Kong Hu Cu

Kong Hu Cu adalah ajaran tentang cara hidup yang disampaikan Kong Fu-tse atau Confusius (filsuf Cina ternama) pada abad ke-5 SM. Ia mengutamakan akhlak yang baik. Secara turun-temurun, ajaran ini dijadikan bahan pelajaran, sumber nilai, dan aturan kemasyarakatan orang Cina.

Kong Fu-tse lahir pada 551 SM di kota kecil Lu, wilayah Propinsi Shantung sekarang. Leluhur Kong Fu-tse sebenarnya masih memiliki garis keturunan dengan keluarga kerajaan, walaupun tidak memiliki kedudukan penting. Hal ini karena kaum aristokrat, di Cina, memiliki kebiasaan poligami sehingga melahirkan banyak keturunan yang berada di luar perlindungan kerajaan.

Ayahnya meninggal ketika ia masih sangat muda, sehingga Kong Fu-tse dibesarkan ibunya dalam kemiskinan. Meskipun hidup dalam kemiskinan, ia sangat tertarik pada pendidikan, dan itulah yang kemudian membuka pikiran dan kesadarannya untuk terus menuntut ilmu. Ambisinya yang besar untuk terus belajar mengantarkannya ke cita-cita untuk mengubah dunia, dan satu-satunya sarana yang ia percaya untuk itu adalah pendidikan.

Menjelang dewasa ia bekerja sebagai penjaga lumbung dan pemimpin tempat penggembalaan umum. Setelah beberapa tahun bekerja, ia berhenti karena berambisi memegang jabatan tinggi dengan harapan dapat mengembalikan tatanan moral Cina lama.

Menyadari keadaan negaranya tidak bisa diperbaiki, selama 13 tahun ia mengembara dari satu tempat ke tempat lain dengan didampingi beberapa muridnya, sambil mencari tempat yang sesuai untuk menyebarkan ajarannya.

Kong Fu-tse akhirnya mengisi sisa hidupnya sebagai guru yang memberikan pelajaran kepada masyarakat kelas bawah, terutama kaum muda. Ia berharap bahwa upaya ini dapat menjadi jembatan untuk meraih karier di pemerintahan dan memperbaiki keadaan.

Setelah Kong Fu-tse wafat pada usia 73 tahun, ajarannya terus disebarkan para murid terdekatnya seperti Meng Tsu atau Mencius (372–288 SM) dan Syuun Tze (300–235 SM). Para muridnya itulah yang berhasil menjadikan Kong Hu Cu sumber etika negara.

Sumber ajaran Kong Hu Cu terdapat dalam empat kitab dan lima kitab klasik. Empat kitab (Su Si) yang dimaksud adalah: (1) Ta Hsueh (Pelajaran Agung); (2) Chung Yung (Jalan Tengah); (3) Lun Yu (Analekta); dan (4) Meng Tsu (Kitab Meng Tsu).

Adapun lima kitab klasik (Ngo King) terdiri dari: (1) Shih Ching (Kitab Puisi); (2) Shu Ching (Kitab Sejarah); (3) I Ching (Kitab Perubahan); (4) Li Chi (Kitab Ritual); dan (5) Chu’un Ch’iu (Kitab Catatan Musim Semi dan Gugur).

Dalam menyebarkan ajarannya, Kong Fu-tse tidak membicarakan aspek keakhiratan, ketuhanan, atau metafisika, tetapi lebih menekankan pentingnya aspek moral kekuasaan dan akhlak pribadi manusia yang baik.

Atas dasar itu, ia lebih tepat disebut filsuf dibanding agamawan, karena ajarannya lebih mengarah kepada kesusilaan yang mendekati ajaran keagamaan, sehingga sering kali ia juga dikelompokkan dan dianggap sebagai pembawa ajaran agama.

Karena pendapatnya tidak pernah menjelaskan masalah keagamaan, maka Kong Fu-tse juga disebut pembaru sosial pada masanya. Berbeda dengan Taoisme yang memahami Tao dengan pendekatan mistik, Kong Fu-tse memahami konsep Tao (jalan) dengan pendekatan pragmatis, yaitu bahwa tatanan sosial akan tetap terpelihara ketika setiap orang melaksanakan peran dan tugasnya dengan baik.

Pada akhirnya Tao menjadi aturan dan pedoman moral bagi semua hubungan sosial manusia, seperti penguasa dengan rakyat, ayah dengan anak, dan suami dengan istri. Konsep Tao menurut Kong Fu-tse bertujuan menjaga kedamaian, ketenteraman, dan keteraturan masyarakat. Untuk itu Kong Fu-tse mengajarkan bahwa dalam hidup ini terdapat “li”, yang berarti kepantasan, kesopanan, dan ketertiban segala sesuatu, apabila diperluas berarti upacara ritual dan penghormatan.

Li adalah kaidah perilaku yang melandasi semua hubungan sosial manusia agar seseorang benar-benar mengenal sopan santun atau menjadi manusia super (chun tzu). Ketika semua orang berupaya melakukan semua itu, Kong Fu-tse berkeyakinan bahwa segala sesuatu menjadi benar-benar baik dalam keluarga, negara, bahkan dunia. Konsep li mengantarkan manusia kepada “jen” yang berarti kemanusiaan atau keluhuran budi.

Li menekankan pengendalian diri berdasarkan aturan dari luar, sedangkan jen lebih menekankan hakikat manusia atau kemanusiaan sejati. Menurut Kong Fu-tse, pada dasarnya setiap manusia baik dan memiliki potensi untuk kebaikan dan harmoni. Karena itu, solusi bagi semua penyakit sosial terletak pada pengembangan diri yang bisa dibentuk melalui pendidikan dan pengetahuan.

Kong Fu-tse tidak banyak memberi komentar mengenai konsep Tuhan, tetapi mengajarkan muridnya untuk mengagungkan kayangan atau surga (T’ien) yang agung. Kong Fu-tse tidak memahami T’ien sebagai Tuhan yang memiliki bentuk atau ciri-ciri kemanusiaan (antropomorfisme) tetapi sebagai satu kekuatan moral dalam alam semesta dan sumber segala sesuatu.

T’ien adalah ketentuan hukum alam yang tidak berubah, seperti halnya peredaran bintang atau pergantian musim. Meskipun demikian, dalam ajaran Kong Hu Cu dikenal sistem kepercayaan kepada arwah leluhur, kayangan (T’ien), dan makhluk halus di alam. Kepercayaan ini disertai pula dengan sistem ritual dan tradisi untuk menyembah, memuja, atau menghormati semua itu. Kepercayaan dan tradisi ini berakar kuat dalam cara pandang masyarakat Cina, dan semua ia diterima sebagai kebenaran.

Di Indonesia, Kong Hu Cu dideklarasikan sebagai agama pada 16 Juli 1961 di Solo, saat Kongres IV Perserikatan Kung Chiao Hui Indonesia. Ajaran Kong Fu-tse telah diyakini para pengikutnya sebagai agama. Dan, karena itu, mereka berusaha agar Kong Hu Cu juga diakui secara formal sebagai agama.

Perayaan hari-hari besar agama Kong Hu Cu di Indonesia antara lain adalah Tahun Baru Imlek, Hari Raya Cheng Beng, Pek Chun, Chioko, dan Tong Che. Pada Hari Raya Imlek para penganut Kong Hu Cu melakukan sembahyang di klenteng, kuil, atau di depan meja abu di rumah masing-masing, kemudian melanjutkannya dengan saling mengunjungi kerabat dan keluarga.

Pada Hari Raya Cheng Beng, umat Kong Hu Cu melakukan ziarah ke makam leluhur mereka dengan membawa dupa, lilin, kertas sembahyang, dan sesajian. Mereka juga membersihkan kuburan leluhur mereka. Upacara ritual umum umat Kong Hu Cu adalah sembahyang, memuja arwah leluhur, dan meminta berkah serta keberuntungan.

Lebih dari 25 abad Kong Hu Cu telah menjadi satu sistem filsafat yang dominan dan cahaya penuntun dalam setiap aspek kehidupan di Cina serta beberapa negara di sekitarnya. Dewasa ini pemeluk Kong Hu Cu berjumlah sekitar 350 juta orang di seluruh dunia, tersebar di Cina, Korea, Jepang, Myanmar (Burma), Vietnam, dan Thailand.

DAFTAR PUSTAKA

Bleeker, C. J. Pertemuan Agama-Agama Dunia. Bandung: Sumur Bandung, 1985.
Dawson, Raymon. Kong Hu Cu: Penata Budaya Kerajaan Langit. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992.
Hadikusuma, Hilman. Antropologi Agama: Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993.
Smart, Ninian. The Religious Experience of Mankind. New York: Charles Scribners Son, 1961.
Vasanty, Puspa. “Kebudayaan Orang Tionghoa Di Indonesia,” Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, ed. Koentjaraningrat. Jakarta: Djambatan, t.t.

Rifki Rosyad