Kharaj

Kharaj berarti “pemberian yang dibebankan sebagai pajak atas tanah atau hasilnya”. Kata Kharaj merupakan bentuk kata jadian dari kata Kharaja, yang berarti “keluar, uang sewa, atau hasil tanah”. Dalam Islam, Kharaj berarti “pajak tanah daerah yang ditundukkan pemerintah Islam”, seperti yang dipraktekkan Khalifah Umar bin Khattab pada masa pemerintahannya.

Kata Kharaj disebut dalam Al-Qur’an pada surah al-Mu’minun (23) ayat 72. Kharaj mempunyai persamaan dan perbedaan dengan jizyah. Dalam Al-Qur’an kata “jizyah” disebut dalam surah at-Taubah (9) ayat 29.

Persamaan Kharaj dengan jizyah adalah:

(1) keduanya dibebankan kepada orang non-Islam, (2) keduanya dianggap sebagai harta rampasan perang, dan (3) keduanya diwajibkan setahun sekali.

Adapun perbedaan di antara keduanya adalah:

(1) Kharaj ditetapkan berdasarkan ijtihad, sedangkan jizyah berdasarkan nas Al-Qur’an;

(2) kadar minimal dan kadar maksimal kharaj ditetapkan berdasarkan ijtihad, sedangkan kadar minimal jizyah berdasarkan syarak (hukum Islam) dan kadar maksimal berdasarkan ijtihad; dan

(3) Kharaj terkadang tidak gugur walaupun pemilik tanah telah masuk Islam, sedangkan jizyah akan gugur jika pemilik tanah masuk Islam.

Pada masa pemerintahan Islam, Kharaj dikenakan atas hasil perkebunan warga negara yang ditundukkan Islam sebagai pemberian yang membuktikan kesetiaan dan kepatuhan warga tersebut kepada pemerintah Islam. Misalnya, ketika warga Yahudi di Khaibar ditundukkan, Nabi Muhammad SAW menyetujui menerima setengah dari hasil garapan tanah pertanian mereka sebagai bukti kesetiaan. Hal tersebut disebabkan Nabi SAW dan kaum muslimin dalam menundukkan suatu daerah memang tidak bermaksud menguasai dan kemudian menjadikannya hak milik pribadi.

Adanya gelombang warga daerah taklukan yang masuk Islam dan adanya pembaruan di bidang administrasi mendorong Umar bin Khattab melakukan pembaruan pajak. Status tanah daerah taklukan pada masa pemerintahannya menjadi hak milik negara untuk kemaslahatan umum. Bahkan di negeri Persia (Iran) dan di negeri taklukan lainnya tanah yang sudah menjadi hak milik orang muslim tetap dikenakan pajak apabila pengairannya diperoleh dari terusan atau sumber yang dibangun orang kafir zimi (kafir yang berdamai dengan orang Islam).

Upaya Umar bin Khattab mengadakan pembaruan pajak menimbulkan pro dan kontra. Umar mendapat tekanan dari pihak yang tidak sepaham dengannya, terutama dari kalangan militer. Mereka berpendapat bahwa tanah negeri taklukan, seperti Irak dan Syam (Suriah), menjadi milik militer dan penduduknya menjadi hamba sahaya.

Dalam hal ini beberapa sahabat terkemuka, seperti Abdurrahman bin Auf dan Bilal bin Rabah, setuju dengan militer. Yang lain, seperti Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Talhah, dan Abdullah bin Umar bin Khattab, setuju dengan Umar bin Khattab.

Umar bin Khattab meminta didatangkan 10 orang sahabat terkemuka dari kaum Ansar, 5 orang sahabat dari suku Aus, dan 5 orang sahabat dari suku Khazraj, untuk memusyawarahkan masalah pembaruan pajak bersama-sama dengan orang yang pro dan kontra.

Di hadapan peserta musyawarah Umar berkata, “Kamu sekalian pada hari ini yang menetapkan dengan benar.” Kemudian Umar mengemukakan firman Allah SWT yang terkandung dalam surah al-hasyr (59) ayat 8–10. Tiga kata kunci yang ditarik dari ayat itu adalah: (1) kaum Muhajirin yang terusir, (2) harta benda, dan (3) orang-orang yang lahir kemudian.

Pemahaman Umar terhadap ketiga kata kunci itu menghasilkan kesimpulan bahwa generasi berikut mempunyai andil (hak) atas tanah taklukan. Kalau tanah itu dibagikan kepada kalangan militer pada saat penaklukan, generasi yang datang kemudian tidak memperoleh bagian dari hasil penaklukan.

Setelah mendengar penjelasan Umar, peserta musyawarah membenarkan pendapat Umar. Dengan didukung pendapat umum yang berkembang dalam musyawarah itu, Umar menetapkan bahwa tanah taklukan menjadi hak milik negara dan penduduk mem­peroleh hak dan kebebasan. Keputusan ini disepakati.

Untuk tertib administrasi, Umar juga mengadakan pembukuan yang disebut diwan al-kharaj. Kata diwan juga mempunyai pengertian sebagai tempat aktivitas pejabat sipil dan militer yang berkaitan dengan masalah keuangan. Dalam pemerintahan Islam, orang pertama yang mendirikan diwan adalah Umar bin Khattab.

Pada masa Nabi SAW pajak tanah dari Bahrein dibagikan kepada rakyat pada waktu itu. Berdasarkan penuturan Ibnu Sa‘d, sahabat Nabi SAW dan periwayat hadis, Khalifah Abu Bakar as-Siddiq membagikan harta rampasan perang kepada rakyat.

Gagasan pendirian diwan oleh Umar bin Khattab bermula dari pengiriman pajak tanah dari Bahrein yang dibawa langsung oleh gubernurnya, yaitu Abu Hurairah. Umar memusyawarahkan penggunaan uang tersebut. Khalid bin Walid mengusulkan supaya didirikan diwan, yang kemudian disetujui.

Setelah itu Umar meletakkan dasar perbendaharaan bagi negara di Hijaz. Abdullah bin Arqam diangkat menjadi pejabat perbendaharaan. Di tingkat distrik dan gubernuran, misalnya, di Isfahan diangkat Khalid bin Hars dan di Kufah diangkat Abdullah bin Mas’ud, masing-masing sebagai pejabat perbendaharaan.

Hubungan pejabat daerah dengan pemerintah pusat dijalin melalui instruksi dan pengarahan Umar kepada pejabat daerah tentang masalah perpajakan dan pengiriman pajak daerah ke pusat. Pegawai diwan al-Kharaj di daerah lainnya adalah penduduk setempat, yaitu orang Nasrani dan Majusi yang telah bekerja pada diwan itu sebelum ditaklukkan Islam.

Di daerah Syam (Suriah), diwan mempekerjakan orang Romawi dengan tertib administrasi Romawi; di daerah Persia, diwan mempekerjakan orang Persia dengan tertib administrasi Persia; dan di daerah Mesir, diwan mempekerjakan orang Qibti dengan tertib administrasi Qibti.

Sementara itu dalam masyarakat Islam terjadi perubahan. Muncul orang Arab dan Mawali yang memiliki kemampuan baca dan tulis. Maka diwan al-Kharaj mulai mempekerjakan orang Islam dengan tertib administrasi yang menggunakan bahasa Arab. Khalifah pertama yang mengadakan perubahan itu adalah Abdul Malik bin Marwan (86 H/705 M). Perubahan ini kemudian disempurnakan Khalifah al-Walid bin Abdul Malik, ketika pada 87 H/706 M diwan al-Kharaj di Mesir diperintahkan menggunakan bahasa Arab.

Khalifah Bani Umayah tidak melestarikan aturan yang telah ditetapkan para pendahulunya. Bani Umayah memberlakukan aturan terperinci untuk mengawasi penarikan pajak tanah. Khalifah Abdul Malik, misalnya, bersama pemungut pajak dan pejabat perpajakan melakukan pengawasan secara ketat. Untuk keperluan pengawasan ini, Khalifah Abdul Malik menyediakan tempat khusus yang disebut dar al-istikhraj (tempat pengelolaan pajak).

Pada masa Dinasti Abbasiyah, pengawasan pajak dilakukan wazir. Khalifah pertama yang mempercayakan penanganan pajak kepada wazir adalah Abu Abbas as-Saffah, ketika menyerahkan penanganan diwan pajak pusat kepada Khalid bin Barmak (nenek moyang orang Barmak/Baramikah).

Pada masa Abbasiyah ada tiga sistem pemungutan pajak tanah: (1) sistem perhitungan (muhasabah), yaitu penaksiran luas areal tanah dan jumlah pajak yang harus dibayar dalam bentuk uang; (2) sistem bagi hasil (muqasamah), yaitu penetapan jumlah tertentu dari jumlah yang diperoleh (persentase); dan (3) sistem sewa (muqata’ah), yaitu pajak yang dipungut berdasarkan kesepakatan pihak pemerintah dengan pihak tertentu.

Perhatian khalifah Abbasiyah terhadap pajak besar sekali, sehingga pemasukan negara dari sektor pajak tanah setiap tahunnya mencapai jumlah hampir 273 juta dirham. Jumlah terbesar diperoleh pada masa pemerintahan Harun ar-Rasyid. Ar-Rasyid juga memerintahkan pembuatan buku tentang perpajakan yang penyusunannya dipercayakan kepada Abu Yusuf Ya’cuq bin Ibrahim. Buku ini antara lain memuat aturan, pedoman penarikan, dan kadar pajak tanah serta hasil pertanian, perniagaan, bea cukai, sedekah, dan infak.

Pemasukan negara dari sektor pajak tanah bukan hanya berasal dari tanah jenis kharaj, melainkan juga dari jenis iqta’ (tanah pembagian). Adakalanya tanah iqta’ tidak terbatas pada bagian tertentu dari areal suatu daerah, akan tetapi mencakup wilayah daerah.

Pada masa orang Turki memegang kendali pemerintahan, mereka membagikan wilayah kekuasaan kepada orang tertentu dengan satu syarat, yakni di samping menunjukkan loyalitasnya kepada pemerintahan pusat, ia juga harus melaksanakan kewajiban mengirim sejumlah uang kepada raja di luar upeti dan barang mewah lainnya. Sultan Malik Syah, misalnya, memberikan daerah Tus kepada menterinya, Nizamul Mulk. Sultan Bani Seljuk lainnya juga melakukan hal yang sama untuk mencari simpati dan pengakuan atas kekuasaan mereka.

Pajak tanah jenis iqta’ menimbulkan dampak kejiwaan masyarakat. Warga menjadi resah karena para amir membebankan berbagai macam pajak kepada warga yang hasil pengumpulannya sebagian dikirim ke pemerintah pusat sebagai bukti loyalitas kepada raja dan sebagian dikumpulkan untuk amir.

Dalam negara Romawi dan Persia, tanah iqta’ berawal dari pembagian raja kepada militer sebagai upah. Seorang raja yang berhasil menaklukkan daerah lain dan bermaksud memfungsikan tanah akan membagikan tanah itu kepada panglima perang. Panglima perang membagikannya kepada komandan yang kemudian akan membagikannya lagi kepada prajurit.

Militer harus menunjukkan loyalitas dan kesetiaannya kepada raja, baik dalam suasana perang maupun damai. Apabila seorang militer didapatkan membangkang, maka tanah bagiannya ditarik kembali oleh pemberinya.

Islam mempunyai aturan tentang tanah iqta’. Pada masa al-Khulafa’ ar-Rasyidun (empat khalifah besar), misalnya, tanah dibagikan kepada kaum muslimin dengan ketentuan: (1) pemilik tanah itu tidak diketahui, seperti tanah penguasa sebelum ditaklukkan, tanah orang yang mati dalam peperangan, dan tanah sumber air, dan (2) sepersepuluh dari hasil tanah itu dipungut untuk menjadi pemasukan negara. Jumlah ini bisa berkurang dan bertambah tergantung kebijakan khalifah.

Khalifah Bani Umayah dan Bani Abbas membagikan tanah kepada keluarga dan orang pilihan tertentu tanpa dibebani pajak tanah. Sementara itu, pajak tanah yang dibagikan kepada militer dipungut, tetapi tanah pembagian itu menjadi hak milik mereka. Pada masa Bani Seljuk, para sultan membagikan tanah kepada orang tertentu yang meliputi wilayah kekuasaan. Demikian juga yang dilakukan pada masa Bani Ayyubi.

Sultan Salahuddin Yusuf al-Ayyubi, misalnya, membagikan tanah kepada para amir dan militernya. Tanah tersebut ada yang tetap menjadi tanah iqta’, ada yang dijual, dan ada yang diwakafkan.

Al-Maqrizi (767 H/1364 M–846 H/1442 M), seorang ahli sejarah di Mesir, menggambarkan bahwa pada abad 9 H tanah di Mesir terbagi menjadi tujuh macam, yaitu: (1) tanah milik penguasa yang tercatat dalam diwan; (2) tanah yang dibagikan para amir dan militer; (3) tanah wakaf masjid, madrasah, dan tempat peribadatan lainnya; (4) tanah yang dikuasakan kepada orang yang merawat masjid; (5) tanah milik yang bisa diperjualbelikan, diwariskan, dan dihibahkan pemiliknya yang telah membelinya dari Baitulmal; (6) tanah gersang yang tidak bisa dimanfaatkan; dan (7) tanah yang tidak terkena sistem irigasi Sungai Nil.

Muhammad Ali Pasya (penguasa Mesir 1805–1849) melihat perlu adanya pemberian hak milik tanah kepada para petani supaya mereka mau bekerja mengolah tanah. Ketika berkuasa penuh atas Mesir, Ali Pasya membagi Mesir menjadi propinsi, yang kemudian dibagi lagi dalam daerah bagian.

Di daerah propinsi dan daerah bagian diangkat pejabat pengatur administrasi dan pekerja penarik pajak. Petani yang mampu bekerja mengolah tanah memperoleh bagian tanah. Kemudian Sultan Sa’id mengeluarkan peraturan 5 Agustus 1858 tentang hak milik tanah penduduk dan secara resmi menjadi harta pusaka yang bisa diwariskan kepada anak cucu. Sejak itu penduduk Mesir memiliki tanah sendiri.

Pajak tanah bisa berupa uang, hasil tanaman. Hal ini dilakukan Khalifah Umar di Irak, meniru apa yang dipraktekkan Nabi SAW terhadap tanah warga Yahudi di Khaibar. Daerah Islam belahan timur menunaikan kewajiban membayar pajak dengan dirham, sedangkan daerah barat dengan dinar. Kadar pajak bervariasi, tergantung­ pada tingkat kesuburan tanah, perbedaan jenis tanaman dan pepohonan, dan perbedaan sumber pengairan.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Habieb, Sa’di. Ensiklopedi Ijmak, terj. KH A. Sahal Machfudz dan KH Mustofa Bisri. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987.
Bek, Muhammad Khudari. Terjemahan Tarikh at-Tasyri’ al-Islami, terj. Mohammad Zuhri. Semarang: Rajamurah al-Qona’ah, 1980.
al-Farra‘, Abu Ya’la Muhammad bin al-Husain. al-Ahkam as-sulthaniyyah. Beirut: Darul Fikri, 1986.
Hasan, Hasan Ibrahim. Tarikh al-Islam: as-Siyasi wa ad-Dini wa ats-tsaqafi wa al-Ijtima‘i. Cairo: Maktabah an-Nahdah al-Misriyah, 1979.
Hasjmy, A. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Nu’mani, Syibli. Umar yang Agung, Sejarah Analisa Kepemimpinan Khalifah II, terj.
Karsidjo Djoyosuwarno. Bandung: Pustaka Perpustakaan ITB Bandung, 1981.
Zaidan, Jurjiy. Tarikh at-Tamaddun al-Islami. Beirut: Dar al-Maktabah al-Hayati, t.t.

Abdullah