Kalalah

Seorang yang meninggal tanpa meninggalkan anak maupun ayah, atau yang mati punah, disebut kalalah. Jika ia mati, tidak ada lagi penerus nasabnya sehingga riwayat keturunannya berakhir. Ulama berbeda pendapat tentang definisi kalalah. Dalam Al-Qur’an hanya ada dua ayat tentang kalalah, surah an-Nisa’ (4) ayat 12 dan 174, dan dalam hadis pun persoalan kalalah tidak tuntas. Fikih Islam membahas pembagian harta orang yang berstatus kalalah.

Abu Bakar as-Siddiq mendefinisikan kalalah dengan “seseorang yang meninggal dunia yang tidak mempunyai anak dan ayah”. Pendapat ini kemudian dianut secara luas oleh ulama tafsir berikutnya, seperti Ibnu Arabi (w. 543 H/1149 M) (mufasir dari Mazhab Maliki) dan Muhammad Husin Thabathaba’i (mufasir Syiah), sehingga menjadi pendapat jumhur ulama.

Alasan yang dikemukakan jumhur ulama adalah hadis yang diriwayatkan Bukhari, Muslim, Ahmad bin Hanbal, dan Ashab as-Sunan (para penyusun kitab Sunan) dari Jabir bin Abdullah. Jabir bertanya kepada Rasulullah SAW, “Tidak seorang pun yang akan mewarisi saya kecuali (karena saya) kalalah (tidak memiliki ayah dan anak laki-laki tetapi memiliki saudara perempuan). Lalu bagaimana dengan harta peninggalan saya?”

Lalu turunlah surah an-Nisa’ (4) ayat 176 yang berarti, “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, ‘Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu) jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan…’.”

Sementara itu, Umar bin Khattab mengatakan bahwa kalalah adalah orang yang tidak mempunyai anak. Dalam hadis yang diriwayatkan dari Umar bin Khattab dikatakan bahwa tiga persoalan yang ditinggalkan Rasulullah SAW yang jawabannya tidak tuntas adalah masalah kalalah, khilafah (kekhalifahan), dan riba (HR. al-Hakim, al-Baihaki, Ibnu Abi Syaibah, dan Abdurraziq).

Dalam riwayat lain, ketika Umar bin Khattab menanyakan kepada Rasulullah SAW tentang siapa yang dimaksud dengan kalalah, Rasulullah SAW menjawab, “Bukankah Allah telah menjelaskan hal itu?” Kemudian Rasulullah SAW membacakan surah an-Nisa’ (4) ayat 12. Akan tetapi, kelihatan Umar tidak memahami maksud Rasulullah SAW, sehingga turunlah surah an-Nisa’ (4) ayat 176 yang berarti: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, ‘Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu) jika seorang meninggal dunia dan dia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan…’”

Namun Umar bin Khattab kelihatannya masih ragu, sehingga ia menyuruh anak perempuannya, Hafsah binti Umar (istri Rasulullah SAW), untuk menanyakannya kembali kepada Rasulullah SAW. Akan tetapi, Rasulullah SAW memberikan jawaban yang sama dengan menunjuk surah an-Nisa’ (4) ayat 176 di atas sambil berkata, “Ayahmu tidak akan memahaminya selamanya” (HR. Ibnu Rahawaih dan Ibnu Mardawaih dari Sa‘id al-Musayyab).

Menurut Syekh Muhammad Rasyid Rida (1865–1935 M), tokoh tafsir dari Mesir, Umar bin Khattab pada akhirnya sependapat dengan Abu Bakar bahwa kalalah itu adalah orang yang tidak mempunyai anak dan ayah.

Pendapat lain mengatakan bahwa kalalah adalah orang yang meninggal dunia yang tidak mempunyai anak, ayah, dan suami atau istri. Namun alasan yang mendukung pendapat ini tidak jelas, sehingga Muhammad Rasyid Rida dan Thabathaba’i menolaknya.

Pembagian harta peninggalan orang yang berstatus kalalah dijelaskan surah an-Nisa’ (4) ayat 12 di atas, yaitu apabila orang yang berstatus kalalah meninggalkan seorang saudara laki-laki atau seorang saudara perempuan seibu, saudara itu mendapat seperenam harta. Jika mereka lebih dari seorang, mereka berserikat pada sepertiga harta warisan, dan tidak boleh lebih.

Para saudara tersebut tidak akan mendapat warisan jika orang yang meninggal tidak berstatus kalalah. Adapun pembagian istri atau suami dari yang meninggal dunia tetap ada, baik yang meninggal mempunyai anak maupun tidak. Jika suami yang meninggal, istri mendapat seperempat harta warisan jika ia tidak mempunyai anak, dan mendapat seperdelapan harta warisan jika mempunyai anak.

Kemudian, apabila istri yang meninggal dunia, suami mendapat separuh harta warisan jika mereka tidak mempunyai anak, dan seperempat harta warisan jika mereka mempunyai anak.

Persoalan muncul jika harta yang ditinggalkan kalalah ini tidak habis dibagi. Dalam hal ini timbul pertanyaan apakah akan dilakukan radd (pengembalian harta itu menurut persentase bagian masing-masing ahli waris). Jumhur ulama menyatakan bahwa radd hanya bisa dilakukan kepada ahli waris yang bersifat nasabiyyah (seketurunan). Istri atau suami tidak mendapatkan bagian lagi apabila terjadi radd.

Pendapat ini mula-mula dikemukakan Ali bin Abi Thalib, kemudian diikuti Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi) dan Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali), serta ulama Mazhab Maliki, Syafi‘i, dan Syiah (Imamiyah dan Zaidiyah). Yang mendapatkan warisan dengan cara radd ini hanyalah saudara seibu, sesuai dengan bunyi surah an-Nisa’ (4) ayat 176.

Usman bin Affan berpendapat bahwa sisa harta kalalah dikembalikan kepada seluruh ahli waris yang berhak menerimanya sesuai dengan persentase penerimaan masing-masing, termasuk kepada suami atau istri. Namun, Imam Syafi‘i dan Ibnu Hazm berpendapat bahwa kelebihan harta kalalah ini diserahkan kepada baitulmal untuk kepentingan bersama umat Islam, karena secara tegas Allah SWT telah menentukan bagian setiap ahli waris.

Jika orang yang wafat sebagai kalalah meninggalkan saudara kandung dan saudara seibu, dan harta sudah habis sebelum dibagi kepada saudara kandung, Umar bin Khattab mengambil kebijaksanaan dengan menggabungkan pembagian warisan saudara kandung dan seibu, kemudian membagikannya sama rata, sehingga masing-masing mendapat bagian.

Sebagai contoh, seseorang meninggal dunia dan meninggalkan ahli waris yang terdiri dari ibu, suami, dua saudara laki-laki sekandung dan dua saudara seibu. Dalam kasus seperti ini Umar bin Khattab membaginya sebagai berikut. Suami mendapat setengah harta (karena tidak mempunyai anak), ibu mendapat seperenam, saudara seibu mendapat sepertiga harta (karena mereka dua orang), dan saudara laki-laki sekandung menjadi ‘asabah (ahli waris yang mendapat sisa harta setelah dilakukan pembagian warisan).

Akan tetapi, bagian saudara laki-laki yang menjadi ‘asabah ini sudah habis dibagi. Mereka kemudian memprotes Umar. Umar bin Khattab kemudian menggabungkan bagian saudara seibu dan saudara sekandung tersebut dan membaginya sama banyak. Kasus ini seperti diriwayatkan Ibnu Kasir dalam kitab tafsirnya Tafsir Al-Qur’an al-‘Azim.

DAFTAR PUSTAKA

Ibnu Kasir, al-Hafiz Imaduddin Abu al-Fida’ Isma‘il. Tafsir Al-Qur’an al-‘Azim. Beirut: Dar al-Fikr, 1405 H/1984 M.
Musa, Muhammad Yusuf. at-Tirkah wa al-Mirats fi al-Islam. Cairo: Dar al-Ma‘rifah, t.t.
Rida, Muhammad Rasyid. Tafsir al-Manar. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
at-Thabathaba’i, Muhammad Husin. al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an. Beirut: Muassasah al-‘Alami li at-Tiba‘ah, 1983.

Nasrun Haroen