Dalam bahasa Arab at-tahlil berarti menghalalkan, menempatkan, menguraikan, dan membuka. Secara terminologis, at-tahlil adalah cara memahami suatu pemikiran melalui bahasa. Dalam filsafat dan ilmu tafsir, at-tahlil berarti metode analisis bahasa Al-Qur’an, sehingga maknanya dapat dipahami dan ditafsirkan.
Pengertian at-tahlil berbeda dari ilmu bahasa (linguistik). Metode linguistik lebih tertuju pada tata bahasa (gramatika) dan bunyi (fonem), sedangkan at-tahlil menyangkut makna bahasa (semantik). At-tahlil tidak memiliki objek formal tersendiri. Objeknya berdasarkan pada ungkapan yang dikemukakan para filsuf terdahulu.
Metode ini tidak terlibat langsung pada suatu realitas, tetapi hanya melihat pandangan orang terhadap realitas tersebut. Langkah pertama dalam at-tahlil ialah memahami makna suatu simbol (bahasa), kemudian meneliti kebenaran, kelogisan, dan makna konsep yang terkandung di balik simbol bahasa tersebut.
Dengan metode analisis semacam ini, at-tahlil menjadi alat kritik hasil pemikiran para filsuf dan sebagai metode kontrol yang netral dalam membersihkan bahasa filsafat dari ungkapan yang tidak bermakna. Karenanya, at-tahlil banyak dikecam para filsuf.
Penggunaan at-tahlil dalam dunia Islam dimulai oleh para mufasir. Tulisan Abu Ja‘far Muhammad bin Jarir at-Tabari yang berjudul Jami‘ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an (Kumpulan Penjelasan Al-Qur’an) dipandang sebagai tafsir tertua yang menggunakan metode tersebut. Dalam tulisannya, at-Tabari menganalisis ayat demi ayat dengan merujuk kepada hadis Nabi SAW, ucapan sahabat, dan aspek kebahasaan. Upaya seperti ini kemudian diikuti oleh yang lain, antara lain Ibnu Kasir dan as-Suyuti.
Dengan corak yang berbeda, az-Zamakhsyari juga menggunakan at-tahlil. Namun dalam uraiannya, ia lebih banyak menggunakan pandangan rasional dan analisis kebahasaan. Metode semacam ini kemudian digunakan pula oleh mufasir lain, antara lain Abdullah bin Umar al-Baidawi dan Fakhruddin ar-Razi.
Benih at-tahlil sebenarnya juga telah ada dalam filsafat Yunani Kuno, misalnya dalam metode dialektik- kritis (dialog antara dua pendirian yang bertentangan) yang dikemukakan Socrates (470–399 SM). Metode ini dikemukakan sebagai tanggapan atas pandangan kaum Sofis yang mengajarkan bahwa segala sesuatu bersifat relatif, sehingga harus diragukan kebenarannya.
Dalam metode dialektik-kritis ini, Socrates melakukan pengujian untuk membuktikan ucapan kaum Sofis. Untuk itu, ia senantiasa meminta penjelasan tentang suatu pengertian dari orang yang dianggap ahli dalam bidangnya. Misalnya, ia bertanya kepada seniman tentang arti “keindahan”, kepada panglima tentang arti “keberanian”, dan kepada hakim tentang “keadilan”. Setelah memperoleh penjelasan tentang pengertian tersebut, Socrates mengajukan pertanyaan mengenai dasar pemikiran para ahli itu. Melalui metode ini, Socrates dapat menentang pendapat kaum Sofis.
Selanjutnya muncul pendapat Aristoteles (384–322 SM). Dalam bukunya yang berjudul Organon, Aristoteles meletakkan dasar logika tradisional (ilmu mantik). Ia mengemukakan tentang aturan berpikir yang meliputi pengertian, keputusan, dan penuturan.
Pembahasan tentang ketiga pokok logika tersebut terkait erat dengan kajian kebahasaan. Dalam bab tentang pengertian, ia membahas masalah ad-dalalah al-lafziyyah (petunjuk lafal). Misalnya tentang lafal “rumah”. Pemahaman terhadap lafal tersebut adalah bagian rumah dalam arti keseluruhan, termasuk dinding, lantai, atap, dan lainnya.
Akan tetapi, sering pula lafal tersebut dipakai hanya mengacu kepada sebagian unsur. Umpamanya, jika seseorang berjanji dengan tukang cat untuk mengecat rumahnya, yang dicat hanya dinding rumah tersebut, bukan bagian rumah secara keseluruhan.
Pada masa perkembangan filsafat Islam, at-tahlil merupakan bagian pemikiran para filsuf muslim, terutama terhadap karya Aristoteles. Pembahasan karya Aristoteles dengan menggunakan at-tahlil antara lain dilakukan al-Farabi terhadap buku Metaphysics.
Dalam sejarah filsafat Islam dikemukakan bahwa Ibnu Sina beberapa kali mempelajari buku Metaphysics tersebut, bahkan sampai hafal isinya, namun ia tetap belum dapat memahami kandungan buku tersebut.
Ibnu Sina baru dapat memahami isi buku itu setelah membaca komentar al-Farabi terhadap buku tersebut. Usaha menjelaskan karya Aristoteles dengan menggunakan at-tahlil juga dilakukan Ibnu Rusyd sehingga ia dikenal di kalangan filsuf Barat sebagai komentator Aristoteles.
Meskipun telah lama digunakan dalam kajian teks keagamaan dan filsafat, metode at-tahlil ini baru dibakukan sebagai salah satu metode ilmu pengetahuan (filsafat dan tafsir) pada awal abad ke-20, saat kajian kebahasaan telah mengalami perkembangan yang cukup maju.
Para filsuf Barat yang memberi perhatian khusus terhadap metode ini antara lain George Edward Moore (1873–1958), Bertrand Russel (1872–1970), dan Ludwig J.J. Wittgenstein (1889–1951). Wittgenstein menjadikan metode ini bagian dari ilmu filsafat yang dikenal dengan filsafat analitis.
Dalam tafsir, metode ini disebut at-Tafsir at-tahlili (tafsir analitis) yang digunakan untuk mengimbangi istilah at-Tafsir al-maudu‘i (tafsir tematik). Kedua istilah ini digunakan para pakar ilmu tafsir, antara lain Abdul Hayy al-Farmawi dan Zahir bin Awab al-Alma‘i, keduanya pakar ilmu tafsir Mesir, serta Muhammad Bakir as-Sadr (sarjana dan mufasir Syiah asal Irak).
Daftar Pustaka
Ali, Yunasril. Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
Mustansyir, Rizal. Filsafat Analitik. Jakarta: Rajawali Pers, 1987.
an-Nasysyar, ‘Ali Sami. Manahij al-Bahts ‘inda Mufakkir al-Islam. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1947.
Titus, Harold H., et.al. Living Issues in Philosophy. California: Wardsworth Publishing Company, 1979.
Yunasril Ali