Lailatulkadar

(Ar.: lailat al-qadr)

Lailatulkadar berarti malam kemuliaan, adalah malam pada 610 M, ketika Al-Qur’an secara keseluruhan diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Malam ini merupakan salah satu dari 10 hari terakhir bulan Ramadan. Karena itu, 10 hari terakhir bulan Ramadan dianggap sebagai hari-hari suci secara khusus. Pada malam itu pertama kali Malaikat Jibril berbicara kepada Nabi Muhammad SAW, Al-Qur’an diwahyukan, dan misi Ilahi dimulai.

Lailatulkadar merupakan peristiwa istimewa karena Al-Qur’an pertama kali diturunkan pada malam tersebut. Di samping itu, keistimewaan lailatulkadar langsung dijelaskan dalam surah al-Qadr (97) ayat 1–5, yaitu malam yang lebih baik dari 1.000 bulan, malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril turun atas izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan, dan kedamaian menyelimuti sampai terbit fajar.

Tidak heran jika malam yang penuh berkah dan kesejah­ teraan itu ditunggu-tunggu umat Islam dengan berbagai cara dan kegiatan. Nabi Muhammad SAW pun menganjurkan memperbanyak zikir, membaca ayat Al-Qur’an, dan iktikaf di masjid pada malam ganjil pada 10 hari terakhir Ramadan.

Namun, lailatulkadar tetap saja membuat penasaran kaum muslim, kerena tidak ada tanggal yang pasti kapan datangnya. Yang menarik kemudian adalah tradisi memperingati malam Nuzulul Qur’an di Indonesia yang jatuh pada tanggal 17 Ramadan, yang bertepatan dengan hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Konon ide perayaan tersebut dikemukakan oleh Haji Agus Salim (pejuang kemerdekaan Indonesia; 1884–1961) yang kemudian direstui Soekarno (presiden pertama Indonesia).

Penyambutan lailatulkadar tidak luput dari tradisi agama, seperti oncoran di Jawa Timur, yakni para pemuda membawa obor berkeliling desa pada malam ganjil di 10 hari terakhir Ramadan.

Tidak itu saja, kedatangan lailatulkadar dibumbui dengan cerita tentang kejadian fisik, seperti pepohonan tunduk, laut tidak bergelombang, dan air membeku. Namun menurut M. Quraish Shihab (ahli tafsir Al-Qur’an Indonesia), kendati dari hadis, autentisitasnya tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Quraish Shihab menekankan bahwa kaum muslim wajib mengimani lailatulkadar karena pada malam itu Al-Qur’an untuk pertama kalinya diturunkan. Adapun yang diperlukan kaum muslim adalah persiapan untuk menyambut lailatulkadar dengan menyucikan diri dan jiwa.

Untuk mendapatkan dan merasakan malam kemuliaan itu diperlukan persiapan matang, sebab tidak mungkin lailatulkadar dapat dirasakan jika seseorang tidak mempersiapkan diri dan jiwanya.

Di sisi lain, kedatangan lailatulkadar masih mengandung persoalan, apakah lailatulkadar datang setiap tahun atau hanya datang sekali saja ketika Nabi Muhammad SAW pertama kali menerima wahyu di Gua Hira.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa lailatulkadar datang berkali-kali, bahkan setiap tahun. Pandangan ini diperkuat dengan ayat yang memakai kata tanazzala, yang berarti turun berkesinambungan atau terjadi pada masa kini dan akan datang.

Pandangan lain mengatakan bahwa lailatulkadar hanya datang satu kali, semua wahyu diturunkan pada malam kemuliaan dan sudah sempurna serta tidak ada lagi wahyu setelah Nabi Muhammad SAW wafat; maka atas dasar logika tersebut, malam lailatulkadar tidak akan terjadi lagi.

Kendatipun pendapat ini didukung Ibnu Hajar (ahli hadis terkenal, ulama fikih Syafi‘i; w. 1567), mayoritas ulama menolaknya karena teks Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad SAW tidak sejalan dengan pandangan tersebut.

Terlepas dari perbedaan pandangan di atas, umat Islam dapat mengambil hikmah lailatulkadar, yakni selalu melakukan hubungan intensif dengan Tuhan yang Maha Mulia, sehingga pengaruh hubungan itu tampak dalam perilaku mereka.

Tanda bahwa seseorang mengalami atau mendapatkan lailatulkadar tampak pada perilakunya yang semakin saleh, amanah, dan cinta damai. Jika seseorang mengaku pernah mendapatkan dan merasakan lailatulkadar, tetapi perilaku agama dan sosialnya bertentangan dengan ajaran agama, maka dapat dipastikan bahwa dia tidak mendapat lailatulkadar, tetapi hanya ilusi.

Syekh Muhammad Abduh (mufti dan pembaru Islam dari Mesir; 1849–1905) menjelaskan pandangan Imam al-Ghazali (filsuf, sufi besar dari Khurasan; 1058–1111) tentang kehadiran dua bisikan dalam diri seseorang: bisikan kebaikan yang dibawa malaikat dan bisikan kejahatan yang dibawa setan.

Malaikat turun pada malam lailatulkadar menemui orang yang mempersiapkan diri untuk menyambutnya, sehingga orang yang dikunjungi malaikat selalu dalam bimbingannya dan dalam keadaan damai sampai terbit fajar, dan tidak saja fajar pagi, tetapi fajar kehidupan baru di hari akhirat.

Daftar Pustaka

Gaus AF, Ahmad, ed. Dialog Ramadlan Bersama Cak Nur. Jakarta: Paramadina, 2000.
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1992.
–––––––. Wawasan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1998.

Amsal Bakhtiar