Unit terkecil dalam masyarakat, yang terdiri atas suami (bapak), istri (ibu), dan anak (putra/putri), disebut keluarga. Belakangan, istilah al-usrah mengandung makna politis, yakni unit terkecil (sel) sebuah organisasi atau gerakan Islam.
Keluarga lahir dari sebuah perkawinan yang sah sebagai sarana untuk melanjutkan regenerasi dan menjaga kelestarian agama. Perkawinan ditetapkan secara langsung oleh Allah SWT sesuai dengan fitrah manusia untuk mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Perkawinan tidak sekadar ikatan biasa, namun mutsaqan galizan, yakni suatu ikatan kukuh berdimensi transenden. Dari perkawinan terbentuk sebuah keluarga yang berlandaskan pada syariat untuk mewujudkan kehidupan harmonis dan penuh kasih sayang antarsesama manusia.
Islam menolak pembentukan keluarga yang tidak didasari atas perkawinan yang sah. Islam memberikan perhatian besar pada penataan keluarga. Terbukti bahwa seperempat bagian fikih (hukum Islam) yang dikenal dengan rub‘ al-munakahah adalah mengenai penataan keluarga, mulai dari persiapan, pembentukan, sampai pada pengertian hak dan kewajiban setiap unsur dalam keluarga.
Kesemuanya dimaksudkan supaya pembentukan keluarga mencapai tujuannya seperti disebutkan dalam Al-Qur’an, “Dan di antara tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikannya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (QS. 30:21).
Secara umum prinsip penataan keluarga yang digariskan dalam Islam adalah sebagai berikut. Pertama, prinsip kebebasan dalam memilih pasangan. Sebelum Islam datang, anak perempuan sama sekali tidak mempunyai hak pilih, bahkan dirinya sepenuhnya dimiliki oleh ayah atau walinya.
Tradisi ini kemudian diubah oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam menentukan jodoh anak-anaknya, Nabi SAW selalu memberitahu dan meminta persetujuan mereka terlebih dulu. Dalam Musnad ibn hanbal diceritakan bahwa Rasulullah SAW berkata kepada anaknya, “Sesungguhnya si Fulan menyebut-nyebut namamu.”
Kemudian beliau melihat reaksi mereka. Jika mereka diam, itu tandanya mereka setuju dan pernikahan dapat dilangsungkan. Namun jika mereka menutup tirai kamarnya, itu tandanya tidak suka dan Nabi SAW pun tidak memaksakan kehendaknya kepada mereka.
Kedua, prinsip mawaddah wa rahmah (cinta dan kasih sayang). Prinsip yang terdapat dalam surah ar-Rum (30) ayat 21 ini terbentuk dari suasana hati yang ikhlas dan rela berkorban demi kebahagiaan pasangan hidupnya. Suami-istri sejak akad nikah hendaknya telah dipertautkan oleh ikatan mawaddah wa rahmah sehingga keduanya tidak mudah goyah dalam mengarungi samudera keluarga.
Ketiga, prinsip saling melengkapi dan melindungi. Prinsip ini ditemukan, antara lain, dalam Al-Qur’an, “Istri-istri kamu adalah pakaian untuk kamu dan kamu adalah pakaian untuk mereka” (QS.2:187). Firman Allah SWT ini mengisyaratkan bahwa sebagai makhluk, laki-laki dan perempuan, masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihan.
Karena itu dalam kehidupan keluarga, pasangan suami-istri saling membutuhkan. Masing-masing harus dapat berfungsi memenuhi kebutuhan pasangannya, ibarat pakaian menutupi tubuh.
Keempat, prinsip mu‘asyarah bi al-ma‘ruf. Prinsip ini secara tegas diperintahkan Allah SWT, “Pergaulilah istri-istrimu dengan sopan, dan apabila kamu tidak lagi mencintai mereka (jangan putuskan tali perkawinan), karena boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, tetapi Allah menjadikan padanya (di balik itu) kebaikan yang banyak” (QS.4:19).
Institusi keluarga mempunyai beberapa fungsi penting dalam konteks kehidupan sosial. Pertama, fungsi biologis. Fungsi ini terkait dengan penyaluran hasrat biologis manusia yang berbuah dengan kelahiran anak sebagai pelanjut keturunan keluarga. Kedua, fungsi pendidikan.
Keluarga adalah lingkungan terdekat dan paling akrab bagi anak. Pengalaman dan pengetahuan pertama anak ditimba dan diberikan melalui keluarga. Ketiga, fungsi sosial budaya. Dalam setiap lingkungan masyarakat terdapat nilai tradisional yang diwariskan secara turun-temurun. Proses pelestarian budaya dan adat dijalankan melalui institusi keluarga sebagai komponen terkecil masyarakat.
Keluarga dalam fungsi ini juga berperan sebagai katalisator budaya dan filter nilai yang masuk ke dalam kehidupan. Keempat, fungsi ekonomi. Ekonomi keluarga berfungsi agar setiap anggota keluarga dapat memenuhi kebutuhan hidupnya masing-masing sesuai dengan kemampuan keluarga tersebut.
Karena posisi keluarga sangat strategis, Taqiyuddin an-Nabhani (penulis Nizam al-Islam) memasukkannya ke dalam kerangka sistem sosial (nizam al-ijtima‘i). An-Nabhani membedakan istilah sistem sosial (nizam al-ijtima‘i) dari sistem kemasyarakatan (anzimat al-mujtama‘) dalam bukunya Nizam al-Ijtima‘i fi al-Islam (Sistem Sosial dalam Islam).
Sistem sosial adalah seperangkat peraturan yang mengatur pertemuan antara pria dan wanita atau sebaliknya, dan mengatur hubungan yang muncul antarkeduanya, serta segala sesuatu yang menyangkut hubungan tersebut.
Adapun sistem sosial merupakan peraturan bagi masyarakat yang mengatur hubungan antarsesama manusia yang hidup dalam masyarakat tertentu tanpa memperhatikan pertemuan atau perpisahan di antara anggota masyarakat tersebut.