Liga Muslimin Indonesia adalah federasi partai Islam yang meliputi NU, PSII, dan Perti. Organisasi ini berdiri di Jakarta pada 30 Agustus 1952. Ketuanya adalah KH A. Wahid Hasyim (NU), dan wakil ketua I serta II adalah Abikusno Tjokrosujoso (PSII) dan Siradjuddin Abbas (Perti).
Liga Muslimin Indonesia bertambah kokoh dengan bergabungnya dua organisasi sosial lainnya, yaitu Dar ad-Da‘wah wa al-Irsyad (DDI) dan Persyarikatan Tionghoa Islam Indonesia. Kedua organisasi ini berkedudukan di Ujungpandang, Sulawesi Selatan.
Bergabungnya DDI dalam Liga Muslimin Indonesia lebih merupakan suatu kebetulan. Ketika seorang utusan DDI yang sedang melaksanakan tugas organisasi di Jakarta diundang untuk bergabung dengan Liga, ia bersedia tanpa mengetahui apa sebenarnya Liga Muslimin Indonesia itu. Padahal organisasi DDI pada saat itu lebih merupakan forum bagi wakil berbagai sekolah atau madrasah yang ikut membicarakan masalah bersama.
Liga Muslimin Indonesia ini terbentuk setelah NU keluar dari Masyumi (1952) dan menyatakan diri sebagai partai politik yang berdiri sendiri, setelah terjadi perselisihan antara NU dan Masyumi, antara lain dalam soal kursi menteri Agama pada pembentukan Kabinet Wilopo.
Setelah NU keluar dari Masyumi, ia segera mendekati PSII dan Perti untuk membentuk federasi partai Islam. PSII dan Perti menyambut hangat usul NU tersebut sehingga terbentuklah Liga Muslimin Indonesia yang terdiri dari tiga partai Islam tersebut dan kemudian disusul dua organisasi Islam di Sulawesi Selatan tersebut.
Pembentukan Liga Muslimin Indonesia diresmikan dalam upacara yang diselenggarakan di serambi gedung Parlemen Pejambon (sekarang gedung Departemen Luar Negeri), dihadiri Perdana Menteri Wilopo bersama beberapa menteri, wakil kedutaan negara sahabat dan juga wakil partai.
Pada peresmian itu, wakil dari ketiga organisasi pendiri Liga (KH A. Wahid Hasyim, Abikusno Tjokrosujoso, dan Siradjuddin Abbas) ikut menyampaikan pidato yang menekankan pentingnya menggalang persatuan umat Islam melalui Liga Muslimin Indonesia.
Upacara peresmian diakhiri dengan tampilnya KH M. Dahlan (menteri Agama 1967–1971) untuk membacakan “Piagam Liga Muslimin Indonesia” dan penandatanganan piagam oleh ketiga tokoh partai yang bergabung dalam Liga.
Pembentukan Liga Muslimin Indonesia bertujuan untuk menggalang kerjasama dalam DPR dan Kabinet, di samping untuk mencapai suatu masyarakat Islam sesuai dengan hukum Allah dan sunah Nabi SAW. Usaha yang dilakukan Liga Muslimin Indonesia adalah:
(1) mengatur rencana bersama mengenai tindakan besar bagi kepentingan umat Islam Indonesia dalam segala lapangan hidup dan kehidupan;
(2) menghimpun organisasi Islam Indonesia untuk bekerja atas dasar rencana bersama;
(3) membantu menyuburkan kemajuan organisasi Islam Indonesia;
(4) mengadakan kesatuan aksi bagi gerakan Islam;
(5) menyelenggarakan hubungan dan kerjasama antara umat Islam Indonesia dan umat Islam dunia; dan
(6) mengadakan kongres Islam, baik dalam tingkat lingkungan Indonesia, maupun dalam tingkat dunia.
Semenjak Masyumi menjadi lemah karena NU keluar, Liga Muslimin melakukan usaha untuk mencegah agar partai Islam tidak berjalan sendiri-sendiri. Kegiatan mereka meliputi antara lain mengadakan pertemuan berkala antara para pemimpin puncak partai, yaitu Mohammad Natsir, KH A. Wahid Hasyim, dan Abikusno Tjokrosujoso. Tetapi setelah KH A. Wahid Hasyim meninggal 19 April 1953, pertemuan tersebut tidak berlanjut.
Pada 15 Juli 1954 Liga Muslimin Indonesia menyerahkan memorandum politik dengan maksud mendesak pemerintah untuk meninjau kebijakan dalam persoalan politik, ekonomi, keamanan, dan kepegawaian. Bahkan PSII sendiri kemudian mengeluarkan pernyataan yang menolak keras kebijakan pemerintah (termasuk dalam hal kepegawaian) di Kementerian Ekonomi, Keuangan dan Dalam Negeri.
Tetapi usaha NU, PSII, dan Perti untuk menggalang persatuan melalui Liga Muslimin Indonesia tidak membawa hasil. Hubungan antara partai Islam tersebut sering kali tegang, apalagi kalau terjadi hal yang menyangkut kepentingan masing-masing partai, terutama dalam hal yang bersangkutan dengan kabinet. Antara NU, PSII, dan Perti, sebagai pendiri Liga, ada rasa saling curiga.
Masyumi kurang berselera untuk berhubungan dengan Liga. Apabila diperlukan, Masyumi langsung saja menghubungi anggota Liga. Sebaliknya, partai dan organisasi anggota Liga pun lebih banyak berhubungan langsung dengan organisasi lain, baik di dalam maupun di luar Liga.
Dengan demikian, peranan Liga Muslimin Indonesia sangat kurang, dan akhirnya kehilangan arti. Jadi, cita-cita agar di Indonesia hanya ada satu partai Islam tidak terwujud. Dalam sejarahnya Liga Muslimin Indonesia berhasil bersatu dalam sikap dan tindakan, antara lain dalam kegiatan pengiriman misi muhibah ke berbagai negara Islam, terutama di sekitar Timur Tengah.
Daftar Pustaka
Ali Sastroamidjojo. Tonggak-Tonggak di Perjalananku. Jakarta: PT. Kinta, 1974.
Amak Fadhali, ed. Partai NU dengan Aqidah dan Perkembangannya. Semarang: Toha Ma’ruf, 1969.
Noer, Deliar. The Modernist Muslim Movement in Indonesia, atau Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–1942, terj. Jakarta: LP3ES, 1980.
–––––––. Partai Islam di Pentas Nasional. Jakarta: Grafiti Pers, 1987.
Soebagjo IN. K.H. Masjkur. Jakarta: PT. Gunung Agung, 1982.
Saifullah