Khianat

(Ar.: al-khiyanah)

Dalam ajaran Islam, khianat berarti “sikap mental atau perilaku tidak jujur terhadap diri sendiri, orang lain, maupun Allah SWT dan Rasul-Nya”. Menurut Ragib al-Isfahani (ahli kosa kata Al-Qur’an), arti kata “khianat” hampir sama dengan kata “nifak” (munafik). Bedanya, khianat berkonotasi curang terhadap janji dan amanat, sedangkan nifak terhadap ajaran agama secara umum. Dengan demikian, arti nifak lebih luas dari khianat.

Rasulullah SAW menempatkan khianat sebagai salah satu tanda kemunafikan. Rasulullah SAW bersabda, “Tanda orang munafik ada tiga: apabila berbicara, ia berdusta; apabila berjanji, ia mungkir; dan apabila dipercayai, ia berkhianat” (HR. Bukhari dan Muslim).

Khianat terhadap diri sendiri adalah sikap mental atau perilaku tidak jujur terhadap diri sendiri dengan melanggar aturan agama yang telah ditentukan Allah SWT dan Rasul-Nya. Contohnya, sebagian sahabat mengharamkan dirinya untuk makan, minum, dan menggauli istri pada malam hari di bulan Ramadan setelah tertidur, meskipun hari masih malam.

Sehubungan dengan hal tersebut, Allah SWT menurunkan ayat Al-Qur’an yang membolehkan orang makan, minum, dan menggauli istrinya sepanjang malam bulan Ramadan, meskipun ia telah bangun tidur pada malam itu. Karena itu, orang yang mengharamkan makan, minum, dan menggauli istri pada malam hari di bulan Ramadan berarti telah mengkhianati dirinya sendiri.

Hal ini dikemukakan dalam Al-Qur’an surah al-Baqarah (2) ayat 187: “…kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu….”

Pengertian khianat terhadap orang lain adalah sikap mental atau perbuatan curang yang dilakukan seseorang atau kelompok terhadap orang atau kelompok lain. Akibat perbuatannya ini, seseorang dapat kehilangan kepercayaan yang diberikan kepadanya.

Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an: “Dan jika kamu mengetahui pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat” (QS.8:58).

Menurut at-Tabarsi (w. 502 H/1109 M), ulama Syiah Imamiyah, makna ayat ini adalah, umpamanya, jika sekelompok orang berjanji pada seseorang, lalu orang tersebut mengetahui kecurangan yang dilakukan oleh kelompok tersebut terhadap janjinya, kecurangannya harus disampaikan dan janjinya harus diputuskan. Kalau perjanjian itu menyangkut harta benda, maka harta tersebut harus dikembalikan kepada pemiliknya semula.

Adapun pengertian khianat terhadap Allah SWT dan Rasul-Nya menurut Ibnu Abbas (sahabat dan saudara sepupu Nabi SAW) adalah “meninggalkan apa yang disyariatkan Allah SWT dan Rasul-Nya”. Namun, menurut Hasan bin Ali bin Abi Thalib (Cucu Nabi Muhammad SAW) yang dimaksud berkhianat terhadap Allah SWT dan Rasul-Nya tidak hanya meninggalkan aturan agama tetapi juga mempersempit aturan agama.

Dalam ajaran Islam, khianat adalah haram (hukumnya). Hal ini didasarkan pada beberapa ayat Al-Qur’an yang secara tegas melarang tindakan tersebut. Dalam surah al-Anfal (8) ayat 27 disebutkan: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”

Allah SWT juga mencela orang yang berkhianat, seperti terdapat dalam firman-Nya: “…Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berkhianat” (QS.8:58).

Larangan berkhianat dipertegas pula dalam hadis Nabi SAW, antara lain disebutkan: “Janganlah kamu mengkhianati orang yang mengkhianatimu” (HR. Ahmad, at-Tabarani, Ibnu Hibban, dan al-Bazzar) dan “Tidak (sempurna) iman bagi orang yang tidak memiliki sikap atau perilaku amanat” (HR. Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Hibban).

Khianat tidak muncul secara tiba-tiba, tetapi didorong beberapa faktor yang mendasarinya, antara lain sebagai berikut.

(1) Hasad (dengki). Kedengkian seseorang terhadap orang lain dapat membuatnya berkhianat, sebagai upaya untuk melampiaskan kedengkiannya. Hal ini dapat dilihat pada riwayat Nabi Yusuf dan saudaranya. Karena dengki, saudara Yusuf tega mengkhianati ayah mereka yang telah mempercayai mereka untuk membawa Yusuf menggembalakan kambing, namun mereka membuangnya ke dalam sumur (QS.12:7–18).

(2) Cinta terhadap dunia. Orang yang terlalu berambisi terhadap harta benda duniawi akan mudah berkhianat kepada sesamanya. Hal ini telah diperingkatkan Nabi SAW dalam sabdanya: “Cinta kepada dunia merupakan pangkal segala kesalahan” (HR. Ibnu Abi ad-Dunia dan al-Baihaki).

(3) Ambisi terhadap kedudukan dan pangkat. Orang akan mudah mengkhianati sesamanya apabila dalam hatinya tersimpan ambisi terhadap kedudukan dan pangkat. Dalam hal ini, al-Ghazali meriwayatkan sebuah hadis Nabi SAW: “Cinta kepada harta benda dan kedudukan (kebesaran) menimbulkan sifat curang di dalam hati sebagaimana air menumbuhkan sayur-sayuran.”

(4) Dendam. Orang yang sedang diamuk rasa dendam akan mudah mengkhianati orang yang menjadi sasaran rasa dendamnya. Dalam hadis Nabi SAW yang diriwayatkan al-Ghazali disebutkan: “Jauhilah rasa permusuhan, karena hal itu dapat menghapuskan agama.” Yang dimaksud dengan menghapuskan agama di sini adalah menghilangnya pengaruh ajaran agama yang telah tertanam dalam hati seseorang.

(5) Egois. Orang yang bersifat egois akan mudah melakukan khianat terhadap orang lain karena baginya kepentingan diri pribadi lebih utama daripada kepentingan bersama. Al-Qur’an mencontohkan tipe orang yang egois pada iblis. Dikatakan bahwa semula iblis adalah makhluk Tuhan yang patuh kepada-Nya, tetapi kemudian berkhianat kepada perintah Allah SWT (QS.2:34).

Khianat tidak hanya dikutuk sebagai dosa dalam hukum agama, tetapi juga mengandung bahaya bagi masyarakat dan pribadi si pengkhianat. Bahaya khianat bagi orang lain atau masyarakat antara lain adalah sebagai berikut.

(1) Khianat akan menghancurkan sendi-sendi masyarakat, karena sikap mental atau perilaku tersebut dapat menimbulkan rasa saling tidak percaya, tidak saja antara si pengkhianat dan orang yang dikhianati tetapi juga meluas dalam masyarakat.

(2) Khianat akan menimbulkan permusuhan antara pengkhianat dan orang yang dikhianati. Akibatnya bisa meluas menjadi permusuhan keluarga dan menghancurkan keamanan masyarakat.

(3) Khianat akan menimbulkan sikap curiga antara pengkhianat dan yang dikhianati. Akibatnya, hubungan antara individu menjadi retak dan terjadi kekacauan dalam masyarakat. Bahaya khianat ini dapat dilihat pada kasus Abdullah bin Ubayy, salah seorang pemuka suku Bani Jumah yang berpura-pura masuk Islam.

Menjelang terjadinya Perang Uhud, Abdullah bin Ubayy melakukan pengkhianatan kepada pasukan Islam. Ia keluar dari barisan pasukan Islam sambil menghasut para tentara untuk keluar dan mengikutinya kembali ke Madinah. Akhirnya, propaganda Abdullah bin Ubayy berhasil mempengaruhi 300 orang tentara dari 1.000 pasukan Islam. Tindakannya ini membuat pasukan Islam menjadi lemah.

Adapun bahaya khianat bagi pribadi pengkhianat antara lain sebagai berikut:

(1) hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap diri pengkhianat, sehingga ia terisolasi dari masyarakat;

(2) penderitaan batin pada diri pengkhianat akibat dosa yang dilakukannya; dan

(3) hancurnya kehidupan perekonomian si pengkhianat karena tidak ada lagi orang yang mau berhubungan dengannya. Akibatnya, kehidupan orang tersebut menjadi sempit. Keadaan seperti ini dialami Abdullah bin Ubayy.

Akibat perbuatannya, ia terisolasi dari masyarakat, sementara kehidupan pribadinya dirasakan penuh bahaya. Suatu kali Umar bin Khattab datang kepada Nabi SAW meminta izin untuk membunuh Abdullah bin Ubayy, tetapi Nabi SAW tidak mengizinkannya. Keadaan ini sangat memukul batin Abdullah bin Ubayy.

DAFTAR PUSTAKA

al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya’ ‘Ulum ad-Din. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1939.
Ibnu Kasir. Tafsir al-Qur’an al-‘Azim. Beirut: Dar al-Fikr, 1966.
al-Khadimi, Abi Sa’id. Bariqah Mahmudiyyah fi Syarh Tariqah Muhammadiyyah. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1348 H/1929 M.
Khalil, Imaduddin. Dirasah fi as-Sirah. Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 1991.
as-Suyuti, Jalaluddin Abdur Rahman bin Abu Bakar. al-Jami‘ as-sagir. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
at-Tabarsi, Abu ‘Ali al-Fadl bin al-Hasan. Majma‘ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an. Beirut: Dar al-Ma‘rifah, t.t.

Yunasril Ali