Karamiyah adalah sekte aliran Murji’ah yang didirikan Ibnu Karam (w. 869), keturunan Bani Nizar yang lahir di Zaranj (Iran). Ajaran terpenting Karamiyah adalah pandangan antropomorfisme (musyabbihah atau mujassimah), yakni pandangan yang melihat bahwa Allah SWT mempunyai persamaan dengan sifat makhluk.
Ketika masih kecil, Ibnu Karam (lengkap: Ashab bin Abdillah Muhammad bin Karam atau bin Kiram atau bin Karram) bersama keluarganya pindah ke Sijistan (Iran). Setelah dewasa ia pergi ke Khurasan (Iran), berguru kepada Ahmad bin Harb (w. 849), seorang zuhud, dan ke Balkh (Afghanistan), berguru kepada Ibrahim bin Yusuf al-Makiyani (w. 871) dan Hirat Abdillah bin Malik bin Sulaiman (w. 876), ulama besar.
Ibnu Karam banyak menghafal hadis Nabi SAW yang diperolehnya dari dua ulama yang mempunyai perhatian besar kepadanya. Kedua ulama itu adalah Ahmad bin Abdillah Jauhari (w. 247 H/861 M) dan Muhammad bin Tamim al-Faryanani (w. 253 H/867 M). Sebelum belajar hadis dari kedua ulama tersebut, Ibnu Karam juga berguru kepada Marwa Ali bin Hajar (w. 244 H/859 M).
Setelah berada di Mekah selama 5 tahun, Ibnu Karam kembali ke kampung halamannya untuk menjual seluruh harta kekayaan miliknya. Kemudian ia melanjutkan perjalanannya ke beberapa kawasan Iran, yaitu Gharjistan, Syarmin, Wafsin, dan Nisabur. Di Nisabur ia dipenjarakan dan diasingkan dua kali oleh Gubernur Muhammad bin Tahir bin Abdillah (w. 249 H/863 M) karena berbeda pendapat dengan pemerintah.
Pemerintah berpendapat bahwa ia akan membahayakan kedudukan penguasa dan menyesatkan umat Islam. Sekembalinya dari pengasingan yang kedua kalinya (251 H/865 M), Ibnu Karam pergi ke Yerusalem. Di kota ini, ia menghabiskan masa tuanya dan meninggal dunia pada 255 H/869 M.
Di sekitar pemakaman Ibnu Karam dibuat khanqah atau zawiat (surau) yang termasyhur sebagai asrama persaudaraan sufi. Zawiat ini merupakan tempat uzlah (mengasingkan diri) para pengikut Karamiyah dalam menjalankan ibadah, wirid, zikir, dan sebagainya yang mampu mendekatkan manusia kepada Allah SWT.
Adanya zawiat ini mengakibatkan masyarakat sekitarnya menutup diri dengan memasuki asrama persaudaraan sufi untuk menekuni ibadah, termasuk wirid, zikir, dan sebagainya. Mereka begitu bersemangat mendekatkan diri kepada Allah SWT, sehingga mereka melalaikan urusan dunia. Oleh sebab itu, mereka menjadi fakir miskin. Keadaan tersebut menjalar luas di kota Nisabur dan tempat lainnya.
Ajaran teologis paling penting dalam Karamiyah ini adalah pandangan antropomorfisme (musyabbihah atau mujassimah), yakni pandangan yang melihat bahwa Allah SWT mempunyai persamaan dengan sifat makhluk. Dalam hal ini, kepada Allah SWT dikenakan ciri manusia.
Menurut mereka wujud Allah SWT itu adalah substansi (zat) dan sifat (jauhar) yang bertemu dengan unsur materi (jisim), meskipun itu tidak sama dengan anggota tubuh manusia atau makhluk lain. Misalnya, pandangan antropomorfisme menafsirkan Allah SWT mempunyai tangan adalah benar-benar tangan sebagai anggota tubuh, namun tidak seperti tangan manusia.
Jika Allah SWT mempunyai mata, maka benar-benar mata, namun tidak seperti mata yang dimiliki oleh manusia atau makhluk lain. Allah SWT tetap mempunyai mata, telinga atau tangan secara harfiah yang tidak sama dengan anggota tubuh makhluk-Nya.
Antara substansi (zat) dan sifat (jauhar) dengan jisim (materi) terjadi saling kontak satu sama lain. Dengan cara seperti ini, terjadi penafsiran antropomorfisme terhadap pengertian bahwa malaikat mempunyai tempat yang juga terbatas oleh waktu. Maka makhluk halus semacam malaikat bisa saja menempati singgasana.
Doktrin ini merupakan deduksi (kesimpulan umum) dari firman Allah SWT, antara lain dalam surah al-A‘raf (7) ayat 55, surah Yunus (10) ayat 3, surah ar-Ra‘d (13) ayat 2, dan surah Taha (20) ayat 5 yang menyebutkan ‘ala al-arsyi’stawa (menguasai singgasana). Firman Allah SWT tersebut memberi sandaran teologis yang mendorong ikhtiar untuk amal perbuatan.
Menurut Reynold Alleyne Nicholson, ahli mistisisme dalam Islam, ajaran teologis Karamiyah ini dapat dilacak lebih lanjut dalam bagian filsafat Aristoteles (filsuf Yunani) tertentu yang menyatakan perbedaan kategori antara substansi dan aksiden serta antara potensi dan aktualitas. Dengan cara ini, para pengikut golongan Karamiyah dapat mempertahankan pendapat bahwa Allah SWT sudah berfirman sebelum menyatakan firman-Nya dan Ia dapat disembah sebelum adanya para hamba-Nya.
Ajaran berikutnya adalah iman. Iman diartikan sebagai kepercayaan di hati dan diikrarkan secara lisan, namun tidak diteruskan dengan perbuatan sebagaimana dipahami dalam aliran Murji’ah.
Mengenai penciptaan alam, Karamiyah mengambil konsep penciptaan seperti disebutkan dalam Al-Qur’an. Allah SWT sebagai substansi adalah subjek bagi aksiden tertentu, seperti kehendak, merasa, dan berfirman yang mengadakan hubungan atas segala aksiden yang ada; Allah SWT berkuasa atas alam.
Segala yang ada ini diciptakan bukan oleh kehendak-Nya secara langsung melainkan oleh kata kun (jadi). Dengan demikian, kalimat kun fayakun (jadilah, maka jadilah) seolah-olah dapat mempunyai pengertian langsung antara kata kun dengan objek penciptaan yang terjadi.
Ajaran lainnya adalah sifat maksum (terhindar dari kesalahan) nabi. Sifat ini terbatas hanya bagi mereka, bukan kepada manusia yang lain. Oleh karenanya, orang yang tidak mempunyai pesan kenabian wajib beriman pada misi kenabian mereka tanpa banyak protes.
Dalam hal kebijakan kepemimpinan pemerintahan, yakni pentingnya pimpinan negara atau imam, dalam satu negeri boleh saja terdapat dua orang imam sekaligus. Kedua imam yang berbeda-beda lokasi itu harus berlaku adil kepada masyarakatnya di tempatnya masing-masing.
Dalam masalah furuk, misalnya, fikih (hukum Islam) memberi andil terciptanya perubahan hukum yang lebih luwes, sehingga hukum Islam itu dapat mengalami perkembangan sesuai dengan zaman dan tempat yang berlangsung dalam masyarakat Islam tertentu.
Pada 370 H/981 M, ajaran Karamiyah diperdebatkan karena dianggap telah lepas dari syariat dan terjerumus ke dalam kehidupan batiniah, sehingga golongan tersebut dituduh melakukan perbuatan bid’ah. Banyak pengikutnya yang di jatuhi hukuman mati. Banyak pula yang melarikan diri. Namun, masih ada pengikut yang tetap berpegang teguh pada ajaran Karamiyah dan bertahan di Nisabur.
Hingga pertengahan abad ke-6 golongan Karamiyah masih populer di Nisabur. Abdul Qadir al-Jailani mengatakan bahwa golongan ini juga cukup kuat di Khurasan. Golongan ini musnah akibat serbuan tentara Jengiz Khan pada 1220 (Bangsa Mongol).
Menurut beberapa kepustakaan, golongan Karamiyah ini terbagi dalam tiga golongan kecil, yaitu Ishakiyah, Haqiqiyah, dan Tariqiyah. Ketiga golongan ini satu sama lain saling toleran, meskipun di antara ketiganya ada beberapa perbedaan. Namun tidak diketemukan penjelasan lebih lanjut mengenai ketiga golongan kecil ini.
DAFTAR PUSTAKA
al-Baghdadi, Abu Mansur Abdul Qahir bin Tahir at-Tamimi. al-Farq Bain al-Firaq. Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1977.
Dahlan, Abdul Aziz. Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam. Jakarta: Benebi Cipta, 1987.
Hanafi, Ahmad. Teologi Islam (Ilmu Kalam). Jakarta: Bulan Bintang, 1982.
Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press, 1986.
asy-Syahrastani, Abu al-Fath Muhammad Abdul Karim. al-Milal wa an-Nihal. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Ahmad Qorib