Kedokteran, Ilmu

(Ar.: ‘ilm ath-thibb)

Kedokteran adalah cabang ilmu yang menangani keadaan kesehatan dan penyakit pada tubuh manusia dengan menggunakan cara tertentu yang sesuai dengan cara penjagaan atau pemulihan kesehatan. Dengan demikian, tugas ilmu kedokteran adalah untuk memulihkan serta menjaga keadaan seimbang atau kesehatan tubuh manusia.

Ilmu kedokteran Islam merupakan salah satu bagian peradaban Islam yang paling masyhur dan dikenal. Bukan hanya selama Abad Pertengahan dokter dan kedokteran Islam dikaji dengan sungguh-sungguh di Barat, tetapi juga pada masa Renaisans dan abad ke-17.

Barulah pada abad ke-19 pengkajian kedokteran Islam dihapuskan dari kurikulum sekolah dan perguruan di seluruh dunia Barat. Meskipun kedokteran Barat modern sudah berkembang pesat, di Timur ilmu kedokteran Islam masih terus dipelajari dan dipraktekkan.

Aliran kedokteran (ath-thibb) ini sangat berarti bukan karena nilai instrinsiknya, tetapi juga karena selalu berkaitan erat dengan sains lainnya, terutama dengan filsafat. Orang bijak atau hakim, yang sepanjang sejarah Islam merupakan tokoh sentral dalam pengembangan dan penyebaran sains, biasanya juga seorang dokter. Banyak di antara filsuf dan ilmuwan terkenal Islam, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Tufail, dan Ibnu Rusyd juga seorang dokter.

Kajian filsafat terhadap berbagai susunan benda kosmis (jagat raya) merupakan latar belakang filosofis ilmu kedokteran Islam. Meskipun kedokteran Islam berasal dari warisan Yunani, Persia (Iran), dan India, semua warisan itu “diislamkan” sehingga merasuk ke dalam struktur umum peradaban Islam.

Ilmu kedokteran Islam lahir sebagai hasil pembauran ilmu kedokteran Yunani tradisi Hipokrates (460–337 SM, tabib Yunani yang dianggap bapak ilmu kedokteran) dan tradisi Galen dengan teori serta praktek bangsa Persia dan India dalam konteks umum Islam.

Oleh karena itu, ilmu ini bersifat sintetis, yakni menggabungkan pendekatan observasi aliran Hipokrates yang konkret dengan metode teoretis dan filosofis dari Galen, serta menambahnya dengan teori dan pengalaman para dokter Persia dan India, khususnya dalam farmakologi.

Penghubung organik yang paling penting antara tradisi kedokteran Islam dan tradisi kedokteran yang mendahuluinya adalah perguruan di Jundishapur yang terletak di dekat kota Persia (sekarang Ahwaz). Kota ini oleh raja Persia, Shapur I, pada abad ke-3 dibangun kembali dengan maksud menjadikannya pusat ilmu.

Akhirnya, Jundishapur menjadi pusat ilmu, khususnya ilmu kedokteran Hipokrates. Kemudian, Raja Shapur II mendirikan universitas reguler yang mempertemukan berbagai aliran kedokteran. Di sinilah para dokter aliran Nestorian mengajarkan dan mempraktekkan kedokteran Yunani. Sementara, pemikiran Zoroaster dan praktek kedokteran lokal Persia terus memberikan pengaruh yang besar.

Di samping itu, pengaruh kedokteran India berangsur-angsur mulai terasa di Jundishapur, khususnya selama abad ke-6 di bawah pemerintahan Ansyrwan. Dengan demikian, perguruan Jundishapur menjadi tempat pertemuan kedokteran Yunani, Persia, dan India. Perguruan ini berada pada puncaknya ketika kekuasaan Islam sedang mengembangkan sayapnya.

Setelah wilayah Persia berada di bawah kekuasaan Islam, Perguruan Jundishapur itu menjadi jembatan dalam pengembangan antara kedokteran Islam dan pra-Islam. Di samping Jundishapur, kedokteran Yunani juga dipraktekkan di Iskandariyah, pusat terbesar sains Helenistik (masa penyebaran paham yang berasal dari kebudayaan Yunani Kuno yang disebut Helenisme).

Ketika Islam menaklukkan Mesir abad ke-1 H/ke-7 M, ada indikasi bahwa kedokteran Helenistik itu masih hidup. Dengan demikian, Iskandariyah juga merupakan tempat para ilmuwan muslim berkenalan dengan kedokteran Yunani.

Orang Arab sendiri juga memiliki ilmu kedokteran sederhana. Dengan datangnya Islam, mereka tidak mengalami perubahan langsung. Bahkan kebanyakan mereka kurang percaya terhadap ilmu kedokteran Jundishapur dan Iskandariyah. Dokter Arab pertama yang belajar kedokteran di Jundishapur antara lain Haris bin Kaladah, orang yang sezaman dengan Rasulullah SAW.

Namun, bagi orang Arab, yang lebih besar artinya adalah ucapan Rasulullah SAW tentang kedokteran, higiene, diet, dan sebagainya. Ucapan itu diterima dan diikuti dengan sepenuh hati dengan kepercayaan yang bulat yang menjadi keyakinan penuh dan ciri generasi muslim awal. Hal ini disebabkan Islam sebagai petunjuk bagi segala aspek kehidupan manusia juga menaruh perhatian pada prinsip umum kesehatan.

Banyak ucapan Rasulullah SAW yang berkenaan dengan kesehatan, penyakit, higiene, dan masalah lain sehubungan dengan bidang kedokteran. Penyakit seperti kusta, radang selaput dada (pleurisia), dan radang mata (ophtalmia) disebut-sebut dalam hadis Nabi SAW itu dan pengobatannya dianjurkan, misalnya dengan membalutnya, membakarnya, dan menggunakan madu.

Kumpulan hadis Nabi SAW tentang medis ini disusun secara sistematis oleh penulis muslim kemudian, lalu dikenal sebagai kedokteran Rasulullah SAW (ath-thibb an-Nabawi).

Kitab ini merupakan buku pertama yang dipelajari mahasiswa kedokteran sebelum mereka memulai menguasai ilmu kedokteran yang biasa. Buku ini selalu memegang peranan penting dalam membentuk kerangka pemikiran calon dokter dalam studi kedokteran.

Pengaruh langsung pertama kedokteran Jundishapur bagi kalangan Islam terjadi pada tahun 148 H/765 M, ketika khalifah Abbasiyah kedua, Abu Ja‘far al-Mansur (pendiri kota Baghdad), meminta para dokter Jundishapur untuk mengobatinya dari penyakit dispepsia menahun (peradangan selaput lendir lambung menahun).

Dokter Jirjis Bukhtyishui (kepala Rumah Sakit Jundishapur) dijemput ke istananya. Keberhasilan dokter itu dalam menyembuhkan khalifah merupakan awal proses yang akhirnya mengalihkan pusat kedokteran Jundishapur ke Baghdad dan meletakkan dasar bagi pemunculan dokter muslim yang terkenal.

Rumah sakit memegang peranan penting sebagai lembaga ilmu, karena sebagian besar pengajaran ilmu kedokteran dilakukan di rumah sakit, sementara aspek teoretisnya dibahas di masjid dan madrasah.

Namun, kebanyakan rumah sakit mempunyai perpustakaan dan sekolah yang khusus dirancang untuk tujuan tersebut. Berdirinya pusat kedokteran di Baghdad itu diikuti dengan penerjemahan buku kedokteran dari bahasa Yunani, Suriah, Persia, dan India ke dalam bahasa Arab serta dilakukan secara besar-­besaran dengan penyempurnaannya.

Kegiatan penerjemahan ilmu kedokteran ke dalam bahasa Arab merupakan pangkal munculnya tokoh kedokteran Islam. Abad ke-10 dan ke-11 merupakan masa keemasan ilmu kedokteran Islam. Banyak ilmuwan muslim menulis kitab kedokteran pada masa ini. Ahli kedokteran Islam pada mulanya mendirikan tempat penelitian dan praktek dengan alat ilmu Yunani.

Dalam perkembangan selanjutnya, mereka mendapatkan temuan dalam masalah kedokteran yang orisinal (asli). Kitab karangan mereka jauh lebih maju daripada kitab terjemahan. Kalau pada abad ke-8 dan ke-9 masih menjadi murid, maka pada abad ke-10 dan ke-11 orang Islam sudah menjadi guru bagi orang Kristen dan Yahudi.

Buku bacaan yang sebelumnya berasal dari kitab terjemahan sudah diganti dengan bermacam-macam ensiklopedi ilmu kedokteran yang ditulis oleh sarjana muslim sendiri. Pengarang besar pertama kedokteran Islam, Ali bin Rabban at-Tabari, menulis Firdaus al-hikmah (Taman Hikmah) pada tahun 850. Karya ini mempunyai nilai khusus dalam bidang patologi, farmakologi, dan diet serta menggambarkan sifat sintesis aliran kedokteran baru yang mulai menjelma waktu itu.

Setelah at-Tabari, lahir ratusan dokter dan ahli kedokteran dalam Islam, seperti ar-Razi (di Barat dikenal dengan nama Rhazes), Ali bin al-Abbas (dalam bahasa Latin dikenal dengan Hali Abbas), Ibnu Sina (di Barat dikenal dengan nama Avicenna), Jabir bin Hayyan, al-Kindi, dan al-Farabi.

Dengan demikian, mulai dari Baghdad, Mesir, Suriah, Persia (Iran), Spanyol, Afrika Utara, sampai India, banyak sekali tabib (dokter) yang muncul pada masa kemajuan Islam. Di Baghdad saja terdapat 800 dokter yang memiliki ijazah dari lembaga pendidikannya. Seorang dokter biasanya membawa ijazah (izin berpraktek) resmi dari salah satu akademi kedokteran.

Tradisi kedokteran semacam ini masih berlanjut di negeri Islam sampai sekarang, meskipun lembaga ilmiahnya sudah runtuh. Banyak tabib yang masih berpraktek dengan ilmu yang dikuasainya melalui kitab klasik itu dengan cara autodidak. Dengan demikian, di negeri Islam, di samping ada dokter, juga masih ada tabib.

DAFTAR PUSTAKA
Hassan, Hassan Ibrahim. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Kota Kembang, 1989.
Hitti, Philip K. The History of the Arabs. London: Macmillan, 1974.
Hoesin, Oemar Amin. Kultur Islam, Sejarah Perkembangan Kebudayaan Islam dan Pengaruhnya dalam Dunia Internasional. Jakarta: Bulan Bintang, 1964.
Nasr, Hossein. Science and Civilization in Islam, atau Sains dan Peradaban di Dalam Islam. Bandung: Penerbit Pustaka, 1986.
Syalabi, Ahmad. Mausu’ah at-Tarikh al-Islami wa al-hadarah al-Islamiyyah. Cairo: an-Nahdah al-Misriyah, 1977.
Watt, W. Montgomery. Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990.
Zaidan, Jurji. History of Islamic Civilization. New Delhi: Kitab Bhavan, 1978.
Badri Yatim