Kodifikasi Hukum

(Ar.: at-taqnin)

Secara etimologis, at-taqnin berarti “ukuran segala sesuatu”. At-taqnin seakar dengan kata qanun yang berasal dari bahasa Yunani, canon. Selanjutnya kata ini digunakan untuk menyebut “suatu peraturan” (al-qa‘idah). Secara terminologis, kata at-taqnin berarti “kumpulan undang-undang yang ditetapkan penguasa dan mempunyai daya paksa dalam mengatur hubungan sesama manusia dalam suatu masyarakat”.

Menurut Imam Muhammad Abu Zahrah, pakar hukum Islam dan mantan rektor Universitas al-Azhar, kodifikasi hukum atau taqnin adalah penyusunan hukum Islam ke dalam bentuk buku atau kitab undang-undang yang tersusun rapi, praktis, dan sistematis.

Kitab ini kemudian ditetapkan dan diundangkan secara resmi oleh kepala negara, sehingga mempunyai kekuatan hukum dan wajib dipatuhi serta dilaksanakan seluruh warga negara.

Ide kodifikasi hukum pertama kali dicanangkan oleh Abu Muhammad Ibnu al-Muqaffa (102 H/720 M–139 H/757 M) ketika ia menjadi sekretaris negara pada masa pemerintahan Khalifah Abu Ja‘far al-Mansur (754–775). Ia mengajukan ide tersebut kepada Khalifah karena pengamatannya terhadap kekacauan hukum dan peradilan ketika itu.

Pada masa itu sentimen mazhab sudah mulai merajalela, sehingga masing-masing mazhab hanya bertahan dan bangga dengan mazhab imamnya. Akibatnya, taklid pun membabi buta, bukan hanya di kalangan rakyat biasa melainkan juga di kalangan ulama; bahkan lebih jauh di kalangan para hakim sendiri.

Dari keadaan seperti itu muncul pernyataan bahwa tidak ada lagi ulama yang mampu berijtihad dan para hakim tidak perlu lagi berijtihad, tetapi cukup merujuk kepada kitab mazhab. Hal ini mendorong Ibnu al-Muqaffa untuk mengusulkan ide itu melalui bukunya yang berjudul Risalah as-sahabah.

Ada beberapa tujuan yang hendak dicapai dengan ide kodifikasi hukum tersebut, antara lain untuk memberikan batasan yang jelas tentang hukum sehingga mudah untuk disosialisasikan di tengah masyarakat dan untuk membantu hakim dalam merujuk hukum mana yang akan diterapkannya terhadap kasus yang dihadapi tanpa harus melakukan ijtihad lagi.

Dalam kaitan ini, kodifikasi hukum diharapkan mampu mengatasi kekacauan hukum pada saat itu dan menghindarkan subjektivitas hakim di lembaga peradilan. Akan tetapi, ide ini tidak mendapat dukungan dari pihak penguasa, karena muncul kekhawatiran apabila terjadi kesalahan berijtihad di satu pihak dan keharusan bertaklid di pihak lain.

Ulama mencoba menganalisis sisi negatif dan positif dari kodifikasi hukum Islam tersebut. Sisi negatif yang dikemukakan ulama belakangan antara lain sebagai berikut:

(1) Hukum yang telah dikodifikasikan bersifat kaku. Di satu sisi, manusia dengan segala persoalan kehidupannya senantiasa berkembang. Perkembangan dan kemajuan manusia ini sering tidak diiringi oleh hukum yang mengaturnya. Di sisi lain, fikih Islam tidak dimaksudkan untuk berlaku abadi sepanjang masa, tetapi hanya merupakan hukum yang menjawab persoalan kekinian (temporal), sehingga senantiasa bisa disesuaikan dengan segala tempat dan zaman.

(2) Kodifikasi hukum Islam tersebut akan membuat upaya ijtihad menjadi mandek. Seorang ulama atau hakim bisa saja terpaku dengan fikih yang telah dikodifikasikan tersebut, sehingga perkembangan berpikir pun menjadi mandek.

(3) Kodifikasi hukum Islam akan memunculkan persoalan taklid baru, karena warga negara yang tunduk terhadap kodifikasi hukum tersebut hanya akan terikat dengan satu pendapat. Padahal tabiat fikih Islam masih bisa berkembang dan berbeda antara satu pendapat dan pendapat lainnya, sehingga setiap orang dapat mengikuti pendapat siapa saja selama ia belum mampu untuk berijtihad sendiri.

Hal ini juga akan mengesankan kesempitan dan kesulitan fikih tersebut serta berlawanan dengan pernyataan bahwa perbedaan pendapat para imam (ulama) tersebut merupakan rahmat bagi umat (Ikhtilaf ummati rahmah: perbedaan pendapat di antara umatku merupakan rahmat; HR. al-Baihaki).

Sisi positif yang dapat diambil dari adanya kodifikasi hukum Islam antara lain sebagai berikut:

(1) Kodifikasi hukum memudahkan untuk merujuk hukum yang sesuai dengan keinginan, karena kitab fikih yang tersebar di dunia Islam penuh dengan perbedaan pendapat yang kadang-kadang membingungkan dan menyulitkan.

2) Kodifikasi hukum mengokohkan fikih Islam dengan mengemukakan pendapat yang paling kuat. Fikih Islam penuh dengan berbagai perbedaan pendapat, baik yang terjadi antara para ulama antarmazhab maupun antara ulama dalam mazhab yang sama, sehingga sulit untuk menentukan pendapat yang terkuat dari sekian banyak pendapat.

Ditambah lagi, muncul persoalan, misalnya, apakah orang yang dihadapi tersebut bermazhab Hanbali atau Syafi‘i, sehingga hasil ijtihad Imam Hanafi atau Imam Malik tidak diterapkan kepadanya. Keadaan seperti ini sangat menyulitkan praktisi hukum untuk memilih hukum mana yang akan diterapkan. Dalam kaitan ini, kodifikasi hukum Islam sesuai dengan pendapat yang kuat akan lebih praktis dan mudah dirujuk oleh para praktisi hukum.

(3) Ada semacam unifikasi hukum bagi lembaga peradilan. Apabila dalam suatu negara terdapat berbagai hukum (tidak hanya satu), akan muncul perbedaan keputusan antara satu peradilan dan peradilan lainnya. Hal ini bukan saja akan membingungkan umat, tetapi lebih jauh akan membuat stabilitas lembaga yudikatif tersebut akan terganggu, karena akan lahir keputusan yang saling bertentangan antara satu peradilan dan peradilan lainnya.

Dalam kaitan ini, Dr. Wahbah az-Zuhaili (guru besar dalam bidang fikih dan usul fikih) berpendapat bahwa kodifikasi hukum di zaman sekarang sudah merupakan tuntutan yang tak dapat dihindari, karena tidak semua orang mampu untuk merujuk kitab fikih yang ada, khususnya orang yang tidak menguasai bahasa Arab dengan segala seluk-beluknya.

Ide kodifikasi hukum Ibnu al-Muqaffa baru terealisasi pada 1293 H/1876 M di bawah pemerintahan Kerajaan Usmani Turki dengan lahirnya kodifikasi hukum Islam pertama dalam Mazhab Hanafi. Kodifikasi hukum yang disebut Majallah al-Ahkam al-‘Adliyyah (Hukum Perdata Usmani Turki) diberlakukan ke seluruh wilayah yang dikuasai Kerajaan Usmani Turki pada saat itu sampai pertengahan abad ke-20.

Setelah Perang Dunia II, bermunculan kodifikasi hukum di berbagai negara Arab yang diawali oleh Mesir (1920, 1929, 1946, dan 1952) dan diikuti Irak (1959, 1963, dan 1978), Yordania (1951 dan 1976), Libanon (1917, yang merupakan bagian dari Usmani Turki), Suriah (1953 dan 1975), Maroko (1957), Tunisia (1958), Sudan (1967), Kuwait (1983), dan Uni Emirat Arab (1979, 1980, 1984, 1985, dan 1986).

Dilihat dari waktu kemunculannya, ide Ibnu al-Muqaffa tentang kodifikasi hukum baru mendapatkan jawaban setelah negara-negara Islam dijajah Barat. Untuk menghindarkan diri dari pengaruh hukum Eropa, ulama dan pakar hukum di berbagai negara tersebut berupaya untuk melakukan kodifikasi hukum Islam walaupun hanya sebagian, khususnya di bidang hukum keluarga.

Meskipun ada kecemasan terhadap sisi negatif kodifikasi hukum Islam tersebut, seperti mandeknya ijtihad dan tidak berkembangnya hukum, akhirnya ulama di zaman modern lebih banyak mendukung ide tersebut di negeri masing-masing karena terdesak situasi dan kondisi sosio-kultural dan politik.

Indonesia, yang mayoritas penduduknya beragama Islam, pada 1974 telah memiliki kodifikasi hukum perkawinan yang dikenal dengan UU No.1 tahun 1974 dengan PP No.9 tahun 1979. Kemudian muncul Undang-Undang Peradilan Agama No.7 tahun 1989 dan Instruksi Presiden Republik Indonesia No.1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

Undang-Undang Peradilan Agama No.7 tahun 1989 pada dasarnya merupakan tuntutan dari UU No.14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Sebelum ketiga peraturan perundang­undangan tersebut muncul, di Indonesia telah ada peraturan yang mengatur peradilan agama dan materi hukumnya, tetapi semuanya dibuat oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahrah, Muhammad. Islam at-taqnin wa al-Ahkam. Cairo: Dar al-Kitab al-’Arabi, 1977.
Abu Zaid, Bakar bin Abdullah. at-taqnin wa al-Ilzam. Riyadh: Dar al-Hilal, 1982.
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: t.p., 1992/1993.
Duraib, Su‘ud bin Sa‘ad ‘Ali. at-Tanzim al-Qada’i fi al-Mamlakah al-‘Arabiyyah as-Sa‘udiyyah fi Dau’ asy-Syari‘ah al-Islamiyyah wa Nizam as-Sulthan al-Qada’iyyah. Riyadh: University Ibnu Sa‘ud al-Islamiyyah, 1983.
Haidar, Ali. Durar al-hukkam Syarh Majallah al-Ahkam al-‘Adliyyah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.
Reasons, Charles E. dan Robert M. Rich. The Sociology of Law. Toronto: Butterworths, 1978.
az-Zuhaili, Wahbah. Juhud Taqnin al-Fiqh al-Islami. Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1408 H/1978 M.
Nasrun Haroen