Dalam arti umum, khatib merupakan sebutan untuk orang yang berpidato. Dalam arti khusus, khatib adalah sebutan untuk orang yang berkhotbah pada salat Jumat dan salat id. Kata “khatib” selain dipakai sebagai jabatan, dipakai pula sebagai gelar. Jabatan khatib dalam Islam memiliki nilai strategis. Oleh sebab itu, khatib dituntut mampu berbahasa yang tinggi.
Pengertian Umum. Pada masa pra-Islam khatib mempunyai kedudukan tinggi di kalangan masyarakat Arab. Pada masa itu banyak khatib yang mampu menciptakan prosa bersajak (an-nasr al-masju‘) secara alami, sehingga kehadiran khatib di kalangan mereka sama dengan penyair yang mempunyai kedudukan tinggi dalam masyarakat.
Khatib merupakan penyambung lidah sukunya dalam masalah kemasyarakatan. Sebagai delegasi suku, khatib bertugas mengupayakan perdamaian antarsuku yang saling berselisih. Ia memberi penerangan masalah keagamaan kepada masyarakat. Khatib juga bertugas membangkitkan semangat perang melawan suku lain jika upaya perdamaian gagal.
Khatib umumnya berasal dari kalangan orang yang berpengaruh atau cendekiawan yang menguasai sejarah bangsa Arab. Mereka berpidato di tempat perayaan atau pertemuan. Kemampuan berpidato berkaitan erat dengan kepemimpinan. Seorang khatib tidak akan memperoleh wibawa jika tidak dapat berpidato dengan baik dan benar, dan harus mampu menyentuh hati pendengarnya.
Tradisi masyarakat Arab pra-Islam mengharuskan khatib berpidato di atas gundukan tanah atau di atas kendaraan tunggangan. Cara ini dilakukan agar suara khatib menembus jauh dan raut muka serta gerak anggota badannya terlihat pendengar. Khatib biasanya memegang tongkat, tombak, atau busur yang sewaktu-waktu diacungkan.
Khatib berpidato dengan menggunakan kalimat dan ungkapan singkat padat, disertai penguasaan intonasi kata-kata yang stabil. Kelak uslub (gaya bahasa) seperti ini menjadi ciri umum berpidato. Tidak jarang khatib mewarnai pidatonya dengan syair dan sajak.
Tokoh khatib masa pra-Islam antara lain adalah Qus bin Sa‘idah al-Iyadi dan Aksam bin Saifi at-Tamimi. Pidato kedua khatib ini penuh dengan hikmah. Qus bin Sa‘idah adalah seorang khatib Arab yang beragama tauhid dan beriman pada hari kebangkitan.
Ia adalah seorang khatib yang mengajak orang untuk meninggalkan praktek menyembah berhala dan menunjukkan jalan yang benar, yaitu mengabdi kepada Sang Pencipta. Ia juga khatib pertama yang memperkenalkan penggunaan kata amma ba‘du (dan selanjutnya).
Adapun Aksam bin Saifi adalah seorang khatib yang banyak mengetahui silsilah Arab dan banyak mencipta amtsal (kata-kata hikmah). Ia adalah seorang khatib yang memiliki pola pikir lurus dengan hujah yang kuat. Oleh karena itu, ia menjadi pimpinan delegasi ke Kisra untuk membeberkan keutamaan dan kebaikan orang Arab.
Pengertian Khusus. Pada masa Islam, upaya untuk meyakinkan kebenaran risalah dan menyebarkan nilai keislaman telah menciptakan iklim yang mendukung bagi munculnya khatib. Pada masa Islam inilah khatib sebagai suatu jabatan menunjukkan pengertian khusus, yaitu sebutan untuk orang yang berkhotbah pada salat Jumat dan salat id.
Pada masa Islam, khatib membuka pidato dengan hamdalah (alhamdulillah), disusul membaca selawat kepada Nabi SAW dan menyisipkan ayat Al-Qur’an, dan menutup pidato dengan hamdalah dan doa.
Khatib banyak merujuk pada gaya retorika Al-Qur’an yang memaparkan keterangan rasional dan hujah yang kuat, misalnya ketika Mu‘awiyah bin Abu Sufyan berpidato, sebagai jawaban terhadap utusan Ali bin Abi Thalib, yang isinya mengimbau supaya tidak membaiat khilafah (kekhalifahan) Ali bin Abi Thalib.
Pada masa awal Islam dan masa Bani Umayah para khatib, seperti Yazid bin Abihi dan Hajjaj bin Yusuf as-Saqafi, mengandalkan kemampuan berbahasa dan berbalaghah untuk menarik dan mempengaruhi pendengar. Untuk khotbah di masjid, khatib disyaratkan orang yang saleh, bertakwa, dapat dipercaya, dan berpengetahuan. Tuntutan persyaratan bagi khatib itu memberi pengaruh terhadap perkembangan khotbah dan para khatib.
Para penguasa mulai memperhatikan dan menaruh hormat pada jabatan khatib, ketika khatib dianggap mewakili khalifah atau sultan dalam menyiarkan penerangan umum, memberi wejangan, dan melaksanakan syiar agama. Jabatan khatib diberikan kepada orang yang diyakini kebenaran akidahnya.
Al-Mu‘izz (khalifah IV Fatimiyah, 341 H/953 M–365 H/975 M) misalnya, mencabut jabatan khatib di Masjid Agung Amr dan Masjid Agung al-Azhar yang dipegang Bani Abdus Salam selama 64 tahun. Kemudian ia memberikannya kepada Ja‘far bin Hasan bin Husain dan saudaranya.
Ada orang yang mewakafkan masjid serta memberi syarat supaya mengangkat khatib yang menganut mazhab tertentu, sementara para sultan mengangkat khatib khusus untuk negara. Daulah Turki Ghaznawiyah, seperti dikatakan al-Baihaki, mempunyai khatib kerajaan.
Pada masa Dinasti Mamluk, jabatan khatib besar dianggap sama dengan jabatan keagamaan lainnya, seperti hakim, mufti, dan guru. Khatib Besar Masjid Agung di Damascus dan Khatib Besar Masjid Agung an-Nasiri di Qal’at al-Jabal memiliki kekuasaan seperti kekuasaan yang dimiliki hakim dan mufti di Mesir.
Sebagian besar khatib merangkap jabatan imam dalam salat. Misalnya, di Masjid Agung al-Mansur di Tripoli jabatan imam dirangkap seorang khatib yang bernama Jamaluddin Ibrahim. Di samping itu ada khatib yang merangkap jabatan mufti.
Terkadang juga jabatan khatib dipegang Qadi al-Qudat (semacam hakim agung); kebiasaan ini berkembang pada masa Fatimiyah, Ayubiyah, dan Dinasti Mamluk. Abu Ma’ali Muhammad Muhiddin bin Abi Hasan Ali Zakiyaddin adalah seorang Qadi al-Qudat Islam yang menjadi seorang khatib Jumat pertama pada penaklukan Yerusalem atas perintah Sultan Salahuddin Yusuf al-Ayyubi.
Di masjid Granada, pada masa Bani Nasr, seorang kadi merangkap jabatan sebagai imam dan khatib salat.
Para khatib yang terkenal pada masa permulaan Islam selain Nabi Muhammad SAW antara lain adalah para al-Khulafa’ ar-Rasyidun (Empat Khalifah Besar), Sabit bin Qis al-Ansari, Abdur Rahman bin Zubair bin Awwam, Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Mas‘ud (Ibnu Mas‘ud), Talhah bin Ubaidillah, Sa‘ad bin Rabi, Habbab bin Munsir. Di antara orang-orang yang bergelar khatib adalah Abu Bakar Ahmad bin Ali bin Sabit al-Hafiz, al-Baghdadi, dan Abu Fadl bin Abi Hasan bin Abi Nasr al-Muqri ad-Darir.
DAFTAR PUSTAKA
Azim, Abdul Ali. ad-Da‘wah wa al-Khathabah. t.tp.: Darul I’tisam, 1979.
al-Hasimiy, Ahmad. Jawahir al-Adab. Beirut: Darul Fikri, t.t.
an-Nassu, Ihsan. al-Khatabah al-‘Arabiyyah fi ‘Asriha adz-dzahabi. Cairo: Darul Ma’arif, 1963.
al-Pasya, Hasan. al-Funun al-Islamiyyah wa al-Waza’if ‘Ala al-Atsar al-‘Arabiyyah. Cairo: Darun Nahdah al-Arabiyah, 1965.
Syalabi, Ahmad. Mausu‘ah at-Tarikh al-Islami wa al-hadarah. Cairo: Maktabah an-Nahdah al-Misriyah, 1977.
Abdullah