Khatam Al-Qur’an berarti “tamat atau selesai membaca Al-Qur’an”. Dalam bahasa Arab, kata khatm sendiri bisa berarti “stempel”, “bekas stempel pada kertas atau benda lainnya”, “penutup”, “selesai”, atau “tamat”.
Dalam peristilahan yang lazim dipakai di Indonesia, “khatam Al-Qur’an” mengacu kepada tiga pengertian sebagai berikut:
Pertama, khatam Al-Qur’an mengacu kepada makna sele-sainya atau tamatnya seseorang atau sekelompok pelajar Al-Qur’an membaca seluruh ayat Al-Qur’an, yang diungkapkan dengan pernyataan atau pengakuan dari gurunya, bahwa ia (mereka) telah tamat atau khatam. Pernyataan guru itu dapat diberikan secara lisan, dapat pula dalam bentuk tulisan (ijazah) atau tanda lainnya.
Kedua, khatam Al-Qur’an mengacu kepada upacara yang dilakukan setelah seseorang atau sekelompok pelajar dinyatakan telah tamat membaca seluruh ayat Al-Qur’an. Upacara khatam Al-Qur’an ini dirayakan khususnya oleh kaum muslim Indonesia. Oleh sebab itu, upacara ini dapat dikatakan sebagai salah satu kebudayaan Islam Indonesia.
Upacara khatam Al-Qur’an biasanya dilakukan oleh lembaga yang mengelola pendidikan baca tulis Al-Qur’an, seperti surau, langgar, pondok pesantren, atau rangkang (semacam surau di Aceh). Maka untuk melihat aspek sejarah upacara tersebut, orang perlu melihat sejarah lembaga baca tulis Al-Qur’an.
Dari sejarah pendidikan Islam di Asia Tenggara diketahui bahwa usia lembaga pendidikan baca tulis Al-Qur’an hampir sama dengan usia komunitas muslim di Indonesia, yakni sebelum berdirinya kerajaan Islam. Lembaga tersebut berkembang pada surau, langgar, pondok pesantren, rangkang, dan bahkan masjid. Dengan demikian, usia upacara khatam Al-Qur’an hampir setua komunitas muslim di Indonesia.
Dalam upacara tersebut, para pelajar yang menamatkan pelajarannya itu ditempatkan di tempat istimewa di depan para tamu dan orangtua murid. Tempat para pelajar itu dihiasi dengan perhiasan yang indah, sementara para pelajar itu sendiri diberi busana yang indah, rapi, dan berciri khusus sebagai busana muslim/muslimah.
Di daerah tertentu para pelajar tersebut diarak keliling kota/desa dengan aneka kesenian yang bernapaskan Islam. Sebagai puncak upacara dilakukan penyerahan ijazah oleh pimpinan pengajian Al-Qur’an kepada para pelajar yang telah berhasil menamatkan pelajarannya.
Pada dasarnya upacara khatam Al-Qur’an ini tidak terlepas dari latar belakang dakwah dan pendidikan Islam. Dengan adanya upacara tersebut, tampaklah syiar Islam di mata masyarakat. Lebih dari itu, adanya perayaan khatam tersebut menjadi daya tarik bagi anak-anak untuk lebih tekun mempelajari Al-Qur’an, karena pada suatu waktu ia juga akan dimuliakan, diutamakan, dan diberi tempat istimewa di tengah masyarakat.
Ketiga, khatam Al-Qur’an bermakna tamatnya pembacaan Al-Qur’an sehubungan dengan meninggalnya seorang muslim. Kalau dalam tradisi Barat orang memperingati hari ulang tahun kelahiran, maka di Timur, khususnya di Indonesia, orang memperingati hari kematian seseorang agar senantiasa ingat akan kematian yang pasti akan dihadapinya kelak.
Sehubungan dengan itu diadakanlah upacara “hari turun”, yakni upacara selamatan pada malam pertama seseorang meninggal dunia, kemudian diikuti dengan upacara selamatan pada hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, dan seterusnya. Setiap malam hari, setelah seorang muslim meninggal, diadakan pula acara mengaji Al-Qur’an.
Pelaksanaan acara ini berbeda antara satu daerah dan daerah lain. Ada yang melaksanakannya dengan mengaji Al-Qur’an sampai tamat, ada pula yang hanya membaca surah Yasin selama 7 malam, dan di lain daerah hanya selama 3 malam. Acara ini dimulai dengan pembacaan surah al-Fatihah dan kemudian surah Yasin secara bersama-sama di bawah pimpinan seorang imam yang ditunjuk.
Lalu upacara dilanjutkan lagi dengan pembacaan surah al-Fatihah, yang disusul dengan pembacaan awal surah al-Baqarah, ayat al-kursi, akhir surah al-Baqarah, surah al-Ikhlas, surah al-Falaq, surah an-Nas, dan surah al-Fatihah. Selanjutnya dibacakan pula tahlil beberapa kali, lalu upacara ditutup dengan doa khatam Al-Qur’an.
Dewasa ini tradisi khatam Al-Qur’an untuk orang mati ini telah banyak mengalami modifikasi. Hal itu terjadi terutama karena adanya pandangan yang melihat bahwa pahala pembacaan Al-Qur’an tidak sampai kepada roh orang mati. Maka acara pembacaan dan khatam Al-Qur’an dimodifikasi menjadi penghiburan bagi ahli mayat (keluarga yang ditinggalkan).
Demikian pula dengan upacara yang menyertainya, seperti upacara hari ke-3, ke-7, dan ke-40, di sebagian daerah sudah dihilangkan karena dipandang sebagai bid’ah oleh sebagian ulama, sementara di daerah lain diubah bentuknya. Namun masih banyak yang masih mempertahankan tradisi itu.
DAFTAR PUSTAKA
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES, 1984.
Gazalba, Sidi. Mesjid: Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka Antara, 1968.
___________. Pengantar Kebudayaan Sebagai Ilmu. Jakarta: Pustaka Antara, 1968.
Rasyad, Aminuddin dan Baihaqy A.K., ed. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Departemen Agama RI, 1986.
Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hidakarya, 1982.
Yunasril Ali