Libya adalah negara muslim di Afrika Utara, yang termasuk nomor empat terluas wilayahnya di Afrika. Status Libya saat ini (2022) tidak jelas, karena kekosongan kekuasaan dan ketidakstabilan, pasca digulingkannya pemimpin Libya Muammar Khadaffi pada 2011. Kekuasaan terpecah belah dan tidak ada yang memiliki otoritas dalam kendali penuh.
Namun, dalam konstitusi Libya ketika masih berstatus republik rakyat, Islam dinyatakan sebagai “agama negara”. Pemimpin Libya pada waktu itu, Khadaffi, banyak membantu dunia Arab, gerakan kemerdekaan, dan misi Islam terutama bagi minoritas muslim. Khadaffi tewas dibunuh pada 2011, dalam sebuah pemberontakan bersenjata yang dibantu oleh intervensi asing militer Barat.
Wilayah Libya di sebelah selatan berbatasan dengan Chad, barat dengan Aljazair, barat laut dengan Tunisia, barat daya dengan Niger, timur dengan Mesir, dan tenggara dengan Sudan. Luas: 1.759.540 km2. Jumlah penduduk: 7.039.979 (data 2022). Kepadatan penduduk: 4/km2. Ibukota: Tripoli. Bahasa resmi: Arab. Agama: Islam (97%, merupakan agama resmi); lain-lain (3%). Satuan mata uang: Dinar Libya (LD).
Libya beriklim padang pasir, suhu pada siang hari kadang-kadang lebih dari 45° C, dan curah hujan rendah. Sekitar 85 persen dari wilayah Libya terdiri dari padang pasir tandus. Daerah suburnya terletak hanya di kawasan pesisir yang sempit dan beberapa tempat yang mempunyai oase.
Gurun Sahara dan Laut Tengah bertemu di sepanjang pantai Teluk Sidra (Sirte); di sana gurun pasir itu membentuk rintangan sepanjang 483 km yang memisahkan Tripolitania dan Cyrenaica. Sebelum jalan yang menelusuri tepi pantai dibangun pada 1930, daerah Sirtica yang terpencil merupakan hambatan besar untuk menyatukan penduduk Libya.
Dalam bidang ekonomi, Libya mengandalkan sektor pertanian sebagai tonggak perekonomiannya, sehingga pemerintah lebih memperhatikan pembangunan proyek irigasi dan pengolahan tanah, seperti yang terdapat di Kafra dan Tawurgha. Hasil penting dari sektor ini ialah jelai (makanan rakyat), kurma, zaitun, dan buah-buahan peras.
Baru pada 1959 untuk pertama kali minyak ditemukan di Cyrenaica dan pada 1961 Libya sudah mulai mengekspor minyak. Penemuan minyak ini telah membawa perubahan besar terhadap perkembangan perekonomian Libya.
Komposisi etnik penduduk Libya mencerminkan migrasi orang Arab dari timur ke Afrika utara antara abad ke-11 dan abad ke-16. Kedatangan beberapa gelombang penyerbu –termasuk Yunani, Romawi dan orang Islam Timur Tengah– menyebabkan penduduk asli suku Berber melarikan diri ke selatan dan barat, dengan mengambil bukit di Tripolitania atau oase di Gurun Sahara sebagai tempat perlindungan.
Kemudian orang Arab datang sebagai penguasa, sehingga sekitar 97 persen penduduk Libya adalah orang Islam yang berbahasa Arab. Sebagian besar penduduk Libya (kira-kira 95 persen) mendiami daerah pantai, dan 50 persen dari mereka di Tripolitania. Kota penting antara lain adalah Tripoli, Bengazi, dan el-Beida.
Sedikit sekali yang diketahui tentang negeri ini sebelum kedatangan orang Berber, yang mungkin berasal dari sebelah timur Laut Tengah, sekitar 4.000 tahun yang lalu. Kemudian sekitar tahun 800 SM pelaut Fenisia mendirikan pos perdagangan di pantai Libya, tetapi baru pada awal abad ke-5 mereka menetap di sana.
Pada 1911 Italia menduduki wilayah Turki di Afrika Utara, dan setelah Perjanjian Lausanne (1923) Italia mempersatukan daerah ini menjadi negara Libya. Kemudian pada 1942 negeri ini diduduki oleh Inggris dan Prancis, dan setelah Perang Dunia II berada di bawah perwalian PBB.
Libya memperoleh kemerdekaan pada 1951 di bawah pemerintahan Raja Muhammad Idris, pemimpin kelompok Sanusiyah militan, yang kemudian didongkel dari kekuasaannya oleh gerakan revolusioner rakyat di bawah pimpinan Kol. Muammar Khadaffi pada 1 September 1969.
Revolusi Khadaffi pada awalnya dianggap sebagai salah satu contoh paling awal dalam pembaruan politik Islam sejak negara Afrika Utara itu memperoleh kemerdekaannya. Kendati Islam secara jelas menjadi bagian dari ideologi revolusi, Islam hanya dinyatakan secara ringkas dalam pasal II konstitusi baru negara tersebut, yang ditetapkan pada 11 Desember 1969, dan secara sederhana dinyatakan sebagai “agama negara.”
Sejak Khadaffi menjadi pemimpin tertinggi Libya, ia menggunakan minyak untuk membantu kepentingan dunia Arab, terutama dalam rangka menentang Israel, dan juga membantu gerakan kemerdekaan di berbagai belahan dunia. Para pemimpin Libya menyadari bahwa kekayaan yang mereka peroleh adalah anugerah Allah SWT, oleh karena itu harus dimanfaatkan bagi kepentingan Islam.
Pemerintah Libya memberikan bantuan keuangan yang cukup besar bagi upaya misi Islam dalam rangka membantu meningkatkan organisasi dan kegiatan yang berkaitan dengan kebangkitan Islam, terutama bagi kelompok minoritas muslim di negara nonmuslim.
Pada 1971, Libya membantu kepentingan umat Islam Filipina yang berstatus pengungsi, membangun masjid dan Islamic Centre (Pusat Islam), serta mengatur perundingan antara pemerintah Filipina dan MNLF (Moro National Liberation Front atau Front Pembebasan Nasional Moro) bagi otonomi Islam di Filipina Selatan.
Dalam bidang hukum, Libya menetapkan ketentuan pidana yang mendapat inspirasi dari Al-Qur’an. Pada 1972 ditetapkan hukuman potong tangan bagi kejahatan pencurian, hukuman potong tangan dan kaki bagi kejahatan perampokan, dan hukuman cambuk serta rajam bagi kejahatan perzinaan.
Kemudian pada 1974 ditetapkan hukuman cambuk bagi kejahatan memfitnah orang, melakukan zina, dan minum alkohol. Dalam pasal II Konstitusi Libya 1977 dinyatakan bahwa “Al-Qur’an menjadi syariat masyarakat”. Namun di balik itu Libya juga mengembangkan ide sosialisme-religius dengan menganut sistem sosialisme Arab.
Akibat tidak mau menyerahkan tersangka aksi pemboman pesawat Pan Am Nomor 103, pada 1992 Libya terkena sanksi ekonomi dari Dewan Keamanan PBB. Tujuh tahun kemudian (1999), setelah Presiden Libya Muammar Khadaffi menyerahkan dua tersangka aksi pemboman pesawat Pan Am Nomor 103 yang meledak dan jatuh di atas Lockerbie, Skotlandia (1988), Dewan Keamanan PBB mencabut sanksi tersebut. Keputusan pencabutan sanksi itu diumumkan oleh Sekjen PBB Kofi Annan di New York.
Selama 7 tahun sejak April 1992, Libya harus mengalami kondisi sulit karena harus mematuhi larangan terbang dari dan ke Libya, suplai senjata, dan suplai suku cadang alat produksi minyak. Tak pelak lagi, Libya mengalami kerugian US$24 miliar akibat sanksi ekonomi tersebut.
Kerugian Libya selama 7 tahun terkena sanksi ekonomi Dewan Keamanan PBB menghantam berbagai sektor. Sektor pertanian paling parah, kerugiannya mencapai US$5,98 miliar; sektor industri sekitar US$4,16 miliar; sektor perdagangan dan keuangan US$4,2 miliar; sektor perminyakan sekitar US$3 miliar; sektor transportasi sekitar US$1,15 miliar; dan khusus maskapai penerbangan Libya yang memiliki 12 pesawat rugi US$3 miliar.
Meskipun demikian, pemerintah Tripoli menyatakan bahwa sanksi tersebut tidak mengguncang sistem ekonomi dan keuangan Libya karena proses ekspor minyak mereka terus berjalan. Sekitar 90 persen devisa negara ini bersumber dari minyak. Selama ini Libya mampu mempertahankan volume ekspor minyaknya dengan produksi sekitar 1,5 juta barrel per hari.
Sejak menghirup udara kebebasan, Libya mulai serius membangun kembali ekonominya. Pemerintah Libya bertekad membuka peluang investasi di berbagai sektor, seperti perminyakan, pertanian, industri, dan transportasi yang bernilai sekitar US$14 miliar AS. Namun, pemberontakan bersenjata yang didukung militer Barat pada 2011 memporakporandakan semua rencana itu.
Pada Februari 2011, terinspirasi oleh pemberontakan di negara-negara Arab lainnya, terutama tetangga Mesir dan Tunisia, protes kekerasan pecah di Benghazi, lalu menyebar ke kota-kota lain di Libya. Ini menyebabkan meningkatnya bentrokan antara pasukan keamanan dan pemberontak anti-Khadaffi. Pada Maret 2011, Dewan Keamanan PBB mengesahkan zona larangan terbang di atas Libya dan serangan udara untuk melindungi warga sipil, di mana NATO mengambil alih komando.
Juli 2011, Kelompok Kontak Internasional Libya secara resmi mengakui kelompok oposisi utama, Dewan Transisi Nasional (NTC), sebagai pemerintah sah Libya. Agustus-September 2011, Uni Afrika bergabung dengan 60 negara yang telah mengakui NTC sebagai otoritas Libya yang baru. Pada 20 Oktober 2011, Khadaffi ditangkap dan dibunuh saat pemberontak merebut kampung halamannya, Sirte.
Januari-Maret 2012, bentrokan meletus antara mantan pasukan pemberontak di Benghazi sebagai tanda ketidakpuasan dengan NTC. Pejabat NTC yang berbasis di Benghazi berkampanye untuk menegakkan kembali otonomi wilayah tersebut, yang semakin meningkatkan ketegangan dengan NTC di Tripoli.
Agustus 2012, pemerintah transisi menyerahkan kekuasaan kepada Kongres Nasional Umum, yang dipilih pada bulan Juli. September 2012, Duta Besar AS dan tiga orang Amerika lainnya tewas ketika kelompok militan Islam, termasuk Ansar al-Sharia, menyerbu konsulat di Benghazi.
Perang saudara berkobar di Libya. Februari 2014, protes meletus sebagai tanggapan atas penolakan Kongres Umum Nasional (GNC) untuk membubarkan diri setelah mandat berakhir.
Mei 2014, jenderal pemberontak “Tentara Nasional Libya” Khalifa Haftar melakukan serangan militer termasuk serangan udara terhadap kelompok-kelompok Islam militan di Benghazi; mencoba untuk merebut gedung parlemen, dan menuduh Perdana Menteri Ahmed Maiteg menjadi budak kelompok-kelompok Islam. Juni 2014, Perdana Menteri Maiteg mengundurkan diri setelah mahkamah agung memutuskan pengangkatannya ilegal.
Parlemen baru yang dipilih dalam pemilu dirusak oleh rendahnya jumlah pemilih, yang dikaitkan dengan ketakutan akan keamanan dan boikot. Kaum Islamis menderita kekalahan berat. Pertempuran pecah antara pasukan yang setia kepada GNC yang akan keluar dan parlemen baru.
Juli 2014, staf PBB ditarik keluar, kedutaan ditutup, orang asing dievakuasi karena situasi keamanan memburuk. Bandara internasional Tripoli sebagian besar dihancurkan oleh pertempuran. Kelompok Ansar al-Sharia menguasai sebagian besar Benghazi.
Oktober 2014, ada kunjungan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon untuk melanjutkan pembicaraan yang ditengahi PBB, antara parlemen baru dan pemerintah yang berbasis di Tobruk dan milisi Islam Libya Dawn yang menguasai Tripoli. PBB mengatakan 100.000 orang mengungsi akibat bentrokan.
Milisi ekstremis Negara Islam (ISIS) merebut kendali pelabuhan Derna di Libya timur. Januari 2015, tentara Libya dan aliansi milisi yang berbasis di Tripoli mendeklarasikan gencatan senjata parsial setelah pembicaraan yang disponsori PBB di Jenewa.
Februari 2015, jet-jet tempur Mesir mengebom target ISIS di Derna, sehari setelah kelompok ISIS merilis video yang menunjukkan pemenggalan 21 orang Kristen Mesir. Serangan tentara Libya untuk merebut kembali Derna pada Maret gagal mengusir kelompok itu.
ISIS menguasai kota pelabuhan Sirte, di tengah pantai antara Tripoli dan Benghazi. Januari 2016, PBB mengumumkan pemerintah sementara baru yang berbasis di Tunisia, tetapi baik parlemen Tobruk maupun Tripoli tidak setuju untuk mengakui otoritasnya. Maret 2016, pemerintah Kesepakatan Nasional baru yang didukung PBB tiba di Tripoli dengan perahu, setelah pasukan lawan memblokir wilayah udara.
September 2016, Tentara Nasional Libya Khalifa Haftar merebut terminal ekspor minyak utama di timur. Desember 2016, pasukan pro-pemerintah mengusir militan ISIS dari kota pesisir Sirte, yang telah mereka rebut 18 bulan sebelumnya. Juli 2017, kelompok ISIS diusir dari Benghazi setelah tiga tahun pertempuran. Juli 2018, Khalifa Haftar mengklaim bahwa pasukannya sepenuhnya mengendalikan Derna.
April 2019, Tentara Nasional Libya Haftar maju ke Tripoli, memicu bentrokan dengan pasukan Pemerintah Kesepakatan Nasional yang diakui secara internasional. Juni 2020, pemerintah yang didukung PBB mengusir pasukan Haftar dari Tarhouna, benteng terakhir mereka di barat negara itu dekat Tripoli. Maret 2021, Abdul Hamid Dbeibeh mengambil alih sebagai perdana menteri Pemerintah Kesepakatan Nasional yang didukung PBB di Tripoli.
Kekuasaan di negara ini secara de facto telah terpecah belah, dan sejak 2014 telah dibagi menjadi faksi-faksi politik dan militer yang bersaing yang berbasis di Tripoli dan timur. Para pemimpin kuncinya adalah Perdana Menteri Abdul Hamid Dbeibeh, kepala pemerintah yang diakui secara internasional di Tripoli, dan Khalifa Haftar, pemimpin Tentara Nasional Libya, yang menguasai sebagian besar Libya timur dan selatan.
Kelompok Negara Islam (ISIS) secara singkat memanfaatkan konflik dan sempat menguasai beberapa kota pesisir termasuk Sirte. ISIS kini (2022) mempertahankan kehadirannya di bagian pedalaman gurun.
DAFTAR PUSTAKA
Ayman al-Yassini. Religion and State in Kingdom of Saudi Arabia. London: West view Press Inc., 1905.
Cesar A. Majul. Dinamika Islam Filipina. Jakarta: LP3ES, 1989.
Frederick Muscat. Muamar Khadafi, Anakku, Presidenku. Jakarta: Beunebi Cipta. 1988.
Nasution, Harun dan Azyumardi Azra, ed. Perkembangan Modern Dalam Islam. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985.
Schaar, Stuart. “Libya,” The Encyclopedia Americana. Canada: Grolier International, Inc., 1980.
https://www.worldometers.info/world-population/libya-population/, diakses pada 5 April 2022.
https://www.bbc.com/news/world-africa-13754897, diakses pada 5 April 2022.
Syaifullah
Data telah diperbarui oleh Tim Redaksi Ensiklopediaislam.id (April 2022)