputuskan meninggal­. Dalam kaitan ini ulama tidak memberikan­ perincian berapa tahun mafqud itu dikatakan­ telah wafat; mereka hanya mengguna­ kan orang yang segenerasi dengan mafqud sebagai ukuran.

Apabila kemudian mafqud ternyata masih hidup dan kembali ke daerahnya setelah diputuskan meninggal­ serta istrinya telah menikah dan hartanya telah pula dibagi secara faraid, muncul persoalan lain. Karena pemutusan hubungan perkawinan­ tersebut dilakukan berdasarkan keputusan hakim, para ulama fikih berpendapat bahwa ia tidak dapat kembali kepada istrinya karena haknya­ sebagai suami telah hilang.

Adapun terha­dap hartanya yang telah dibagi-bagi, jika masih ada yang tersisa, maka dikembalikan kepadanya. Sebaliknya,­ jika harta tersebut telah habis, ia tidak dapat menuntut ahli warisnya.

Daftar Pustaka

Basya, Qudri. al-Ahkam asy-Syar‘iyyah fi Ahwal asy-Syakhsiyyah. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1970.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtaœid. Beirut: Dar al-Fikr, 1978.
al-Jaziri, Abdurrahman. al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba‘ah. Beirut: Dar al-Fikr, 1986.
Musa, Muhammad Yusuf. al-Amwal wa Nazariyyah al-‘Aqd. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1977.
as-Suyuti, Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar. al-Asybah wa an-Naza’ir. Sin­ gapore: Sulayman­ Marie, t.t.
az-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Beirut: Dar al-Fikr, 1984.
Nasrun Haroen