Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an

Secara harfiah “lajnah” berarti panitia atau lembaga yang membantu menteri Agama dalam bidang pentashihan (pengesahan kodifikasi) mushaf, terjemah, tafsir, rekaman, dan penemuan elektronik yang berkaitan dengan Al-Qur’an.

Tugas dan tata kerja Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an yang dirumuskan dalam Keputusan Menteri Agama No. 24 Tahun 2003 adalah sebagai berikut:

(1) mengadakan penelitian, pengkajian, dan pentashihan atas mushaf, terjemah, kaset serta rekaman Al-Qur’an yang telah dicetak di atas media apa pun (manual maupun elektronik, produksi dalam negeri atau luar negeri [produk impor], barang kiriman ataupun hadiah yang akan diedarkan kepada masyarakat Indonesia), dan melakukan tugas lain sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1982; dan

(2) melaporkan secara tertulis hasil pelaksanaan tugas kepada menteri Agama melalui kepala Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama.

Kepengurusan Lajnah terdiri atas para ahli Al-Qur’an dan hufaz (penghafal Al-Qur’an), yang terdiri atas pembina, penasihat, ketua, sekretaris, wakil sekretaris, bendahara, dan anggota. Pengangkatan dan pemberhentiannya dilakukan melalui keputusan menteri Agama untuk masa jabatan selama 1 tahun. Ketua Lajnah dipegang secara ex officio oleh kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Lektur Agama.

Mushaf Al-Qur’an boleh beredar di wilayah Indonesia setelah mendapat pengesahan atau pentashihan dan izin Lajnah. Tanda tashih itu lazimnya dituliskan pada Al-Qur’an yang dicetak.

Pembentukan Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an terutama bertujuan untuk menjaga kesucian Al-Qur’an agar terhindar dari kesalahan cetak atau jilid sekecil apa pun. Di sampin­g­ itu, pem­bentukan Lajnah juga dilatar­ belakangi oleh keanekaragaman Al-Qur’an yang beredar­ di Indo­nesia.

Ada kalanya bentuk tulisan Al-Qur’an suatu negara tidak mudah dibaca oleh orang awam. Untuk itu, dalam musyawarah­ para ulama ahli Al-Qur’an ber­ pendapat­ bahwa tanda baca dan juga tulisan Al-Qur’an di Indonesia perlu diseragamkan dan disederhana­kan sehingga mudah­ dibaca­ dan tetap terjaga keasliannya.

Dalam musyawarah ulama Al-Qur’an pertama pada 1973 dirasa perlu ada­ keseragaman dalam tulisan dan tanda baca Al-Qur’an berdasarkan tulisan (rasm) Usmani. Hal itu dilakukan karena dalam beberapa mushaf yang ada terdapat kata yang dapat menimbulkan­ salah baca.

Keputusan tersebut dikuatkan kembali pada musyawarah­ kerja Lajnah Pentashih­ Mushaf Al-Qur’an berikutnya. Musyawarah Kerja Ulama Al-Qur’an dan Lembaga Lektur Keagamaan pada 5–9 Februari 1974 di Ciawi, Bogor menetapkan bahwa Al-Qur’an yang digunakan di Indo­nesia mengikuti bacaan Imam Hafs (w. 180 H/797 M), ahli­ qira’ah (qiraah) di Kufah, yang rasm-nya sesuai dengan rasm Usmani.

Sebagai kelanjutan dari kehendak ulama Al-Qur’an dalam musyawarah kerjanya, dirasa perlu diterbitkan Al-Qur’an mushaf Usmani (Al-Qur’an baku yang umum beredar, berasal dari hasil kerja panitia penulis Al-Qur’an pada zaman Khalifah Usman bin Affan yang diketuai oleh Zaid bin Sabit). Tulisan Al-Qur’an tersebut dise­suaikan de­ngan standar kelaziman yang dipakai dan disepakati­ para ulama.

Pada 1982 penulisan Al-Qur’an Usmani yang dilakukan oleh Muhammad Syadali (w. 1982) selesai dan ditetap­kan sebagai Al-Qur’an yang beredar­ di wilayah Indonesia (SK Menteri Agama No. 2 Tahun 1984 dan Instruksi Menteri­ Agama No. 2 Tahun 1982, 3 Maret 1982). Berdasarkan surat keputusan menteri Agama tersebut, di wilayah­ Republik Indonesia berlaku Al-Qur’an Usmani yang telah dibakukan dengan tetap berpedoman­ pada rasm Usmani.

Kemudian Al-Qur’an terse­but­ dijadikan mushaf Al-Qur’an standar, yang merupa­kan pedoman Lajnah dalam me­lakukan tugas pentashihan (Instruksi Menteri Agama No. 7 Tahun 1984, tentang Penggunaan­ Mushaf Al-Qur’an Standar sebagai Pedoman dalam Mentashih Al-Qur’an).

Sebagai tanggapan terhadap saran dan masukan dari masyarakat, naskah mushaf Al-Qur’an standar telah ditulis ulang oleh A. Baiquni Yasin dan kawankawannya pada tahun 1999–2001. Naskah mushaf­ Al-Qur’an standar tersebut adalah hasil kerjasama­ Lajnah dengan Yayasan Iman Jama, Jakarta.

Pada 10 Desember 2001, naskah mushaf itu se­lanjutnya diwakaf­kan oleh Yayasan­ Iman Jama ke­pada umat Islam melalui Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an De­partemen Agama RI, dan pada tanggal 30 Juni 2002 Menteri Agama meresmikan peluncuran cetak perdana mushaf tersebut.

Lajnah dalam musyawarah kerjanya dengan ula­ma ahli Al-Qur’an selanjutnya selalu berupaya agar Al-Qur’an dap­at memasyarakat dari ting­kat awam sampai penghafal Al-Qur’an. Untuk keperluan penghafal Al-Qur’an, Lajnah memandang perlu untuk menulis Al-Qur’an “pojok” yang salah satu cirinya adalah bahwa setiap halaman diakhiri dengan akhir ayat.

Dengan demikian, para­ penghafal­ lebih mudah menggunakannya. Al-Qur’an tersebut telah selesai ditulis pada 1990 oleh Ustad Abd Razak Muhili, seorang khaththath (ahli menulis huruf Al-Qur’an) dari Tangerang, dan disah­kan­ pemakaiannya pada Musyawarah Kerja Ulama Al-Qur’an ke-16, 23–25 Maret 1989.

Daftar Pustaka

Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an, Departemen Agama RI, 2003.
Pentashihan Al-Qur’an dan Penulisan Ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis dalam Buku Agama (20 September 2002), http://depag.web.id/news/lektur/26

A Hafizh Dasuki