Menurut ahli tata bahasa Arab, kalam didefinisikan sebagai “kata” atau “lafaz” dengan bentuk majemuk (ketentuan atau perjanjian). Secara teknis, kalam berarti “argumen rasional untuk memperkuat pernyataan”. Belakangan ilmu kalam dikenal dengan istilah “teologi Islam”, yang digunakan para orientalis. Melalui ilmu ini Islam menjelaskan dasar agamanya, yakni wujud Tuhan dan aspek serta hubungan-Nya dengan makhluk.
Secara Tata Bahasa. Kalam adalah kata benda umum tentang perkataan, sedikit atau banyak, yang dapat digunakan untuk setiap bentuk pembicaraan (likulli ma yatakallamu bihi); atau ekspresi suara yang berturut-turut hingga maksud pesan suara itu jelas. Pengertian ini digunakan secara langsung dalam asal-usul akar kata bahasa Arab.
Al-Qur’an surah al-A‘raf (7) ayat 144 menyebut bi kalami yang ditujukan kepada Nabi Musa AS. Menurut al-Baidawi, maksudnya adalah bi kalami iyyaka (Aku berbicara langsung kepadamu). Dalam surah al-Fath (48) ayat 15, kalam Allah diartikan sebagai “janji atau ketentuan Allah SWT yang harus diikuti seluruh umat manusia”.
Kalam sebagai kata benda, dari kata taklim, mengandung dua pengertian, yakni berbicara dan hukum (undang-undang). Dalam surah al-Baqarah (2) ayat 75, kalam berarti Allah SWT berbicara langsung kepada Nabi Musa AS atau hukum Allah SWT yang dikenal dengan din al-Islam (agama Islam). Dalam surah at-Taubah (9) ayat 6, yang dimaksud dengan kalam adalah firman Allah SWT atau isi yang terkandung dalam agama Islam secara nyata dan menyeluruh.
Kalam sebagai kata kerja banyak digunakan dalam Al-Qur’an yang berarti “berbicara kepada seseorang yang dikenai perbuatan”. Menurut Abu Hasan al-Asy‘ari dalam al-Ibanah, kata taklim berarti al-musyafahah bi al-kalam (berbicara dengan pembicaraan tertentu).
Kata kalam lainnya yang mempunyai pengertian yang netral, yakni berbicara, bercakap-cakap, dan diskusi, adalah la takallamu yang terdapat dalam surah Hud (11) ayat 105, na takallamu dalam surah an-Nur (24) ayat 16, dan ya takallamu dalam surah ar-Rum (30) ayat 35 dan an-Naba’ (78) ayat 38.
Dalam an-Nur (24) ayat 16 disebutkan natakallamu bi hadzi yang maksudnya menghinakan dengan memperkatakan atau mengolok-olok, sehingga kata bi dalam ayat ini adalah subjek yang dibicarakan.
Secara Teknis. Dalam perkembangan berikutnya kalam digunakan untuk istilah teknis, yakni ilmu kalam yang telah menjadi disiplin ilmu dan berkembang sampai sekarang. Kalam dalam istilah “ilmu” pada awalnya berkenaan dengan kalam Allah SWT, Al-Qur’an, dan sifat Allah SWT. Ilmu kalam ini juga dikenal dalam buku keislaman dengan ilmu tauhid, adakalanya disebut ilmu usuludin atau ilmu akaid.
Objek studi ilmu kalam adalah:
(1) kepercayaan tentang Allah SWT dengan segala seginya, termasuk soal-soal wujud, keesaan, dan sifat-Nya serta
(2) pertaliannya dengan alam semesta, termasuk persoalan terjadinya alam, keadilan, dan kebijaksanaan Allah SWT (kada dan kadar) serta pengutusan rasul yang meliputi soal penerimaan wahyu dan berita alam gaib yang dibawanya, antara lain soal keakhiratan.
Alasan mengapa dinamakan ilmu kalam adalah sebagai berikut:
(1) Persoalan terpenting di antara pembicaraan masa-masa pertama Islam adalah firman Allah SWT, Al-Qur’an, apakah azali atau baru. Oleh karena itu, keseluruhan isi ilmu kalam merupakan bagian yang penting sekali.
(2) Dasar ilmu kalam adalah dalil rasional yang pengaruhnya tampak nyata pada pembicaraan ulama Islam, sehingga mereka tampak sebagai ahli bicara. Dalil Al-Qur’an dan sunah baru dipakai sesudah mereka menetapkan kebenaran suatu persoalan dari segi akal pikiran.
(3) Pembuktian kepercayaan agama menyerupai logika dan filsafat. Pembuktian dengan logika disebut ilmu kalam. Orang yang ahli dalam ilmu kalam disebut mutakallim (jamaknya mutakallimin).
Ilmu kalam sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri disebutkan untuk pertama kali pada masa khalifah Abbasiyah, al-Ma’mun (w. 218 H/833 M), setelah ulama Muktazilah mempelajari kitab filsafat yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dipadukan dengan metode ilmu kalam.
Sebelum masa al-Ma’mun, ilmu yang membicarakan masalah kepercayaan disebut al-fiqh sebagai imbangan fiqh fi al-‘ilm, yaitu tentang hukum Islam, sebagaimana Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi) menamakan bukunya mengenai kepercayaan agama dengan al-Fiqh al-Akbar. Dalam perkembangan lebih lanjut, istilah fiqh (fikih) ini khusus digunakan untuk ilmu yang membicarakan persoalan hukum Islam.
Ilmu kalam belakangan juga dikenal dengan teologi Islam yang sudah lama dikenal para penulis Barat. Dalam pembahasan para ahli ketimuran selalu digunakan kata “teologi Islam” untuk ilmu kalam ini.
Ilmu kalam atau teologi Islam timbul karena Islam sebagai agama merasa perlu menjelaskan pokok dasar agamanya dan segi dakwah sebagai tujuan Al-Qur’an dan sunah. Dua dasar ini membicarakan wujud Tuhan dengan segala aspeknya dan menyatakan hubungan-Nya dengan makhluk.
Ilmu kalam belum dikenal pada masa Nabi Muhammad SAW. Selang beberapa periode, setelah ilmu keislaman satu per satu mulai muncul dan banyak orang membicarakan soal metafisika atau alam gaib, muncul pula berbagai golongan dan aliran dalam ilmu ini .
Setelah kurang lebih selama 3 abad kaum muslimin melakukan berbagai perdebatan, baik sesama pemeluk Islam maupun dengan pemeluk agama lain, akhirnya kaum muslimin mencapai ilmu yang membicarakan dasar akidah dan perinciannya, baik dari dalam Islam sendiri maupun dari luar Islam. Karena muncul berbagai persoalan kalam, timbullah bermacam-macam aliran kalam.
Berdasarkan alasan di atas, Muhammad Abdul Karim Syahristani (469 H/1076 M–548 H/1153 M) menggolongkan aliran kalam sebagai berikut:
(1) Asy‘ariyah, Karamiyah, Mujassimah, dan Muktazilah, yang muncul karena konsep sifat Allah SWT dan pengesaan sifat-Nya;
(2) Kadariyah, Nijariyah, Jabariyah, Asy‘ariyah, dan Karamiyah, yang muncul karena konsep kadar dan keadilan Allah SWT;
(3) Murji’ah, Wa’idiyah, Muktazilah, Asy‘ariyah, dan Karamiyah, yang muncul karena konsep janji dan ancaman, iman dan kafir, serta surga dan neraka; dan (4) Syiah, Khawarij, Muktazilah, Karamiyah, dan Asy‘ariyah, yang muncul karena konsep baik dan buruk.
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Muhammad. Risalah at-Tauhid. Cairo: Mustafa al-Halabi, t.t.
Corbin, Henry. History of Islamic Philosophy, terj. Liadain Sherrard dan Philip Sherrard. London: Keegan Paul International, 1993.
Fakhry, Majid. A History of Islamic Philosophy. New York: Columbia University Press, 1983, London: Longman, 1983.
Gibb, Hamilton A.R. Shorter Encyclopaedia of Islam. Leiden: E.J. Brill, 1965.
Hanafi, A. Pengantar Theologi Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna, 1980.
al-Jisr, Husen. al-husun al-hamidiyyah. Maktabah al-Husen at-Tijariyah, t.tp., t.t.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press, 1986.
Reinhart, A. Kevin. Before Revelation: The Boundaries of Muslim Moral Thought. New York: State University of New York Press, 1995.
asy-Syahristani, Abu al-Fath Muhammad Abdul Karim. al-Milal wa an-Nihal. Cairo: Maktabah el-Englo, 1956.
Wolfson, Harry Austyn. The Philosophy of the Kalam. Cambridge, Massachusetts and London, England: Harvard University Press, 1976.
Ahmad Qorib