Ilmu tafsir menjelaskan makna ayat sesuai dengan dilalah (petunjuk) yang zahir (lahir) dalam batas kemampuan manusia. Artinya, ilmu tafsir mengkaji bagaimana menjelaskan kehendak Allah SWT yang terkandung dalam Al-Qur’an melalui lafal dan makna serta menjelaskan hukum yang dikandungnya sesuai dengan kemampuan mufasir (ahli tafsir).
Ilmu tafsir penting karena Al-Qur’an di samping mengandung lafal yang mudah dan terperinci, juga memuat ayat yang lafal dan maknanya sulit dipahami serta ayat yang hanya merupakan prinsip umum. Dengan keadaan seperti ini, tentu sulit bagi kaum muslimin untuk dapat memahami kandungan Al-Qur’an dan mengamalkannya.
Untuk itulah diperlukan ilmu tafsir yang bertujuan agar ayat Al-Qur’an tersebut dapat dijelaskan dengan sebaik-baiknya dan sesuai dengan kehendak Allah SWT, sebatas yang dapat ditangkap seorang mufasir.
Untuk dapat menafsirkan Al-Qur’an dengan baik, ulama telah menentukan beberapa syarat yang diperlukan, antara lain:
(1) mengetahui bahasa Arab dengan baik, baik ilmu nahu, ilmu sharaf maupun ilmu balaghah;
(2) mengetahui ilmu asbab an-nuzul (sebab turunnya ayat);
(3) mengetahui ilmu usul fikih;
(4) mengetahui ilmu qiraah;
(5) mengetahui ilmu tauhid;
(6) mengetahui ilmu nasikh dan mansukh; dan
(7) mengetahui hadis Nabi Muhammad SAW beserta ilmunya.
Usaha untuk menafsirkan Al-Qur’an sudah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Nabi SAW-lah yang mempunyai otoritas dan tugas utama dalam menjelaskan wahyu Allah SWT. Oleh karena itu, penafsiran yang paling benar adalah penafsiran yang diberikan Nabi Muhammad SAW.
Dalam periode selanjutnya, setelah Nabi Muhammad SAW. meninggal dunia, dikenal sepuluh sahabat yang ahli menafsirkan Al-Qur’an. Mereka itu adalah Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas‘ud, Abdullah bin Abbas (3 SH/619 M–68 H/687 M), Ubay bin Ka‘b (w. 19 H/640 M), Zaid bin Sabit, Abu Musa al-Asy‘ari, dan Abdullah bin Zubair.
Di antara sepuluh sahabat tersebut, yang sangat layak dinamakan mufasir adalah Abdullah bin Abbas. Nabi SAW menamainya Tarjuman Al-Qur’an (Jurubicara Al-Qur’an). Sahabat lain yang juga diterima tafsirnya adalah Abu Hurairah, Anas bin Malik, Abdullah bin Umar bin Khattab, Jabir bin Abdullah al-Ansari (w. 78 H/698 M), dan Aisyah binti Abu Bakar as-Siddiq. Namun, tafsir yang diterima dari mereka tidak sebanyak yang diterima dari sepuluh sahabat yang disebutkan di atas.
Tafsir para sahabat ini selanjutnya terkenal di berbagai kota. Maka muncullah di Mekah Thabaqat mufassirin (generasi penafsir Al-Qur’an) yang bersumber dari Abdullah bin Abbas. Tafsir Ibnu Abbas kemudian dikembangkan murid-muridnya, seperti Sa‘id bin Jabir, Mujahid, Ata bin Abi Rabah, Ikrimah bin Abu Jahal, dan Tawus bin Kaisan al-Yamani.
Di Kufah muncul tabaqat lain yang bersumber dari Ibnu Mas‘ud. Di Madinah ada pula tabaqat dengan para mufasirnya, antara lain Zaid bin Aslam. Tafsirnya diriwayatkan anaknya, Abdur Rahman bin Aslam, dan Imam Malik bin Anas (Imam Malik). Dari tabiin ini lahir lagi mufasir dari tabi‘it tabiin. Yang termasyhur di antaranya Imam Sufyan bin Uyainah, Waki‘ al-Jarrah, Syu’bah al-Hajjaj, Zaid bin Harun, dan Abd bin Humaid.
Mereka inilah perintis jalan bagi Abu Ja‘far Muhammad bin Jarir at-Tabari yang dianggap sebagai pemuka dari segala ahli tafsir dan merupakan sumber bagi tafsir-tafsir sesudahnya.
Apabila sejak zaman sahabat sampai dengan zaman at-Tabari penafsiran ayat dilakukan dengan cara menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan hadis Nabi SAW, ataupun Al-Qur’an dengan ijtihad sahabat, pada zaman sesudah at-Tabari timbullah berbagai penafsiran, aliran, dan berbagai pendapat.
Tafsir yang disandarkan kepada ayat, hadis atau perkataan sahabat tersebut dikenal dengan sebutan Tafsir bi al-Ma’tsur. Penafsiran yang disebut terakhir dinamai Tafsir bi ar-Ra’yi. Kitab Tafsir bi al-Ma’tsur yang tertua dan paling tinggi nilainya adalah kitab Jami‘ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an (Himpunan Penjelasan dalam Tafsir Al-Qur’an) yang ditulis Muhammad bin Jarir at-Tabari (w. 310 H/923 M).
Cara menafsirkan ayat yang dilakukan at-Tabari diikuti Ibnu Kasir dalam tafsirnya Tafsir Al-Qur’an al-‘Azim (Tafsir Al-Qur’an yang Agung) dan as-Suyuti dalam kitab tafsirnya ad-Durr al-Mantsur fi Tafsir bi al-Ma’tsur (Permata yang Bertebaran dalam Tafsir Berdasarkan Riwayat). Setelah zaman at-Tabari, tafsir sudah bercampur dengan pendapat-pendapat pribadi para mufasir.
Bahkan mereka sudah mulai melakukan penafsiran dengan menggunakan akal, sehingga ada penafsiran ayat yang keluar dari makna kata. Hal ini terjadi karena pengaruh pendapat pribadi, ilmu pengetahuan, dan perkembangan zaman. Tafsir yang disandarkan kepada pendapat akal inilah yang kemudian disebut dengan Tafsir bi ar-Ra’yi.
Ulama berbeda pendapat mengenai Tafsir bi ar-Ra’yi. Ada yang mengharamkannya dan ada pula yang membolehkannya. Yang mengharamkan antara lain Sa‘id bin Musayyab, ulama dari kalangan tabiin (15 H/637 M–94 H/713 M), dan yang membolehkan antara lain Mujahid bin Jabir, ulama dari kalangan tabiin (18 H/639 M–101 H/719 M) dan ulama-ulama dari kalangan Muktazilah, seperti al-Jahiz Abu Usman bin Bahar (w. 255 H/869 M) dan an-Nazzam (w. 231 H/846 M).
Pada hakikatnya perbedaan itu berkisar sekitar apakah penafsiran yang dilakukan melalui pendapat akal semata tanpa memperhatikan kaidah bahasa, prinsip syarak (hukum Islam), dan lain sebagainya, dapat dikatakan telah memenuhi apa yang dikehendaki Allah SWT.
Namun, apabila penggunaan akal tersebut disertai dengan syarat-syarat yang diperlukan bagi seorang mufasir, tidak ada halangan menafsirkan Al-Qur’an dengan rakyu (akal). Bahkan Al-Qur’an sangat menganjurkan untuk mempergunakan ijtihad dalam memahami ayat-ayat-Nya dan ajaranÂNya.
Pada periode ini bermunculan kitab tafsir dengan berbagai pendekatan, seperti pendekatan bahasa, ilmu pengetahuan, fikih, sejarah, tasawuf, dan teologi. Untuk dapat menerima penafsiran melalui Tafsir bi ar-Ra’yi, az-Zarkasyi (ahli tafsir) mengemukakan sekurang-kurangnya ada empat syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
(1) rakyu tersebut merupakan nukilan dari Rasulullah SAW, dengan tetap memperhatikan nilai nukilan tersebut;
(2) rakyu tersebut terambil dari perkataan sahabat;
(3) mempertahankan prinsip kebahasaan; dan
(4) berpedoman pada arti kalimat yang sesuai dengan ketentuan syarak.
Contoh tafsir yang memenuhi syarat-syarat tersebut adalah Mafatih al-Gaib (Penyingkap-Penyingkap Alam Gaib) oleh Fakhruddin ar-Razi, Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil (Cahaya-Cahaya Wahyu dan Rahasia Maknanya) oleh Abdullah bin Umar al-Baidawi, Irsyad al-‘Aql as-Salim ila Mazaya Al-Qur’an al-Karim (Petunjuk Akal Sehat kepada Keistimewaan Al-Qur’an yang Mulia) oleh at-Tahawi yang dikenal dengan Abi Mas’ud, Madarik at-Tanzil wa haqa’iq at-Ta’wil (Pengetahuan tentang Wahyu dan Hakikat-Hakikat Maknanya) oleh Abdullah an-Nasafi, dan Lubab at-Ta’wil fi Ma‘ani at-Tanzil (Rahasia Makna-Makna Wahyu) oleh Alauddin al-Khazin.
Dalam perkembangan selanjutnya ditemui tafsir-tafsir yang menitikberatkan pembahasan pada masalah-masalah tertentu, yang dibahas secara tuntas dan menyeluruh. Tafsir dengan metode ini dikenal dengan Tafsir Maudu‘i (tafsir tematis). Pada zaman modern ini dikenal pula tafsir yang dilakukan dengan pendekatan ilmu pengetahuan. Tafsir ini dikenal dengan Tafsir al-‘Ilmi (tafsir berdasarkan suatu disiplin ilmu) dan salah satu di antaranya yang paling terkenal adalah tafsir Fakhruddin ar-Razi dengan nama Mafatih al-Gaib yang disebutkan di atas.
Pengembangan pendekatan atau metode tafsir dilanjutkan oleh Muhammad Abduh dalam tafsirnya, al-Manar (Tempat Cahaya), yang kemudian dilanjutkan muridnya, Muhammad Rasyid Rida, dan selanjutnya Mustafa al-Maraghi. Pendekatan yang mereka lakukan adalah pendekatan yang disebut dengan al-minhaj al-adabi al-ijtima‘i (metode pendekatan kebahasaan dan sosial budaya). Metode ini berusaha untuk meneliti redaksi ayat secara cermat, kemudian menghubungkannya dengan kehidupan sosial budaya masyarakat.
Kitab tafsir yang tergolong dalam Tafsir bi al-Ma’sur antara lain Jami‘ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an oleh Imam at-Tabari, Bahr al-‘Ulum (Samudera Ilmu) oleh Nasr bin Muhammad as-Samarqandi, al-Kasyf wa al-Bayan ‘an Tafsir Al-Qur’an (Penyingkap Tabir dan Penjelasan Tafsir Al-Qur’an) oleh Abu Ishaq as-Sa’labi, Ma‘alim at-Tanzil (Khazanah Ilmu tentang Wahyu) oleh Muhammad al-Husain al-Bagawi, al-Muharrir al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz (Ungkapan-Ungkapan Singkat tentang Kitab yang Mulia) oleh Abu Muhammad al-Andalusi, Tafsir Al-Qur’an al-‘Azim (Tafsir Al-Qur’an yang Mulia) oleh Ibnu Kasir, al-Jawahir al-Hisan fi Tafsir Al-Qur’an (Permata-Permata Kebaikan dalam Tafsir Berdasarkan Riwayat) oleh Abu Zaid as-Sa’alibi, dan ad-Durr al-Mantsur fi at-Tafsir bi al-Ma’tsur oleh Jalaluddin as-Suyuti.
Adapun kitab tafsir yang termasuk dalam Tafsir bi ar-Ra’yi antara lain al-Bahr al-Muhits (Samudera yang Dalam) oleh Muhammad al-Andalusi, Gara’ib Al-Qur’an wa Raga’ib al-Furqan oleh Nizamuddin an-Naisabur, dan Ruh al-Ma‘ani fi Tafsir Al-Qur’an al-‘Azim wa as-Sab‘ al-Matsani (Semangat-Semangat Makna dalam Tafsir Al-Qur’an dan Surah al-Fatihah) oleh Allamah al-Alusi.
Selanjutnya dikenal juga kitab tafsir dari kalangan Muktazilah, seperti Tanzih Al-Qur’an ‘an al-Mata’in (Penyucian Al-Qur’an dari Yang Tak Bernilai) oleh al-Qadi Abdul Jabbar, Amali asy-Syarif al-Murtadi (Amal yang Mulia yang Diridai) oleh Abu al-Qasim Ali at-Tahir, dan al-Kasysyaf ‘an haqa’iq at-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujud at-Ta’wil (Penyingkap Rahasia Hakikat Wahyu dan Sumber Pendapat pada Tafsir Makna Al-Qur’an) oleh Abu al-Qasim Mahmud bin Umar az-Zamakhsyari.
Di samping itu banyak terdapat kitab tafsir dalam bidang tasawuf, filsafat, dan hukum. Adapun tafsir di bidang hukum, seperti Imam al-Qurtubi dengan tafsirnya al-Jami‘ fi Ahkam Al-Qur’an (Himpunan Hukum dalam Al-Qur’an), Ibnu Arabi dan Abu Bakar al-Jassas masing-masing dengan tafsirnya yang berjudul Ahkam Al-Qur’an (Hukum dalam Al-Qur’an), Muhammad Ali as-Sabuni dengan tafsirnya Rawa’i‘ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an (Penjelasan Indah dari Tafsir Al-Qur’an), dan Muhammad Ali as-Sayis dengan Tafsir ayat al-Ahkam (Tafsir Ayat Hukum).
Daftar Pustaka
al-Asfahani, Ragib. Mufradat fi Garib Al-Qur’an. Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.t.
Baljoon, J.M.S. Modern Muslim: Koran Interpretation (1880–1960), atau Tafsir Qur’an Muslim Modern, terj. A. Naimullah Muiz. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991.
Ibnu Taimiyah. Muqaddimah fi Ushul at-Tafsir. Kuwait: Dar Al-Qur’an al-Karim, 1981.
al-Jurjani. at-Ta‘rifat. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1983.
as-Sa’idi, Abdur Rahman bin Nasir. al-Qawa‘id al-hisan li Tafsir Al-Qur’an. Riyadh: Maktabah al-Ma‘arif, 1980.
as-Salih, Subhi. Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an. Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayiyyin, 1985.
as-Suyuti, Jalaluddin Abdur Rahman bin Abi Bakar. al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an. Beirut: Maktabah as-Saqafah, 1973.
az-Zahabi, Muhammad Husain. at-Tafsir wa al-Mufassirun. Cairo: Dar al-Kutub al-Hadis, 1976.
Nasrun Haroen