Khitan

(Ar.: al-khitan)

Memotong kulit penutup ujung zakar atau kemaluan laki-laki dan membuang bagian kelentit atau gumpalan jaringan kecil pada ujung lubang vulva pada bagian atas kemaluan perempuan disebut khitan. Secara etimologis kata al-khitan berasal dari kata khatana, yang berarti “memotong” atau “mengerat”.

Dalam bahasa Arab, kata yang khusus menunjukkan arti khitan bagi perempuan adalah al-khafdu, seperti pada ungkapan khafadat al-jariyah (telah berkhitan anak gadis itu). Namun dalam pemakaian sehari-hari kata “khitan” dipakai untuk keduanya. Di Indonesia, di samping sebutan “khitan” dikenal sebutan “sunat”, yang maksudnya sama dengan khitan.

Khitan dikenal di berbagai belahan dunia, seperti di benua Amerika, Australia, dan Afrika. Dalam sejarah Islam, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Muslim dari Abu Hurairah, khitan sudah dimulai sejak zaman Nabi Ibrahim AS.

Ia memberikan contoh pengkhitanan dirinya dengan kapak. Dalam hal ini Nabi SAW bersabda, “Nabi Ibrahim AS dikhitan ketika beliau berusia 80 tahun” (HR. Bukhari). Sunah Nabi Ibrahim AS tersebut diikuti para nabi dan rasul sesudahnya yang juga disyariatkan kepada umatnya masing-masing.

Pada masa Islam, khitan dilakukan Rasulullah SAW terhadap kedua cucunya, Hasan bin Ali bin Abi Thalib dan Husein bin Ali bin Ali Thalib, pada saat masing-masing baru berusia 7 hari. Menurut hadis yang diriwayatkan Anas bin Malik dan Ibnu Abdul Bar, Rasulullah SAW sendiri tidak dikhitan, karena didapati sejak lahir sudah dalam keadaan terkhitan. Kegiatan khitan ini terus melembaga pada masyarakat Islam, baik pada masa sahabat, tabiin, tabi‘ at-tabi‘in (generasi setelah tabiin), maupun pada masa berikutnya.

Di Indonesia, peristiwa khitan, khususnya untuk laki-laki, merupakan sesuatu yang khas dan bahkan istimewa. Di beberapa daerah, peristiwa khitan dimeriahkan dengan pesta yang menyerupai pesta untuk walimah. Di dalamnya terdapat upacara yang berbaur antara ajaran Islam dan tradisi atau kepercayaan lokal.

Berdasarkan perbuatan Rasulullah SAW mengkhitan kedua cucunya dan perlunya mempersiapkan fisik dan mental anak sejak dini, khitan sebaiknya dilakukan pada waktu anak masih kecil (sampai batas usia mumayiz) karena pada usia demikian anak-anak sedang dipersiapkan secara fisik dan mental untuk menjalankan tugas keagamaan kelak setelah mereka mencapai usia mukalaf.

Praktek khitan di masyarakat sangat beragam. Ada yang melaksanakan khitan bersamaan dengan kegiatan akikah, ada yang melaksanakannya pada usia pra-sekolah, dan ada pula yang melaksanakannya pada usia sekolah (tingkat dasar) menjelang usia mumayiz.

Bagian yang dikhitan pada laki-laki adalah kulit yang menutupi ujung kemaluan. Menurut ulama, ukuran yang dipotong adalah sebatas dapat membuka kulit yang menutup ujung kemaluan tersebut. Adapun yang dikhitan pada perempuan adalah bagian dari kelentit yang menyerupai gelambir (’urf ad-dik).

Dari sudut hukum, khitan terutama diperintahkan bagi laki-laki. Dalam hal ini, kebanyakan ulama, seperti Imam Syafi‘i, Imam Malik, Imam Hanbali, dan Abdurrahman al-Auza’i (w. 156 H/773 M) sepakat menetapkan hukumnya sebagai wajib berdasarkan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surah an-Nisa’ (4) ayat 125 dan hadis Nabi SAW: “Potonglah rambut jahiliah dan berkhitanlah” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).

Akan tetapi beberapa ulama, seperti Imam Hanafi dan al-Hasan al-Basri (21 H/642 M–110 H/729 M) menilainya sebagai sunah berdasarkan hadis Nabi SAW: “Khitan hukumnya sunah bagi laki-laki dan kehormatan bagi perempuan” (HR. Muslim).

Adapun khitan bagi perempuan hanya dianjurkan. Menurut sebuah hadis yang diriwayatkan Ahmad bin Hanbal dari Syaddad bin Aus, Rasulullah SAW menyebutkan bahwa khitan untuk perempuan dilakukan sebagai kemuliaan saja (makramah li an-nisa’). Nabi SAW juga pernah berkata kepada juru khitan perempuan: “Sedikit saja dipotong, sebab hal itu menambah cantik wajahnya dan kehormatan bagi suamnya” (HR. Abu Dawud).

Khitan juga dilakukan setiap orang yang baru masuk Islam atau mualaf, baik tua maupun muda. Hal ini sesuai dengan sebuah hadis dari az-Zuhri yang menyatakan bahwa setiap orang yang masuk Islam hendaknya dikhitan meskipun sudah berusia tua. Khitan untuk para mualaf biasanya dilaksanakan bersamaan dengan kegiatan ikrar pengislaman mereka.

Sebagai salah satu ajaran yang telah diterapkan dalam Islam, baik bagi laki-laki maupun perempuan, khitan memiliki fungsi dan manfaat yang sangat penting bagi kepentingan syiar Islam serta kesehatan jasmani dan rohani yang dikhitan.

Bagi laki-laki, khitan berfungsi untuk mempermudah dan mempercepat proses pembersihan fisik sebagai salah satu syarat sahnya ibadah, khususnya yang berkaitan dengan kotoran air kencing.

Dari sudut kedokteran/medis manfaat khitan adalah: a) memperindah dan memperhalus zakar, b) meningkatkan kualitas syahwat, dan c) menghindari berbagai penyakit yang disebabkan pembusukan air kencing yang tertahan pada kulup dan peluh berminyak.

Khusus bagi perempuan, sebagaimana sabda Rasulullah SAW dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Dawud dari Umm ‘Atiah, perempuan yang dikhitan akan lebih dicintai oleh suaminya dan mempunyai kedudukan yang mulia dibanding dengan perempuan lainnya (yang tidak dikhitan).

Dari sudut mental anak, pada saat dikhitan, anak itu mulai diperkenalkan kepada aturan agama agar muncul kesadaran bahwa dirinya adalah makhluk Allah SWT yang harus tunduk kepada-Nya dan berkorban atas perintah-Nya.

DAFTAR PUSTAKA

al-Jauziyah, Ibnu Qayyim. Tuhfah al-Maudud bi Ahkam al-Maulud. Cairo: Maktabah Al-Qur’an, t.t.
‘Ulwan, Abdullah Nasih. Tarbiyyah al-Aulad fi al-Islam. Beirut: Dar al-Islam, 1981.

Utang Ranuwijaya