Maddah (materi) adalah substansi yang menyebabkan terjadinya benda fisik, sedangkan surah (bentuk) adalah kenyataan lahir suatu materi yang dapat diindra. Alam terdiri dari maddah dan surah. Maddah menempati posisi sebagai elemen dasar. Tanpa maddah benda itu tidak ada. Adapun surah adalah sifat yang menempati materi. surah membedakan satu benda dari benda lain meskipun maddahnya sama. Misalnya, maddah kursi dan papan tulis sama, tetapi berbeda dalam surah.
Dalam menentukan pengertian maddah, terdapat beber apa pendapat yang secara garis besar dapat disimpulkan menjadi tiga pengertian: (1) sesuatu yang menjadi bahan untuk membuat yang lain, (2) sesuatu yang menyebabkan terjadinya benda fisik, dan (3) segala sesuatu yang bukan bersifat akali dan spiritual.
Pengertian pertama lazim dipakai kalangan awam, sedangkan yang kedua dan ketiga adalah kecenderungan para sarjana, terutama di bidang ilmu alam, dan para filsuf. Kedua kelompok pengertian tersebut sebenarnya hanya ber beda pada segi kebahasaan, sedangkan substansinya sama. Kecenderungan para sarjana dan filsuf kepada pengertian tersebut sudah tampak sejak zaman Yunani Kuno dan terus berkembang sampai sekarang.
Pada zaman Yunani Kuno, terdapat tiga pandangan pokok tentang maddah. Pandangan pertama menyebutkan bahwa segala sesuatu mempunyai satu substansi. Menurut Thales (filsuf dan ahli matematika Yunani pertama, 624–545 SM), al-maddah al-ula (materi awal) yang menjadi dasar segala sesuatu adalah “air”.
Segala sesuatu tercipta darinya dan ke padanya pula segala sesuatu akan berakhir. Pendapat Thales dibantah Anaximander (filsuf Yunani, 610–547 SM), salah seo rang muridnya. Ia menyatakan bahwa maddah yang menjadi dasar segala sesuatu ialah apeiron, yang tidak terbatas, tidak dapat dirupakan, dan tidak dapat disamakan dengan sesuatu.
Anaximenes (585–528 SM), murid Anaximander, tidak setuju dengan pendapat gurunya dan Thales. Ia mengatakan bahwa segala sesuatu berasal dari “udara”. Udara tidak lepas dari gerak, dan udara dapat menjadi renggang dan rapat dengan gerak. Apabila udara menjadi renggang, terjadi api. Jika udara menjadi rapat, terjadi angin dan awan; apabila semakin rapat, maka turun hujan.
Dari air terjadi tanah, dan tanah yang telah memadat menjadi batu. Heracleitus (filsuf Yunani, 540–480 SM) mempunyai pandangan yang berbeda dengan filsuf sebelumnya. Ia menyatakan bahwa maddah yang menjadi pokok pangkal sesuatu ialah api. Pandangan kedua melihat bahwa segala sesuatu mempunyai empat substansi. Menurut Empe docles (filsuf Yunani, 490–430 SM), alam ini tersusun dari empat jenis maddah, yaitu udara, api, air, dan tanah.
Keempatnya memiliki empat sifat pula, yaitu dingin, panas, basah, dan kering. Atas dasar demikian, ia mengatakan bahwa tidak ada yang hilang dalam alam ini, yang ada hanyalah “bersatu” dan “berpisah.” Apabila keempat unsur itu bersatu, maka muncul benda di alam ini; tetapi apabila berpisah, lenyaplah benda tersebut. Persatuan dan perpisahan itu disebabkan oleh“cinta” dan“benci.” Percintaan menyebabkan persatuan dan kebencian menyebabkan perpisahan.
Adapun pandangan ketiga melihat bahwa segala sesuatu terjadi dari atom (dzarrah). Atom merupakan bagian terkecil dari sesuatu dan tidak dapat dibagi. Atom itu tidak dapat hilang meskipun kecil, dan senantiasa bergerak. Atom itu menjadi dasar benda alam ini. Demikian pendapat yang dikemukakan Leucippus (filsuf Yunani) dan muridnya, Dem ocritus (filsuf Yunani, 460–370 SM).
Setelah itu muncul Aristoteles (filsuf terbesar Yunani, 384– 322 SM) yang pandangannya jauh berbeda dari para filsuf sebelumnya itu. Dialah orang pertama yang membicarakan keterkaitan antara maddah dan surah.
Menurutnya, maddah adalah sesuatu yang tidak mempunyai bentuk. Maddah hanya substansi belaka dan menjadi dasar segala sesuatu. Maddah baru dapat diketahui secara indriawi ketika telah ditempati surah. Batu, misalnya, hanya berupa materi. Batu baru dapat diindra ketika ditempati oleh bentuk, seperti rumah dan nisan.
Pendapat ini sebenarnya telah dirintis oleh Plato (filsuf Yunani, 427–347 SM) dalam teorinya tentang “ide”. Menurut Plato, segala yang tampak merupakan gambaran atau tiruan tidak sempurna dari yang ada dalam ide.
Yang tampak ini hanya mirip dengan yang aslinya; antara yang asli (dalam dunia ide yang abstrak) dan yang tiruan (dalam dunia materi yang konkret) tidak mempunyai kaitan langsung. Pandangan inilah yang dirombak oleh Aristoteles dengan teorinya tersebut.
Pandangan Aristoteles kemudian berkembang di dunia Islam. Pandangan itu dikembangkan, dimodifikasi, dan diserasikan dengan ajaran Islam oleh para filsuf, antara lain Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd.
Ibnu Sina memandang bahwa semua benda fisik terdiri atas dua dasar, yaitu materi dan bentuk. Keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Di samping itu, setiap benda fisik mempunyai sifat, seperti gerak dan diam, yang menandai bahwa benda tersebut juga diliputi ruang dan waktu.
Menurut Ibnu Sina, materi alam ini bersifat kadim, karena ia telah dijadikan Tuhan sejak dahulu kala, ketika Tuhan memikirkan Zat-Nya. Materi alam ini merupakan akibat yang melimpah dari Zat Yang Mutlak itu. Dengan demiki an, materi alam ini hanya kadim dari segi waktu (qadim zamani), bukan dari segi esensinya.
Pandangan Ibnu Sina itu dikem bangkan Ibnu Rusyd. Ia membagi materi atas tiga tingkatan.
(1) Hayula (materi awal), yang tidak mempunyai bentuk. Wujudnya hanya berupa daya yang dapat menerima bentuk; karena itu, disebut hayula.
(2) Jisim tunggal, yang mempunyai empat elemen: api, udara, air, dan tanah. Jisim tunggal memperoleh wujudnya yang pertama dengan adanya bentuk pada materi pertama, sedangkan jisim yang lain terjadi dari percampuran keempat elemen tersebut.
(3) Mahsusah (materi indriawi), yakni benda fisik yang dapat diindra.
Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa maddah mempunyai empat sifat, yaitu gerak, diam, waktu, dan ruang. Gerak hanya dapat terjadi pada sesuatu yang dapat menerima diam. Setiap yang bergerak ada penggeraknya, dan rangkaian gerak itu akan berujung pada Penggerak Pertama, yakni Allah SWT. Kebalikan dari gerak ialah diam, yang menandai ketiadaan gerak pada suatu benda. Gerak tidak mungkin terjadi kecuali dalam waktu dan ruang.
Di samping pandangan para filsuf, terdapat pula pan dangan para ahli dalam ilmu kalam tentang maddah. Mereka memandang bahwa alam ini diciptakan Tuhan dari tidak ada dan akan berakhir pada tidak ada pula.
Maddah yang menjadi unsur alam benda alam ini tidak lain adalah atom (jauhar fard) yang dilekati beberapa sifat (‘ard), seperti bentuk, warna, gerak, diam, berkembang, dan susut. Semua sifat ini mengalami perubahan. Karena atom tidak terlepas dari sifat yang berubah, sedangkan yang berubah itu adalah baru, maka atom juga baru. Semuanya itu diciptakan Tuhan. Teori terakhir ini kemudian berkembang dalam bidang fisika modern sampai saat ini.
Adapun menurut Muhammad Ali at-Tahanawi (w. 1158 H/1745 M), istilah surah mempunyai dua pengertian, yaitu (1) syibh, mitsl, nuskhah (rupa, gambar, tiruan) dan (2) syakl (bentuk).
Pengertian pertama banyak dipakai dalam kehidupan sehari-hari, seperti dalam ucapan: surati fi al-mir’ah (rupaku/gambarku terdapat dalam cermin). Adapun pengertian kedua dipakai sebagai istilah filsafat. Pengertian kedua itu sendiri diaplikasikan pada objek eksternal dan objek internal.
Pengertian surah secara eksternal mengacu pada ithar (bingkai), yakni bentuk lahir yang berupa kualitas dan kuantitas dari suatu benda yang membedakannya dari yang lain. Adapun pengertian surah secara internal mengacu pada jins (genus, jenis) dan nau‘ (spesies, macam).
Dalam perkembangan ilmu pengetahuan secara umum, pandangan tentang surah telah dimulai oleh Aristoteles seperti telah dijelaskan di atas. Pandangan Aristoteles tersebut dikembangkan para filsuf Islam.
Dalam filsafat Islam surah dikembangkan dalam beberapa bentuk, antara lain:
(1) as-surah al-jauhariyyah (bentuk substantif), yaitu kualitas dari suatu substansi;
(2) as-surah al-jismiyyah (bentuk materiil), yakni bentuk yang membuat suatu maddah mendapatkan wujudnya secara lahir; dan
(3) as-surah al-jinsiyyah wa an-nau‘iyyah (bentuk genus dan spesies), yakni bentuk yang membedakan antara suatu benda dan lainnya.
Ibnu Sina menerangkan lima macam pengertian surah.
(1) surah yang mengacu pada spesies. Dalam hal ini, surah merupakan jawaban dari pertanyaan: “apakah”.
(2) surah yang membuat suatu maddah mendapatkan wujudnya meskipun surah itu sendiri lain dari maddah. Dalam hal ini, surah merupakan jawaban dari pertanyaan: “bagaimana”.
(3) surah yang merupakan persyaratan keberadaan suatu maddah. Misalnya, surah pikiran merupakan persyaratan keberadaan manusia.
(4) surah yang menjadikan suatu maddah menjadi aktual, seperti maddah api dan surah yang menjadikan api itu panas dan dapat membakar. (5) surah yang menyusup pada suatu mÎddah dan dalam jangka waktu terbatas tidak dapat terpisah dari mÎddah. Misalnya, surah jiwa menyusup pada maddah badan.
Dapat dikatakan bahwa surah membuat suatu maddah, yang pada dasarnya bersifat potensial, berubah menjadi ak tual. Maddah yang sudah aktual itulah yang terlihat sebagai benda fisik. Benda materi yang dapat diindra dari satu segi adalah benda aktual, sedangkan dari segi lain adalah benda potensial.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Yunasril. Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
Daudi, Ahmad. Kuliah Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1986.
Fakhry, Majid. A History of Islamic Philosophy. London: Longman Group Ltd., 1983.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Maqasid al-Falasifah. Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1960.
Ibnu Rusyd. Tahafut at-Tahafut. Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1969.
Madkur, Ibrahim. Fi al-Falsafah al-Islamiyyah: Manhaj wa Taqbiquh. Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1972.
Mahmud, Mustafa. Menghayati Wujud Allah antara Yang Ada dan Tiada, terj. t.tp.: Media Idaman, 1987.
Saliba, Jamil. al-Mu‘jam al-Falsafi. Cairo: Dar al-Kitab al-Misri, 1978.
YUNASRIL ALI