Kalisasak, Ahmad Rifa‘i

(Kendal, 1786 - Ambon, 1875)

Ahmad Rifa‘i Kalisasak adalah seorang ulama besar Indonesia, ahli dalam berbagai cabang ilmu keislaman, tokoh pemurnian, patriot dan pembaru Islam Indonesia abad ke-19, seorang juru dakwah yang memikat, dan pendiri sebuah gerakan yang dinisbahkan kepada namanya sendiri, yaitu Gerakan Rifa‘iyah.

Ahmad Rifa‘i dilahirkan di desa Tempuran (sekarang termasuk dalam wilayah Kabupaten Kendal) pada 9 Muharam 1200 (1786 M). Ayahnya bernama Muhammad bin Suja‘ alias Sucawijaya, seorang penghulu di Kendal.

Setelah ayahnya meninggal dunia, yaitu ketika Ahmad Rifa‘i masih berusia 7 tahun, Ahmad Rifa‘i diasuh oleh kakak iparnya yang bernama Syekh al-Asy‘ari, pimpinan pondok Pesantren Kaliwungu, Kendal. Di lingkungan pondok inilah Ahmad Rifa‘i dididik dan dibesarkan. Sejak kecil, ia sudah menampakkan kecerdasan, dan karenanya ia dididik untuk menjadi ulama.

Dalam usia 30 tahun, pada 1816 Ahmad Rifa‘i menunaikan ibadah haji dan bermukim di Mekah untuk menuntut ilmu. Gurunya di Mekah antara lain Syekh Usman dan Syekh al-Faqih Muhammad bin Abdul Aziz al-Jaisyi. Setelah 8 tahun di Mekah, Ahmad Rifa‘i pergi ke Cairo, Mesir.

Selama lebih kurang 12 tahun di Cairo, ia mendalami kitab fikih Syafi‘i. Gurunya di sana antara lain adalah Syekh Ibrahim al-Bajuri. Selama menuntut ilmu di negeri Arab, ia banyak berkenalan dengan para penuntut ilmu asal Nusantara yang bermukim di Mekah, antara lain Nawawi al-Jawi dari Banten dan KH Khalil Bangkalan dari Madura.

Setelah selama 20 tahun menuntut ilmu di negeri Arab, dalam usia 50 tahun, ia kembali ke kampung halamannya di Kaliwungu, Kendal. Di tempat kelahirannya ini ia mengajar di pesantren yang diasuh KH Asy‘ari. Di sinilah ia mulai mencurahkan perhatian untuk mengajar dan menulis kitab keagamaan.

Sementara mengajarkan agama, juga menanamkan kesadaran sosial kepada para muridnya. Ia dikenal sangat peduli dengan penderitaan yang dialami masyarakat. Ia melontarkan banyak kritik kepada pemerintah dan aparatnya yang terdiri dari kalangan priayi feodal. Menurutnya, merekalah yang menyebabkan bobroknya moral masyarakat.

Kritiknya itu ternyata membawa pengaruh besar di kalangan masyarakat. Banyak orang yang kemudian menjadi militan. Suhu politik menjadi panas. Para priayi yang tersengat kecaman Rifa‘i kemudian melaporkannya kepada pemerintah colonial Hindia Belanda.

Oleh pemerintah, sikap dan pandangannya yang juga ditanamkan kepada para muridnya dipandang dapat mengganggu stabilitas dan keamanan pemerintah. Oleh sebab itu, ia ditangkap pada 1849 dan dipenjarakan di Kendal, kemudian dipindahkan ke Semarang.

Setelah dibebaskan dari penjara, pada 1850 ia mengasingkan diri ke Kalisasak, sebuah desa terpencil dekat hutan, yang sekarang termasuk Kecamatan Limpung, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Di tempat ini ia mendirikan pesantren yang kemudian berkembang dengan cepat. Santrinya berdatangan dari berbagai penjuru Jawa: Kendal, Pekalongan, Wonosobo, Batang, Indramayu, Purwodadi, Kebumen, dan lain-lain.

Mengenai metode pendidikannya, dengan sangat percaya diri ia mengatakan bahwa cara yang dijalankan di pesantrennya lebih baik dari cara tradisional yang umum berlaku di Jawa. Ia juga menyatakan bahwa ajaran yang diberikannya di pesantrennya berbeda dari ajaran yang diberikan oleh umumnya ulama di Jawa.

Menurutnya, Al-Qur’an sering diajarkan dengan banyak kesalahan dan kekurangan. “Saya ingin menyempurnakan ajaran,” katanya kepada residen Pekalongan yang menginterogasinya pada 6 Mei 1859.

Di Kalisasak ia menulis banyak buku, menyadur, dan menerjemahkan buku berbahasa Arab. Ia termasuk ulama langka yang mampu menguraikan Islam tanpa menggunakan bahasa Arab. Karyanya menarik dan enak dibaca.

Penjara sama sekali tidak membuatnya lemah. Di pesantrennya, setelah lepas dari penjara, ia kembali menyuarakan kritik, baik kepada pemerintah Hindia Belanda maupun kaum priayi yang bekerja untuk pemerintah Hindia Belanda, karena ia sangat anti-Belanda dan anti-Pemerintah kolonial yang kafir.

Dalam sebuah bukunya (berbahasa Jawa) yang berjudul Sarihul Iman (Iman yang Benar), ia mengatakan, “Orang yang beriman yang mencari nafkah dengan menanam ketela lebih baik daripada mereka yang mengabdikan diri kepada orang yang kufur.” Ia berpendapat bahwa salat Jumat tidak sah jika khatib dan imamnya adalah ulama birokrat yang bekerja untuk pemerintah Hindia Belanda.

Dalam buku itu, ia juga menulis: “Bupati Demang semuanya fasik karena mengikuti orang kafir.” Ia juga berpendapat bahwa perkawinan yang dilangsungkan oleh para penghulu yang diangkat oleh pemerintah kafir Hindia Belanda tidak sah. Akibat dari pendapatnya ini, banyak umat Islam yang datang ke Kalisasak untuk memohon pengesahan perkawinan mereka, di samping mereka yang datang untuk berguru.

Melihat besarnya pengaruh Ahmad Rifa‘i, pemerintah kolonial kembali merasa khawatir, sehingga pada 1859 ia diasingkan ke Ambon. Di pengasingannya ini ia terus menulis buku keagamaan yang segera dikirim kepada para muridnya di Kalisasak. Selama dalam pengasingan di Ambon sampai meninggal dunia pada 1875, ia berhasil menulis empat buah buku.

Sebagai seorang ulama yang sangat produktif, Rifa‘i meninggalkan paling tidak 53 karya tulis, yang sampai sekarang masih merupakan buku pegangan bagi gerakannya. Semua kitabnya itu ditulis dalam bahasa Jawa dengan tulisan Arab Jawi dan langgam sastra.

Menurut pengakuannya, kitab itu merupakan terjemahan dan ringkasan dari buku Arab tentang akidah dan fikih, dari karangan ulama Mekah dan Aceh. Karya tulisnya itu kemudian dikenal dengan sebutan “tarajumah” (terjemahan), yang kemudian juga menjadi nama kelompok yang dipimpinnya.

Terbitnya buku Rifa‘i sangat berjasa dalam menyebarkan ajaran Islam, karena sampai saat itu kitab agama yang berbahasa Jawa masih sangat langka. Karyanya itu berkenaan dengan berbagai cabang ilmu keislaman, terutama fikih (dan usul fikih), usuluddin (teologi), dan tasawuf.

Di samping itu juga terdapat beberapa bukunya tentang bidang kajian lain. Karyanya itu antara lain adalah Taisir (Memudahkan), 1255 H/1839 M; ‘Inayah (Pertolongan Tuhan), 1256 H/1840 M; husn al-Mathalib (Tuntutan yang Baik), 1259 H/1843 M; Absyar (Kabar Gembira), 1259 H/1843 M; hasaniyyah (Kebaikan), 1262 H/1846 M; at-Tabyin al-Islahi (Penjelasan Pembaruan), 1264 H/1848 M; Kaifiyah (Cara), 1265 H/1849 M; Misbah (Pelita), 1266 H/1850 M; Tasyrihah al-Muhtaj (Keterangan yang Dibutuhkan), 1266 H/1850 M; Bastsiyyah (Penerangan), 1267 H/1851 M.

Karya lainnya: Tadhiyyah (Berkorban), 1269 H/1853 M; Fatawiyyah (Fatwa-Fatwa), 1269 H/1853 M; Samhiyyah (Kelapangan), 1269 H/1853 M; Muslihah (Pembaru), 1270 H//1854 M; Wadihah (Yang Terang), 1272 H/1855 M; Minwar al-Himmah (Penerang Cita-Cita), 1272 H/1855 M; Tansyirah (Melapangkan), 1273 H/1856 M; Ma‘rifah (Pengetahuan), 1257 H/1841 M; Thariqat Besar, 1257 H/1841 M; Thariqat Kecil, 1257 H/1841 M; Adzna al-Maqasid (Cita-Cita Terpuji), 1261 H/1845 M; Tafsilah (Penjelasan), 1261 H/1845 M;.

Selanjutnya: Imdad (Merentangkan), 1261 H/1845 M; Irsyad (Petunjuk), 1261 H/1845 M; Jam‘al-Masa’il (Kumpulan Masalah), 1261 H/1845 M; sawalih (Amal Saleh), 1262 H/1846 M; As‘ad (Kebahagiaan), 1262 H/1846 M; Abyan al-hawa’ij (Kebutuhan yang Paling Nyata), 1265 H/1849 M; Muhibbah, 1273 H/1856 M; Nasih ah al-Awam (Nasihat untuk Orang Awam); Fadilah (Keutamaan); Ma‘unah (Bantuan Allah); Irfaq (Memberi Manfaat), 1261 H/1845 M; Ri‘ayah al-Himmah (Memelihara Cita-Cita), 1266 H/1850 M; Fauziyyah (Kemenangan), 1266 H/1850 M; Bayan (Keterangan), 1256 H/1840 M; Sarihul Iman (Iman yang Benar), 1255 H/1839 M; dan Tasfiyyah (Penyucian).

Gerakan Tarajumah. Pesantren yang didirikan Ahmad Rifa‘i di Kalisasak melahirkan sebuah gerakan yang dinisbahkan kepada namanya, yaitu Gerakan Rifa‘iyah, yang juga dikenal dengan nama lain, seperti “Kelompok ‘Ubudiyah” atau disebut juga “Kelompok Budian”, “Kelompok Ngelmu Kalisasak”, dan “Santri Tarajumah”.

Gerakan ini dimulai sejak ia mengembangkan dakwahnya di Kalisasak pada 1850. Gerakan ini, sesuai dengan pandangan Rifa‘i, bersifat puritan dan berusaha mengembalikan pelaksanaan amalan Islam pada Al-Qur’an dan sunah Rasulullah SAW.

Pada awal perkembangannya, gerakan ini menekankan usaha peningkatan penghayatan hidup keagamaan umat Islam yang dipandangnya tidak sesuai dengan syariat. Ahmad Rifa‘i menghendaki agar umat Islam mengikuti ajaran yang ortodoks secara benar. Dengan cepat gerakan ini mendapat sambutan dari rakyat dan berkembang di Pekalongan dan Kedu.

Dalam menjalankan aktivitas gerakan, Ahmad Rifa‘i sejak semula sudah melakukan kaderisasi. Dari kalangan santrinya dipilih kader inti, yang disebut badal (pengganti). Mereka ini berperan sebagai asistennya dalam menyebarluaskan ajarannya, di samping juga bertugas menyalin atau menurunkan kitab yang sudah ditulisnya.

Sepeninggal Ahmad Rifa‘i di pengasingan (Ambon) pada 1859, Pesantren Kalisasak secara formal bubar dan karya Rifa‘i dinyatakan terlarang, tetapi gerakannya terus berlanjut. Adanya kader menyebabkan gerakan tidak menjadi vakum. Tugas dakwah gerakan yang berpusat di Kalisasak diteruskan para badal. Tetapi berbeda dengan Ahmad Rifa‘i, karena selalu mendapat tekanan dari pihak pemerintah kolonial, mereka melakukan dakwah dengan cara yang lebih akomodatif.

Ketika Snouck Hurgronje melakukan penelitian di Pulau Jawa pada 1889–1890, ia menemukan sisa ajaran Ahmad Rifa‘i, khususnya di Pekalongan. Bahkan pada waktu ia menemui penghulu masjid Pekalongan, pemimpin agama ini terus terang mengemukakan simpatinya terhadap ajaran Ahmad Rifa‘i. Karya Rifa‘i, meskipun sudah dilarang pemerintah kolonial, terus beredar dan menjadi bacaan utama bagi para anggota gerakannya.

Para badal kemudian mendirikan beberapa pesantren Tarajumah di berbagai tempat di Jawa. Kader gerakan terus mengadakan hubungan satu sama lainnya. Ikatan persaudaraan di antara mereka bahkan diperkukuh dengan hubungan persemendaan, karena mereka saling mengawinkan putra-putri mereka.

Melalui hubungan seperti ini, ditambah dengan pesantren Tarajumah yang didirikan para santri Ahmad Rifa‘i, gerakan terus berkembang. Berdasarkan laporan yang disampaikan kepada pemerintah kolonial pada 1923/1924, ada bukti bahwa gerakan ini terus berjalan.

Menurut laporan itu, pada waktu itu pengikut gerakan ini terkesan mengasingkan diri dari pergaulan umum dan hanya mencari hubungan dengan sesama anggota. Mereka mendirikan salat Jumat berjemaah sendiri, tidak ikut berjemaah di “masjid pemerintah”. Mereka juga mengadakan upacara perkawinan sendiri.

Gerakan Tarajumah masih tersisa sampai sekarang, terutama di Kaliwungu, Cirebon, Kedu, Kendal, Wonosobo, Pekalongan, Batang, dan Semarang. Namun, gerakan ini tidak lagi anti-pemerintah. Ketertutupan yang dulu dilaporkan kepada pemerintah kolonial sekarang pun sudah berubah. Bahkan ada tokohnya yang aktif menyampaikan dakwah di kalangan umat Islam yang lebih luas.

Ajaran Gerakan. Ajaran Ahmad Rifa‘i sampai sekarang tetap menjadi pegangan gerakannya. Secara utuh ajaran itu dapat diketahui melalui karyanya yang menjadi bacaan pokok pengikut gerakan. Menurut Ahmad Rifa‘i, ilmu keislaman secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu ilmu usuluddin (teologi), ilmu fikih (hukum), dan tasawuf (mistik).

Secara teologis, Ahmad Rifa‘i berpaham ahlusunah waljamaah. Dalam hal ini ia berpegang kepada dua tokoh aliran ini, yaitu Abu Hasan Ali bin Ismail al-Asy‘ari (pendiri aliran Asy‘ariyah) dan Abu Mansur Muhammad al-Maturidi (pendiri aliran Maturidiyah). Rifa‘i mengimbau agar orang mengikuti paham kedua tokoh ini.

Ia menolak paham Jabariyah dan Kadariyah serta menganut teori kasb (teori dari al-Asy‘ari yang menjelaskan bahwa perbuatan manusia tidak efektif; kehendak dan kemauan manusia adalah juga kehendak dan kemauan Allah SWT).

Dalam bidang fikih, Ahmad Rifa‘i menganut Mazhab Syafi‘i, meskipun dalam hal tertentu melakukan ijtihad untuk penyesuaian dengan kebutuhan masyarakat pada waktu itu. Ia sangat menekankan pentingnya rukun Islam yang pertama, yaitu membaca dua kalimat syahadat, karena kedua kalimat itu sangat menentukan diterima tidaknya amal seseorang.

Sebagaimana umumnya ulama ahlusunah waljamaah, Ahmad Rifa‘i berpendapat bahwa tasawuf harus selalu selaras dengan syariat. Baginya, syariat, tarekat, dan hakikat merupakan satu kesatuan. Ia mengumpamakan ketiga hal tersebut dengan buah kelapa: syariat adalah kulitnya, tarekat adalah isinya, dan hakikat adalah minyaknya.

Dalam melakukan ibadah, ia mengumpamakan syariat sebagai kelengkapan syarat dan rukunnya, tarekat sebagai ikhlasnya niat karena Allah SWT, dan hakikat sebagai harapan akan anugerah dan pertolongan Allah SWT. Kalau syariat merupakan perwujudan iman dari aspek lahiriah, tasawuf merupakan perwujudan iman dari aspek batiniah.

Menurutnya, tujuan mempelajari tasawuf adalah untuk membersihkan hati manusia agar selalu lurus dan mengarah kepada Allah SWT. Oleh karena itu, tasawuf yang dikembangkannya tidak sampai kepada pembahasan tasawuf falsafi.

Berbeda dengan para tokoh tasawuf falsafi yang berpendapat bahwa seorang sufi dapat bersatu dengan Tuhan, Ahmad Rifa‘i mengatakan bahwa seseorang tidak akan dapat melihat Zat Tuhan.

Tingkat tertinggi dalam tasawufnya adalah makrifat, yang menurutnya hanya berarti “berpikir tentang kekuasaan Tuhan sehingga menimbulkan suasana kejiwaan yang mencerminkan kedekatan hati seseorang kepada Allah SWT”.

Sejalan dengan itu, menurut Rifa‘i, wali Allah yang umumnya dianggap sebagai peringkat tertinggi para sufi adalah orang yang menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah SWT dan Rasul-Nya dan segera bertobat apabila melakukan dosa. Wali Allah itu dibedakannya atas tiga macam:

(1) wali awam, yaitu mukmin yang benar imannya meskipun fasik;

(2) wali khawas, yaitu mukmin yang selalu beribadah, menjauhi dosa besar, tidak terus-menerus melakukan dosa kecil, dan melakukan amar makruf nahi munkar; dan

(3) wali khawas al-khawas, yaitu manusia sempurna, yang adil dan alim, mampu menjalankan perintah dan menjauhi larangan secara sempurna, dapat menghindari perbuatan dosa besar, baik lahir maupun batin, tidak tergoda kesenangan dunia, selalu bersyukur, selalu berusaha dekat dengan Allah SWT, mengajarkan ilmunya, dan melakukan amar makruf nahi munkar.

Meskipun juga bernuansa tasawuf, ajaran Ahmad Rifa‘i berorientasi praktis, sesuai dengan ajaran ortodoks Islam. Namun, dalam menerapkan ajarannya itu, ia tidak terlalu ketat sebagaimana kebanyakan revivalis (tokoh kebangkitan kembali) lainnya, karena dalam hal tertentu ia melakukan ijtihad, dengan tujuan agar ajaran ortodoks itu dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat di masa itu.

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Syadzirin. Mengenal Ajaran Tarjuman Syaikh Ahmad Rifa‘i RH. Jakarta: Jamaah Masjid Baiturrahman, 1989.
Kuntowijoyo. Paramadina Islam. Bandung: Mizan, 1991.
Simon, Slamet. “Profil KH Ahmad Rifa‘i sebagai Ulama Patriotik Abad XIX,” Ulumul Qur‘an, 1990.
Steenbrink, Karel A. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indone­sia Abad ke-19. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.

Badri Yatim