Khurafat

(Ar.: al-khurafat)

Secara kebahasaan, al-khurafat berarti “cerita bohong”, “dongeng”, dan “takhayul” atau suatu hal yang tidak masuk akal. Secara terminologis, semua kepercayaan, keyakinan, atau kegiatan yang tidak memiliki dasar dan atau tidak bersumber dari ajaran agama tetapi diyakini sebagai yang berasal dan memiliki dasar dari agama disebut khurafat.

Pada mulanya kata “khurafat” lebih dimaksudkan untuk semua hal atau kepercayaan yang bertentangan dengan akidah islamiah yang benar. Akan tetapi selanjutnya juga dimaksudkan untuk semua praktek atau kegiatan muamalah yang bertentangan dengan tuntunan syariat. Dengan demikian, khurafat dapat meliputi bidang akidah maupun muamalah atau bidang lain yang menjadi lapangan berlakunya tuntunan syariat.

Khurafat yang oleh pelakunya diyakini sebagai sesuatu yang dibenarkan agama mungkin saja bisa memberi ketenangan dan kemantapan jiwa bagi yang melakukannya. Akan tetapi, karena perbuatan itu pada dasarnya menyimpang dari tuntunan agama yang benar, ketenangan dan kemantapan jiwa tadi bersifat semu, tidak langgeng. Begitu pula karena perbuatan tersebut bertentangan dengan akal sehat, pada akhirnya khurafat dirasakan sebagai hal yang berlawanan dengan fitrah kejadian manusia.

Apabila agama Islam memusatkan segala bentuk pengabdian hanya kepada Allah SWT, khurafat menyelewengkannya dari pemusatan yang demikian. Apabila agama melapangkan bidang muamalah bagi manusia, khurafat cenderung menyempitkannya.

Perbuatan khurafat dilakukan bisa karena disengaja atau tanpa disengaja, disadari atau tanpa disadari. Untuk orang yang melakukan khurafat dengan sengaja atau dengan sadar karena ia lemah menolak godaan khurafat itu sendiri atau karena maksud tertentu, tanggung jawabnya terhadap Allah SWT jauh lebih berat dan besar dibandingkan dengan pelanggaran lainnya yang dilakukan dengan sengaja.

Adapun untuk perbuatan khurafat yang dilakukan tanpa sengaja dan tanpa disadari, biasanya karena ketidaktahuan pelakunya bahwa hal itu tidak dibenarkan agama dan akal sehat, tanggung jawabnya terhadap Allah SWT tetap ada, sekalipun tidak seberat dan sebesar dari yang pertama. Baik bagi pelaku khurafat yang sadar maupun tanpa sadar senantiasa terbuka harapan untuk dimaafkan asalkan pelakunya mau bertobat.

Berbagai bentuk dan corak khurafat bisa dijumpai dalam semua bidang kehidupan manusia. Contoh khurafat yang disebutkan agama antara lain ada dalam hadis riwayat Ahmad yang menyebutkan bahwa Nabi SAW pernah meminta kepada seorang laki-laki untuk menanggalkan giwang (rantai) yang ada di tangannya karena laki-laki tersebut, setelah ditanya Nabi SAW, menjelaskan bahwa giwang itu dipakainya untuk mendapatkan kekuatan (fisik).

Serupa dengan itu, hadis riwayat Ahmad dan at-Tirmizi menegaskan bahwa Nabi SAW menggolongkan perbuatan memakai atau melekatkan sesuatu di badan untuk tujuan mendapatkan kekuatan sebagai perbuatan syirik.

Dalam riwayat lain, at-Tirmizi menjelaskan bahwa dalam suatu perjalanan, karena suatu dialog dan permintaan salah seorang sahabat, Nabi SAW menggolongkan kurafat sebagai perbuatan bodoh, yakni perbuatan orang musyrikin dahulu yang memuliakan serta menggantungkan kemaslahatan mereka pada pohon dan batu.

Khurafat dapat merasuk dalam kehidupan manusia, baik yang ada hubungannya dengan benda, perbuatan, maupun dengan keyakinan. Misalnya, khurafat telah masuk ke dalam ibadah salat, haji, puasa, dan benda di sekeliling manusia yang dianggap memiliki kekuatan magis.

DAFTAR PUSTAKA

Ibnu Taimiyah. al-‘Aqidah al-Wasithiyyah. Beirut: Dar al-‘Arabiyah, t.t.
as-San’ani, Muhammad bin Isma’il al-Kahlani. Tathir al-I‘tiqad ‘an Idrani al-Ilhad. Riyadh: Mu’assasah an-Nur li at-Thiba’ah wa at-Tajlid, 1388 H.
al-Wahhab, Muhammad bin Abdul. Kasyf asy-Syubahat wa ar-Risalah al-Mufidah. Riyadh: Maktabah ar-Riyadh al-Hadisah, t.t.
__________. Kitab at-Tauhid haqq Allah ‘ala al-‘abid. Cairo: Dar al-Mishr li at-Tiba’ah, t.t.

Moch. Qosim Mathar