Tempat peristirahatan terakhir orang yang telah meninggal dunia menjelang ia dibangkitkan kembali untuk menghadapi peradilan Allah SWT disebut kuburan. Dalam Islam terdapat berbagai ketentuan yang harus diikuti jika mayat telah dikuburkan, baik itu menyangkut tata cara, ukuran, bentuk, sikap, maupun tingkah laku muslim terhadap kuburan.
Ada beberapa aturan yang terkait dengan kuburan yang dikemukakan ahli fikih berdasarkan sunah Rasulullah SAW.
(1) Mengubur mayat bertujuan agar bau tidak sedap dari mayat tidak menyebar ke luar sehingga tidak mengganggu lingkungan dan agar mayat tidak dirusak binatang buas.
(2) Lubang kubur harus luas, panjang, dalam, dan lebar, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, “Galilah kuburan, lebarkan, dan dalamkan (kuburan) itu” (HR. at-Tirmizi). Dalamnya kuburan, menurut ulama Mazhab Syafi‘i dan kebanyakan ulama Mazhab Hanbali, adalah setinggi seorang laki-laki, yaitu lebih kurang 4 setengah hasta (sekitar 1,5 m).
Akan tetapi menurut Imam Hanbali, dalamnya kuburan itu lebih kurang setinggi dada seorang lelaki atau perempuan. Pendapat senada juga dikemukakan ulama Mazhab Hanafi, tetapi menurut mereka, lebih dari itu lebih baik.
(3) Dianjurkan untuk membuat lahat jika tanah kuburan itu keras, yaitu lubang khusus di dinding samping lubang kubur, yang ukuran luas, lebar, dan tingginya cukup untuk memiringkan mayat ke arah kiblat dalam keadaan tidur.
Jika tanah kuburan itu tidak memungkinkan untuk dibuat lahad, mayat itu diletakkan menghadap kiblat di lubang kubur dan ditutup dengan alat penutup, seperti papan, sehingga tanah penimbun mayat itu tidak langsung mengenai jasad mayat.
(4) Mayat, menurut ulama Mazhab Syafi‘i dan Hanbali, wajib dihadapkan ke kiblat; menurut ulama Mazhab Hanafi dan Maliki, hanya disunahkan saja. Alasan ulama Mazhab Syafi‘i dan Hanbali adalah hadis Rasulullah SAW yang mengatakan,
“Kiblat orang yang telah meninggal dunia adalah kiblat orang yang masih hidup” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmizi). Alasan lainnya adalah, karena Rasulullah SAW sendiri ketika dikuburkan dihadapkan ke kiblat (HR. Jamaah ahli hadis).
(5) Disunahkan bagi orang yang mengikuti jalannya pemakaman untuk ikut menimbun kuburan, walaupun hanya beberapa gumpal tanah. Alasannya adalah, setelah mensalatkan jenazah, Rasulullah SAW datang ke kuburan lalu mengambil beberapa gumpal tanah dan menebarkannya ke kuburan mayat itu mulai dari kepala sampai ke kakinya (HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah).
Dalam hadis lain dikatakan, “Rasulullah SAW mensalatkan jenazah Usman bin Maz’un empat kali takbir, kemudian ia datang ke kuburan dan ikut menimbunkan beberapa gumpal tanah ke kuburan itu, sedang posisi Rasulullah ketika itu berdiri di bagian kepala mayat” (HR. Daruqutni dari Amir bin Rabi’ah).
(6) Mengenai hal meninggikan tanah kuburan, terdapat perbedaan pendapat ulama tentang hukumnya. Menurut jumhur ulama, meninggikan tanah kuburan (sekadar satu jengkal) lebih baik daripada membiarkannya datar dengan tanah dan menandainya dengan memberi atap, karena kuburan Nabi SAW dan kedua sahabatnya lebih tinggi (sedikit) dari tanah, tanpa ditandai dengan atap.
Hal ini sejalan dengan riwayat dari Sufyan at-Tammar bahwa kuburan Nabi SAW hanya ditinggikan sedikit dari tanah (HR. Bukhari). Hadis lain, yang diriwayatkan Ibnu Hibban, mengatakan bahwa tanah kuburan Nabi SAW ditinggikan satu jengkal dari tanah biasa. Tujuan meninggikan tanah kuburan sekitar satu jengkal adalah agar dapat diketahui dan dihormati oleh orang yang melewatinya.
Sementara itu menurut ulama Mazhab Syafi‘i, memberi tanda dengan memberi atap kuburan lebih baik dari sekadar meninggikannya, sebagaimana yang dilakukan orang pada kuburan Nabi SAW dan kedua sahabatnya (HR. Abu Dawud).
Dalam riwayat lain, Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Jangan kamu bangun berhala (di kuburan) dan jangan kamu tandai kuburan dengan tanda-tanda kemegahan” (HR. Jamaah ahli hadis, kecuali Bukhari dan Ibnu Majah).
Dalam hadis yang diriwayatkan dari al-Qasim bin Muhammad, Aisyah RA menjelaskan bentuk kuburan Rasulullah SAW dan kedua sahabatnya (Abu Bakar as-Siddiq dan Umar bin Khattab) ketika ditanya oleh al-Qasim bin Muhammad. Menurut Aisyah, tidak ada tanda-tanda kemuliaan dan tanda-tanda kebesaran pada ketiga kuburan itu (HR. Abu Dawud).
(7) Adalah makruh (hukumnya) membuat kuburan seperti bangunan, menandainya dengan tulisan, menjadikannya masjid, serta mencium dan tawaf di sampingnya. Alasannya adalah hadis Rasulullah SAW dari Jabir bin Abdullah yang menyatakan, “Rasulullah SAW melarang membangun kuburan, menulis tulisan-tulisan di kuburan, dan membuatnya seperti kubah (masjid)” (HR. Muslim).
Akan tetapi, ulama Mazhab Hanafi mengatakan bahwa menulis nama mayat tersebut sebagai tanda pengenal, jika dibutuhkan, dibolehkan secara hukum, sehingga kuburan itu mudah dikenal; dan ini telah dilakukan ulama besar sejak dulu. Alasan larangan membangun masjid di kuburan adalah sabda Rasulullah SAW yang mengatakan,
“Allah memerangi orang Yahudi karena mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka tempat sujud” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah). Dalam hadis lain dikatakan, “Rasulullah SAW melaknat peziarah kubur yang menjadikan kuburan itu tempat salat (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmizi, dan an-Nasa’i).
(8) Boleh menandai tanah kuburan dengan batu setentang dengan kepala mayat. Hal ini dilakukan Rasulullah SAW pada kuburan anaknya, Ibrahim (HR. Imam Syafi‘i).
(9) Dilarang meletakkan alat penerangan di kuburan, sesuai dengan hadis berikut: “Allah melaknat orang Yahudi yang menjadikan kuburan sebagai tempat sujud dan memberinya alat penerangan” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam rangka menghormati kuburan, adalah makruh (hukumnya) bagi umat Islam untuk duduk, berjalan, tidur, serta buang air besar dan buang air kecil di kuburan. Hal ini didasarkan kepada sabda Rasulullah SAW yang mengatakan, “Jangan kamu duduk dan salat di kuburan” (HR. Muslim).
Dalam hadis lain dikatakan, “Lebih baik seseorang duduk-duduk di atas jamrah (tempat melontar di Mina) daripada duduk-duduk di atas kuburan” (HR. Jamaah ahli hadis). Dasar hukum dilarangnya buang air besar dan buang air kecil dianalogikan pada larangan duduk di atas kuburan. Duduk di atas kuburan saja tidak boleh, apalagi buang air besar dan buang air kecil. Logika seperti ini dalam usul fikih disebut kias aulawi.
Para ahli fikih berbeda pendapat tentang hukum memindahkan kuburan. Menurut ulama Mazhab Maliki, memindahkan kuburan dari satu tempat ke tempat lain, sekalipun berjauhan, adalah mubah (hukumnya), dengan syarat: tulang-belulang mayat yang dipindahkan itu tidak berserakan dan tetap dihormati.
Selain itu, ada kebutuhan mendesak yang mengharuskan pemindahan kuburan, seperti kekhawatiran bahwa kuburan itu akan dibongkar binatang buas, tanah kuburan itu akan digunakan untuk kepentingan umum, atau agar berdekatan dengan sanak keluarganya.
Menurut ulama Mazhab Hanbali, kebolehan memindahkan kuburan itu hanya berlaku untuk kemaslahatan kuburan itu sendiri, misalnya karena tanah pemakaman itu kurang baik, sehingga perlu dipindahkan ke tanah yang baik. Namun mereka melarang memindahkan kuburan orang yang mati syahid.
Menurut ulama Mazhab Syafi‘i, pada dasarnya membongkar kuburan untuk memindahkannya ke tempat lain adalah haram (hukumnya), kecuali karena keadaan darurat, seperti mayat itu belum dimandikan ketika dikubur, lahan pemakaman merupakan tanah rampasan, dalam kuburan itu terbawa harta, dan posisi mayat tidak menghadap kiblat.
Sementara itu, jika ternyata diketahui bahwa mayat itu hamil, jumhur ulama membolehkan membongkar kuburan untuk mengeluarkan janin di perutnya. Namun ulama Mazhab Hanbali tidak membenarkan hal itu. Mereka juga melarang secara mutlak memindahkan kuburan.
Sekalipun kuburan Nabi Ya‘qub AS dan Nabi Yusuf AS dipindahkan dari Mesir ke Suriah, itu bukanlah berdasarkan syariat Nabi SAW, tetapi berdasarkan syariat umat sebelum umat Islam, sehingga tidak berlaku bagi umat Islam.
Ulama fikih sepakat mengatakan bahwa memasukkan beberapa mayat dalam satu liang kubur (seperti yang banyak terjadi di Mekah dan Madinah ketika musim haji) hanya boleh dilakukan dalam keadaan darurat, yaitu karena lahan yang semakin sempit. Setiap mayat tetap harus dibatasi dengan sedikit tanah.
Nas yang berbicara tentang penguburan masal hanya terdapat dalam hadis berikut: “Bahwa sesungguhnya Nabi SAW tidak pernah menguburkan beberapa mayat dalam satu kuburan” (HR. Bukhari dan an-Nasa’i). Karena ketegasan hadis ini tidak ada, ulama fikih membolehkan penguburan masal dalam keadaan darurat sesuai dengan syarat di atas.