Mabda’ berarti “sumber pertama, asal, dasar, pokok, atau prinsip”, yakni titik pusat yang menjadi sumber pertama terbentuknya yang lain. Misalnya, atom disebut mabda’ ma teri lain alam ini. Di satu sisi, kajian mabda’ tidak lepas dari kajian mahiyah (hakikat universal) yang mendasari maujudat, yakni objek pokok ontologi. Di sisi lain, kajian mabda’ terkait pula dengan masalah “sumber pengetahuan” yang menjadi dasar terbentuknya “konsepsi” (tasawwur), yakni objek pokok epistemologi.
Dalam kajian ontologis, mabda’ dikatakan juga sebagai sabab al-asbab (sebab dari segala sebab) atau ‘illah ula (sebab pertama). Dalam hal ini, kajian akan meluas kepada beberapa permasalahan, yakni mabda’ itu tunggal atau banyak, materi atau nonmateri, dan kaitan mabda’ itu dengan sesuatu yang bersumber darinya berbentuk hubungan sebab akibat atau tidak.
Dalam menjawab permasalahan tersebut, sejak dahulu kala para pemikir telah mengemukakan berbagai pemikiran dan pendapat sesuai dengan latar belakang zamannya. Thales (624–545 SM), filsuf dan ahli matematika Yunani pertama, mengemukakan bahwa mabda’ segala yang maujud ini adalah tunggal dan berbentuk materi, yaitu “air”.
Bagi Thales, air adalah sebab pertama dari segala yang ada dan sekaligus se bagai akhir dari segala yang ada. Di samping sebagai maddah (materi), air sekaligus sebagai surah (bentuk).
Pandangan Thales kemudian ditentang muridnya sendiri, Anaximander (610–547 SM), yang mengatakan bahwa tidak mungkin segala sesuatu terjadi dari air. Ia mengatakan bahwa mabda’ segala sesuatu adalah tunggal dan tidak terbatas. Mabda’ yang demikian disebutnya apeiron. Karena tidak berhingga, apeiron tidak dapat diindra.
Segala yang dapat diindra mempunyai akhir. Ia timbul atau terjadi, hidup, mati, dan lenyap. Segala yang berakhir berada dalam “kejadian” senantiasa, yaitu dalam keadaan berpindah dari yang satu dan menyatu dengan yang lain. Yang cair menjadi beku dan sebaliknya. Demikian pula, yang panas menjadi dingin dan sebaliknya. Semua itu terjadi dari apeiron dan kembali pula kepadanya.
Pandangan kedua filsuf Yunani itu dalam istilah filsafat disebut “materialisme monisme”, yakni memandang bahwa asal segala yang maujud ini berbentuk materi tunggal. Da lam pandangan ini, segala sesuatu yang bersifat nonmateri tidak merupakan sesuatu yang fundamental dalam alam ini; ia hanya muncul sebagai aktivitas dari materi atau sebagai akibat dari aktivitas materi.
Berbeda dengan pendapat di atas, Empedocles (filsuf Yunani, 490–430 SM) berpendapat bahwa mabda’ dari segala yang maujud ini bukan satu, tetapi banyak, terdiri dari empat anasir, yaitu udara, api, air, dan tanah. Keempat anasir itu adalah pemilik empat sifat; udara bersifat dingin, api bersifat panas, air bersifat basah, dan tanah bersifat kering.
Segala yang maujud ini berasal dari persenyawaan keempat anasir tersebut yang disatukan oleh “cinta” dan dipisahkan oleh “benci”. Cinta dan benci itu sendiri berada di luar mabda’ tersebut. Cinta menjadikan sesuatu maujud, sedangkan benci menghancurkannya dan mengembalikannya ke asalnya (ke empat anasir tersebut).
Pendapat Empedocles dibantah pula oleh Anaxagoras (filsuf Yunani, 500–428 SM). Ia memandang bahwa mabda’ alam semesta ini bukan terdiri dari empat anasir, tetapi ban yak dan tidak terhitung jumlahnya. Barang asal tidak dapat berubah menjadi baru, keadaannya tetap. Oleh sebab itu, anasir asal harus ada pada setiap barang.
Dengan demikian, anasir yang menjadi mabda’ itu sama banyak dengan zat barang yang ada dalam alam ini. Apabila dari segalanya dapat terjadi segalanya, maka ada segalanya dalam segalanya. Setiap barang mengandung zat dari se gala barang. Dalam nasi, air, dan sebagainya telah ada zat kulit, zat darah, zat daging, dan zat tulang.
Karena jika tidak demikian, nasi yang dimakan dan air yang diminum tidak dapat memperbarui kulit, tidak dapat menjadi darah, daging, dan tulang. Barang yang berlain-lainan rupanya itu bergantung pada kedudukan campuran anasir asal. Anasir yang terbanyak dalam campuran itu menentukan rupa barang itu.
Sama dengan Empedocles, Anaxagoras berpendapat bahwa percampuran dan perpisahan anasir asal itu digerakkan oleh kodrat dari luar, tetapi bukan cinta dan benci seperti yang dikatakan Empedocles. Menurutnya, kodrat yang menyatukan dan memis ahkan itu hanya satu, yaitu nus.
Pandangan yang mengatakan bahwa mabda’ alam ini berasal dari materi ditentang para pemikir yang memandang bahwa mabda’ itu bersifat spiritual. Menurut mereka, asal-usul segala yang ada ini adalah ruh.
Materi yang ada dan dapat diindra menurut penganut aliran serba ruh (idealisme) merupakan penjelmaan dari ruh. Johann Gottlieb Fichte (1762–1814), filsuf Jerman, menerangkan bahwa segala sesuatu selain ruh yang rupanya ada dan hidup merupakan suatu jenis, perupaan, perubahan atau penjelmaan dari ruh.
Plato (427–347 SM), filsuf Yunani yang dipandang sebagai “bapak idealisme”, melihat bahwa alam empiris yang ada ini bukan sesuatu yang hakiki, hanya bayangan dari alam ide yang riil. Alam ide, menurut Plato, merupakan suatu realitas dan bentuk asli yang memunculkan bentuk yang lebih beraneka ragam dari alam empiris.
Apabila kita melihat beraneka ragam meja, yang kita lihat dengan mata itu bukan yang sesungguhnya, tetapi bayangan tidak sempurna dari meja asli yang ada dalam alam ide. Menurut Plato, mabda’ alam ini adalah bentuk alam yang ada dalam ide. Alam ide itu bersifat spiritual.
Adapun Gottfried Wilhelm Leibniz (1646–1716), filsuf Jerman, memandang bahwa mabda’ alam maujudat ini ialah monade. Monade adalah kesatuan yang bersifat sederhana, tidak menempati ruang, dan tidak berbentuk. Sifat utamanya ialah bergerak dan berpikir. Monade bukan materi; ia hidup meskipun pada tingkat tertentu tidak sadar. Monade itulah yang menjadi asal-usul alam semesta ini.
Dalam teologi dan filsafat Islam, kajian ontologis tentang mabda’ alam semesta ini mendapat perhatian yang besar pula. Kaum teolog dan filsuf Islam sepakat bahwa mabda’ segala yang maujud ini adalah Allah SWT. Akan tetapi, mereka berbeda dalam melihat bagaimana alam yang serba ganda ini muncul dari Allah SWT sebagai mabda’nya yang tunggal.
Kalangan ahlusunah waljamaah memandang bahwa alam semesta muncul dari “sumber”-nya itu melalui penciptaan dari tidak ada menjadi ada (Lat.: creatio ex nihilo). Pada mulan ya alam ini tidak ada. Kemudian Allah SWT menciptakannya dari tidak ada (‘adam) menjadi ada (wujud), sehingga alam ini merupakan makhluk yang baru.
Berbeda dengan pandangan ahlusunah waljamaah, di kalangan Muktazilah dan filsuf lainnya terdapat pandangan bahwa alam ini dijadikan Tuhan dari sesuatu yang “telah ada”. Dari kalangan Muktazilah muncul pandangan bahwa alam ini dijadikan Allah SWT bukan dengan cara langsung dari tidak ada menjadi ada, tetapi dijadikan-Nya secara tidak langsung dari bahan yang telah ada, yaitu syai’ wa dzat wa ‘ain (sesuatu, zat, dan hakikat).
Bahan ini mereka sebut al-maddah al-ala (materi pertama) atau ma‘dum (ketiadaan). Bahkan, ada di kalangan mereka yang mengatakan bahwa ma‘dum itu sama dengan alam empiris ini, hanya belum mempunyai wujud.
Kalangan filsuf, antara lain al-Farabi dan Ibnu Sina, juga berpendapat bahwa alam ini diciptakan Allah SWT secara tidak langsung. Menurut mereka, alam semesta muncul dari Allah SWT sebagai mabda’nya dengan jalan melimpah (emanasi).
Istilah mabda’ digunakan pula oleh filsafat dalam mene tapkan sumber ilmu pengetahuan. Secara garis besar, terdapat dua aliran filsafat. Pertama, rasionalisme, yang memandang bahwa mabda’ ilmu pengetahuan adalah “rasio”. Rasio itu hanya ada pada subjek (manusia). Aktivitas rasio ialah berpikir.
Dengan berpikir muncul ilmu pengetahuan. Manusia bertindak dan berbuat atas dasar ilmu pengetahuan. Hewan tidak memiliki ilmu pengetahuan, karena tidak memiliki rasio. Hewan hanya mempunyai naluri yang dibawanya sejak lahir. Naluri itu menentukan tindakannya. Karena itu, tindakan hewan tidak pernah berubah. Filsuf yang cenderung kepada teori ini antara lain René Descartes (filsuf Perancis, 1596–1650) dan Leibniz.
Kedua, empirisme, yang menentang pandangan kaum rasionalis. Aliran ini memandang bahwa mabda’ ilmu peng etahuan adalah pengalaman empiris manusia. Segala yang didengar, dilihat, dicium, dirasa, dan diraba oleh manusia akan menjadi pengalamannya. Pengalaman tersebut merupakan sumber ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia.
Bagi aliran ini, rasio manusia tidak dilengkapi dengan pengetahuan apri ori yang dibawa sejak lahir. Rasio hanya laksana tabula rasa (lembaran kosong) yang baru akan memiliki tulisan dengan adanya pengalaman. Filsuf yang cenderung kepada paham ini antara lain Thomas Hobbes (1588–1679) dan John Locke (1632–1704), keduanya filsuf Inggris.
Para filsuf Islam cenderung memadukan kedua mabda’ itu, bahkan menambahkannya dengan sumber ketiga, yaitu wahyu dan ilham (intuisi). Kelompok Ikhwan as-Safa memandang bahwa pengetahuan manusia dimulai dengan pengindraan terhadap suatu objek–pada tahap ini manusia sama dengan hewan kemudian dilanjutkan dengan me mikirkan apa yang telah diindra, sehingga menghasilkan suatu pengetahuan pada tahap ini manusia telah melampaui hewan.
Pengetahuan demikian mereka sebut pengetahuan biasa. Di atas pengetahuan biasa ada pengetahuan argumen (burhan), yakni pengetahuan yang didapat orang tertentu karena kenyalangan mata hatinya. Pengetahuan ini identik dengan pengetahuan intuitif.
Dalam tasawuf, pengetahuan intuitif dipandang sebagai pengetahuan yang paling hakiki dan paling dapat diterima kebenarannya. Pengetahuan intuitif ini bersumber langsung dari Tuhan dan dapat dicapai manusia tertentu yang telah membersihkan batinnya dari segala kotoran dosa.
Al-Ghazali menerima baik pengetahuan intuitif ini. Ia mengatakan bahwa hati manusia laksana cermin. Apabila cermin itu dibersihkan maka akan dapat tergambar bermacam-macam gambaran. Pengetahuan intuitif yang diterima dari Ilahi akan tergambar dengan jelas dalam hati yang telah dibersihkan.
Dengan demikian, menurut para filsuf dan sufi, intuisi juga merupakan mabda’ pengetahuan di samping pengalaman dan pemikiran. Paham ini kemudian diterima oleh Henri Bergson (1859–1941), filsuf Perancis.
Daftar Pustaka
Ali, Yunasril. Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
Stumpf, Samuel Enoch. Philosophy: Histories & Problems. New York: McGraw-Hill, 1983.
Titus, Harold H., et al. Living Issues in Philosophy. California: Wardsworth Publishing Company, 1979.
Yunasril Ali