Keluarga Berencana

(Ar.: tanzim an-nasal)

Keluarga Berencana adalah salah satu bentuk program yang ditempuh untuk mengatasi masalah pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi. Keluarga Berencana biasanya dilakukan dengan cara pengaturan kelahiran (fertilitas) dengan tujuan mencapai suatu keluarga (ayah, ibu, dan anak) yang sehat, baik fisik serta mental maupun sosial ekonomis.

Dalam tujuan Keluarga Berencana tersebut terdapat kemaslahatan, yaitu kesejahteraan materiil dan spiritual. Dalam pengertian ini, Keluarga Berencana adalah salah satu bentuk usaha menyiapkan generasi yang tangguh. Dengan demikian, selama cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan itu dapat dibenarkan menurut ajaran Islam, maka program ini sejalan dengan dan bahkan dianjurkan oleh ajaran Islam.

Allah SWT berfirman, “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar” (QS.4:9).

Tujuan Keluarga Berencana itu dicapai dengan, misalnya, menghindari kehamilan yang tidak atau belum diinginkan, mengatur jarak kehamilan, dan mengatur waktu kehamilan dan persalinan agar terjadi pada usia terbaik bagi ayah serta ibu.

Meskipun tujuannya baik, tidak semua cara untuk mencapai tujuan itu diperkenankan oleh ajaran Islam. Ada cara yang diperkenankan oleh ajaran Islam dan ada pula yang secara tegas dinyatakan haram.

Cara menghindari kehamilan sebenarnya bukanlah masalah baru. Secara tradisional, cara Keluarga Berencana telah dilakukan orang berabad-abad yang lalu. Menyusui, misalnya, merupakan jangka waktu yang dijadikan cara untuk mengurangi kemungkinan hamil kembali. Sejalan dengan itu, ajaran Islam memerintahkan para ibu untuk menyusui anaknya selama 2 tahun.

Allah SWT berfirman, “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang ibu-bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu” (QS.31:14).

Dalam ayat lain Allah SWT berfirman, “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf…” (QS.2:233).

Dewasa ini, untuk keperluan yang dirasakan mendesak, banyak cara pelaksanaan Keluarga Berencana yang lebih efektif. Menurut istilah fikih, semuanya dapat dianalogikan (dikiaskan) kepada dua cara yang pernah dilakukan pada zaman Rasulullah SAW, yang satu diperbolehkan oleh ajaran Islam dan yang lainnya diharamkan.

Yang diperbolehkan oleh ajaran Islam adalah cara yang bersifat sementara. Sebagai contoh, senggama terputus (‘azl atau coitus interruptus), yaitu suatu cara menghindari kehamilan dengan menarik ke luar zakar pria dari lubang kemaluan wanita sebelum air mani keluar. Cara ini diperkenankan oleh ajaran Islam.

Dalam sebuah hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Muslim disebutkan: “Dari Jabir, ia berkata, ‘Kami melakukan ‘azl (senggama terputus) pada masa Rasulullah SAW. Apa yang kami lakukan itu, beritanya sampai kepada Nabi SAW, tetapi beliau tidak melarang kami’.”

Penghindaran kehamilan melalui senggama terputus bersifat sementara. Apabila sudah merasakan adanya kebutuhan untuk mendatangkan kehamilan, suami istri dengan serta-merta dapat meninggalkan praktek senggama terputus itu.

Dengan mengambil patokan sifat kesementaraan pada senggama terputus itu, maka cara Keluarga Berencana yang lain (yang juga bersifat sementara) juga diperkenankan oleh ajaran Islam.

Cara itu antara lain adalah pantang berkala, yaitu usaha menghindari kehamilan dengan melakukan “puasa” pada masa subur seorang wanita; cara kontrasepsi sederhana dengan alat atau obat; dan juga cara kontrasepsi dengan cara efektif, tetapi sementara. Kalaupun ada di antaranya yang dilarang oleh agama, hal itu bukan karena sifatnya yang sementara, tetapi karena berbenturan dengan ajaran Islam yang lain.

Adapun yang termasuk cara kontrasepsi sederhana dengan alat atau obat adalah pemakaian kondom, diafragma, dan krem, jelly atau cairan berbusa. Kondom adalah kantung karet yang sangat tipis dan dipakai untuk menutupi zakar sehingga mani yang keluar tidak mencapai vagina.

Diafragma dipakai oleh wanita untuk tujuan yang sama. Krem, jelly atau cairan berbusa adalah bahan kimia yang menghentikan gerak atau mematikan spermatozoa di dalam vagina. Sementara itu cara kontrasepsi efektif yang bersifat sementara adalah penggunaan pil oral (pil yang diminum), IUD (intrauterine devices) atau spiral, dan suntikan.

Sebagai alat Keluarga Berencana, semua cara tersebut di atas dapat diperkenankan ajaran Islam apabila tidak berbenturan dengan ajaran Islam yang lain. Pemakaian alat seperti spiral, IUD atau diafragma, dan kondom, dalam rahim seorang wanita atau pada kemaluan seorang pria tidak diperbolehkan kecuali jika dipasang sendiri atau dipasang oleh suami atau istrinya sendiri; melihat atau menjamah aurat orang lain, terutama kemaluannya, dilarang oleh hukum syariat Islam.

Allah SWT berfirman, “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat’.

Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak daripadanya saja’” (QS.24:30–31).

Adapun yang diharamkan oleh ajaran Islam adalah cara yang bersifat permanen. Cara pelaksanaan Keluarga Berencana seperti ini dapat disebut sebagai tindakan pengebirian. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Tidaklah termasuk golongan kami (umat Islam) orang yang mengebiri orang lain atau mengebiri dirinya sendiri” (HR. Tabrani).

Tindakan pengebirian itu dalam pelaksanaan Keluarga Berencana dapat dikiaskan dengan sterilisasi, yaitu pemandulan dengan cara operasi, sehingga secara praktis dengan demikian hubungan kelamin pria dan wanita tidak akan membuahkan kehamilan lagi.

Sterilisasi pada pria disebut vasektomi dan sterilisasi pada wanita dinamakan tubektomi. Di samping alasan itu, vasektomi dan tubektomi juga dilarang karena mengubah fitrah kejadian manusia. Tindakan mengubah ciptaan Allah SWT itu dilarang, seperti terlihat dalam Al-Qur’an surah an-Nisa’ (4) ayat 119.

Bagi umat Islam, vasektomi dan tubektomi hanya diperbolehkan jika pelakunya dihadapkan pada pilihan tunggal, yakni hanya dengan upaya ini keselamatan ibu akan terjamin. Misalnya, apabila seorang ibu melahirkan kembali, sangat boleh jadi dalam kelahiran itu akan terjadi kematian si ibu.

Cara lain yang juga diharamkan dalam Islam adalah pengguguran, karena pada dasarnya janin di awal kehamilan adalah manusia juga. Melakukan pengguguran berarti melakukan pembunuhan terhadap manusia.

Islam memang melarang pembunuhan, secara lebih khusus disebutkan di dalam Al-Qur’an surah al-Isra’ (17) ayat 31: “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.”

Kegiatan Keluarga Berencana secara umum memang dapat diterima oleh ajaran Islam, sejauh yang dimaksudkan dengannya adalah pengaturan kelahiran dan bukan pembatasan kelahiran. Di dalam pembatasan kelahiran terkandung pengertian ikhtiar menghentikan kelahiran atau menutup kemungkinan melahirkan dalam masa selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA
Lembaga Kemaslahatan Keluarga NU. Membina Kemaslahatan Keluarga. Jakarta: 1982.
PP Muhammadiyah. Keluarga Sejahtera Muhammadiyah. Yogyakarta: 1983.
Badri Yatim