Khawatir

(Ar.: al-khawathir)

Al-khawathir berarti “buah pikiran atau sesuatu yang melintas di pikiran”. Khawatir merupakan kekuatan yang muncul dalam kalbu sebagai pendorong untuk melakukan suatu. Kekuatan itu, yang muncul hanya sebentar, datang ke kalbu manusia dan mempengaruhi pikiran dan perasaannya. Orang dapat saja menghilangkannya dengan kekuatan jiwanya sendiri. Khawatir adalah salah satu istilah tasawuf.

Diriwayatkan bahwa terlintas dalam pikiran Khair an-Nassaj (w. 322 H/924 M), seorang sufi, bahwa al-Junaid al-Baghdadi (seorang sufi besar Irak; w. 298 H/910 M) sedang menunggu di depan pintunya dan ingin mengusir lintasan pikiran (khawatir) tersebut.

Lintasan pikiran itu menggodanya sampai tiga kali sehingga mendorongnya untuk keluar. Setelah sampai di depan pintu, ternyata ia mendapatkan al-Junaid yang mengatakan kepadanya, “Jika engkau mengikuti apa yang terlintas dalam pikiranmu tidak perlu aku berdiri berlama­lama di sini.” Al-Junaid mengetahui khawatir yang terdapat dalam pikiran an-Nassaj karena ia adalah pembimbing rohani (syekh mursyid) an-Nassaj. Seorang pembimbing rohani dalam tasawuf pasti mengetahui semua yang terjadi pada muridnya.

Sebagai suatu keistimewaan manusia di antara makhluk yang lain, ia diberi Allah SWT pikiran dan perasaan. Dalam menghadapi segala sesuatu, pikiran dan perasaan senantiasa aktif memainkan peranannya sehingga dengan upaya keduanya manusia dapat menentukan apakah ia akan melakukan suatu tindakan atau tidak.

Bagi para sufi, tindakan berpikir dan merasa bukanlah perbuatan mandiri yang hanya muncul atas kehendak daya nalar dan daya rasa semata, tetapi di balik daya tersebut terdapat suatu daya lain yang disebut khawatir yang berperan mempengaruhi dua daya tersebut.

Para sufi, antara lain al-Qusyairi (w. 465 H/1074 M) dan Abdul Razak al-Kasyani (w. 730 H/1329 M), membagi khawatir atas empat macam:

(1) khawathir rabbani, yaitu daya pendorong dari Allah SWT, yang disebut sufi dengan as-sabab al-awwal;

(2) khawathir malaki, yakni daya pendorong dari malaikat, yang disebut ilham;

(3) khawathir syaithani, yakni daya pendorong dari setan, yang biasa disebut waswas; dan

(4)     khawathir nafsani, yakni daya pendorong dari nafsu manusia, yang disebut juga hawajis.

Khawathir rabbani dan Khawathir malaki senantiasa memberikan dorongan ke arah kebaikan, sedangkan Khawathir syaithani dan Khawathir nafsani memberikan dorongan ke arah kejahatan. Dalam kehidupan sehari-hari sulit membedakan antara keempat khawatir tersebut.

Al-Qusyairi mengatakan, “Para syekh tasawuf sepakat memandang bahwa orang yang biasa memakan yang haram tidak dapat membedakan antara waswas dan ilham. Sebaliknya, bagi orang yang memiliki kalbu yang bersih akan mudah baginya membedakan dorongan tersebut karena Allah SWT lebih banyak memberikan taufik dan hidayah-Nya.”

Pada dasarnya akal dan kalbu manusia cenderung kepada kebaikan karena fitrahnya. Oleh sebab itu, para syekh tasawuf sepakat memandang bahwa hati manusia tidak pernah berdusta. Sebaliknya, nafsu tidak pernah benar, ia senantiasa hendak membawa manusia ke jalan yang salah. Dalam pergolakan antara hati dan nafsu muncullah khawatir.

Khawathir rabbani senantiasa mendorong seseorang untuk membuat kebaikan dan menegakkan kebenaran, tetapi ia dapat saja menghilang dari dalam hati, apabila hati mendapat dorongan yang kuat dari khawatir yang lain. Khawathir malaki berupaya mendorong seseorang ke arah kebaikan dan kebenaran, namun lebih condong kepada amal yang fardu dan sunah.

Terdapat perbedaan pendapat tentang manakah yang hilang dan yang tetap tinggal dalam kalbu apabila bertemu antara Khawathir rabbani dan Khawathir malaki atau manakah yang lebih kuat pengaruhnya terhadap kalbu. Al-Junaid berpendapat, kedua Khawathir itu akan tetap tinggal di dalam hati, tetapi Khawathir rabbani lebih kuat pengaruhnya.

Khawathir malaki hanya memperkuat pengaruh Khawathir rabbani karena pada dasarnya Khawathir malaki juga bersumber dari wujud Khawathir rabbani. Sementara itu, Ibnu Ata’ (w. 309 H/922 M), seorang sufi sahabat al-Junaid, memandang Khawathir malaki lebih kuat dari Khawathir rabbani, karena Khawathir malaki menyerap kekuatan Khawathir rabbani. Bagi Ibnu al-Khafif (w. 371 H/982 M), seorang sufi di Syiraz (Iran), keduanya sama-sama kuat dan saling membantu dalam kebenaran dan kebaikan.

Khawathir syaithani senantiasa hendak menyeret manusia kepada kejahatan karena setan telah berjanji di hadapan Allah SWT untuk selalu berupaya menjerumuskan manusia kepada kehinaan (QS.2:268).

Khawathir nafsani atau hawajis mendorong manusia kepada kejahatan dan kehinaan. Khawathir syaithani berupaya menjerumuskan manusia dengan berbagai cara dalam berbagai bentuk kejahatan dan kehinaan. Al-Junaid berkata, “Perbedaan antara hawajis dan waswas adalah hawajis merupakan dorongan yang kuat di dalam hati untuk berbuat jahat.

Dorongan itu tidak akan hilang kalau yang dikehendakinya belum tercapai. Adapun waswas adalah dorongan yang membawa kita untuk melakukan perbuatan jahat juga. Akan tetapi jika dorongan itu dapat kita atasi, timbul lagi dorongan untuk melakukan perbuatan jahat yang lain.”

DAFTAR PUSTAKA

al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya’‘Ulum ad-Din. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1939.
al-Hujwiri, ‘Ali bin ‘Usman. The Kasyful Mahjub, terj. R.A. Nicholson. London: Gibb Memorial Series, 1911.
al-Qasyani, Abdur Razq. Isthilahat as-sufiyyah. Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1984.
al-Qusyairi, Abu al-Qasim Abdul Karim. ar-Risalah al-Qusyairiyyah. Cairo: Mustafa al-Halabi, 1959.

Yunasril Ali