Kiai adalah gelar kehormatan yang diberikan masyarakat bagi seorang ahli agama Islam. Dulu, orang dipanggil kiai jika memimpin pesantren dan mengajarkan agama Islam kepada santrinya, tetapi kini banyak ulama disebut kiai, meskipun tidak memimpin pesantren. Di beberapa daerah, kiai disebut dengan istilah sendiri: ajengan (Jawa Barat), tuan guru (Lombok), dan teungku (Aceh).
Secara kebahasaan, kiai berarti “seseorang yang dipandang alim (pandai) dalam bidang agama Islam”, “guru ilmu gaib”, “pejabat kepala distrik” (di Kalimantan Selatan, Indonesia), “benda yang dipandang bertuah”, dan “sebutan untuk harimau”.
Kiai dalam masyarakat Jawa adalah orang yang dianggap menguasai ilmu agama Islam, dan biasanya mengelola dan mengasuh pondok pesantren. Ada di antara kiai yang menjadi pemimpin organisasi tarekat yang banyak berperan dalam penyebaran Islam di Jawa.
Sebutan “kiai” diberikan kepada orang yang dipandang menguasai ilmu agama, mempunyai karisma, dan mempunyai pengaruh, baik dalam lingkup regional maupun nasional. Dengan demikian kiai adalah muslim terpelajar (ulama) yang selalu membaktikan hidupnya untuk Tuhan serta memperdalam dan menyebarluaskan ajarannya kepada masyarakat.
Di beberapa daerah lain, masyarakat menyebut kiai dengan istilah mereka sendiri. Misalnya di Jawa Barat disebut Ajengan, di Lombok disebut Tuan Guru, dan di Aceh disebut Teungku.
Kiai menamakan dirinya sebagai al-faqir yang berarti “si miskin”. Penamaan ini sejalan dengan Al-Qur’an surah Muhammad (47) ayat 38, “Dan Allah Maha Kaya, sedangkan engkau adalah miskin.” Sebagai al-faqir, ia selalu menyadari bahwa dirinya tidak mempunyai esensi tersendiri; Allah SWT adalah esensi yang sebenarnya dan satu-satunya.
Perhatian utama kiai dalam kehidupan adalah untuk dapat mengalami hubungan yang dekat dan mendalam dengan Tuhan. Menurut mereka hanya ada satu jalan untuk memperoleh hubungan yang mendalam dengan Tuhan yakni dengan cara meneladani kehidupan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dan bertindak sesuai dengan tindakan dan ajaran Nabi SAW, sebab ini semua merupakan ekspresi kecintaan kepada Allah SWT.
Tak jarang kiai dianggap sebagai orang suci yang memiliki kekuatan gaib. Karena itulah wibawa kiai sangat tinggi, yang memungkinkan mereka dengan mudah menggerakkan para pengikutnya.
Dalam perjalanan sejarah, kiai kerap kali tampil di barisan depan perlawanan rakyat terhadap kolonialisme. Kiai bisa juga menerima pemimpin dari kalangan orang kafir, selama mereka tidak mencoba menghalangi usaha kiai untuk menyebarkan Islam. Pemikiran politik kiai semata-mata didasarkan pada kepentingan agama dan usaha penyebaran ajaran Islam.
Dalam percaturan politik, kiai merupakan kekuatan penting, karena kiai merupakan pembuat keputusan yang efektif dalam sistem kehidupan sosial orang Jawa, baik dalam kehidupan keagamaan maupun kehidupan politik. Di Jawa, kiai menempati kedudukan sosial yang tinggi sehingga mereka kerap kali diserahi tugas menangani masalah keislaman, misalnya membuat keputusan mengenai masalah hak milik, perkawinan, perceraian, dan warisan.
Hubungan kekerabatan di antara para kiai sangat kuat karena ada banyak hubungan perkawinan diantara mereka. Ikatan kekerabatan ini ikut membentuk tingkah laku politik, keagamaan, dan ekonomi di antara mereka. Tambahan pula kiai merupakan tokoh sentral dalam pesantren serta panutan bagi para santrinya. Pertumbuhan pesantren sangat bergantung pada kemampuan dan integritas pribadi kiai.
Untuk menjadi kiai, seorang calon harus berusaha keras melalui jenjang bertahap. Pertama-tama, ia biasanya merupakan anggota keluarga kiai. Kemudian ia mengembara untuk menimba ilmu di berbagai pesantren. Setelah menyelesaikan pelajarannya, kiai pembimbingnya yang terakhir akan melatihnya untuk mendirikan pesantrennya sendiri.
Kini kiai bukan satu-satunya tokoh yang mengajarkan ilmu agama dan mengurus masalah agama. Ilmu agama dapat diajarkan oleh ahli agama yang bukan kiai, sedangkan masalah agama ditangani pemerintah. Peran yang dituntut dari seorang kiai adalah berlomba dalam berbuat kebajikan (musabaqah bi al-khairat), yang titik tolaknya adalah upaya mewujudkan kesejahteraan alam semesta (rahmatan li al-‘Alamin).
DAFTAR PUSTAKA
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES, 1985.
Horikoshi, Hiroko. Kiyai dan Perubahan Sosial. London: t.p., 1830.
Ma’arif, Ahmad Syafi’i. Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES, 1985.
Moesa, H Ali Maschan. Kiai dan Politik dalam Wacana Civil Society. Surabaya: Lepkiss Sunan Giri, 1999.
Rahardjo, M. Dawam, ed. Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun Dari Bawah. Jakarta: P3M, 1985.
Yusuf, Slamet Effendy, et al. Dinamika Kaum Santri. Jakarta: Rajawali Press, 1983.
Ziemek, Manfred. Pesantren dalam Perubahan Sosial. Jakarta: P3M, 1986.
Ahmad Rofiq