Abdul Kahar Muzakkir adalah seorang ulama-intelektual, tokoh Muhammadiyah dan Masyumi, anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang bertindak sebagai salah seorang juru bicara terkemuka dari kalangan nasionalis islami, dan anggota Konstituante.
Abdul Kahar Muzakkir dilahirkan di sebuah daerah yang pengaruh Islamnya sangat kuat. Ayahnya bernama KH Muzakkir, seorang guru agama yang dipekerjakan di Masjid Besar Kesultanan Yogyakarta.
Kakeknya, Kiai Hasan Busyairi, pada permulaan abad ke-19 adalah pemimpin lokal Tarekat Syattariyah dan komandan tentara gerilya daerah di bawah Pangeran Diponegoro, tetapi tertangkap dan diasingkan bersama pengikutnya ke Tondano, Sulawesi Utara, tempat ia mengembuskan napas terakhir.
Pendidikan formal Abdul Kahar Muzakkir dimulai pada Sekolah Dasar Muhammadiyah Kotagede sampai kelas dua. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya ke Madrasah Manba’ul Ulum dan Pesantren Jamsaren di Solo (Jawa Tengah) serta Pesantren Tremas di Pacitan (Jawa Timur).
Pada 1925 ia berangkat ke Cairo dan kuliah di Dar al-‘Ulum, Universitas Fuad (sekarang Universitas Cairo). Pada 1936 ia berhasil menyelesaikan pendidikan tingkat lanjut di sana dalam bidang hukum Islam, ilmu pendidikan, dan bahasa Arab serta Yahudi.
Rupanya, masa belajar di Cairo memberikan pengalaman penting baginya. Di sanalah ia mulai mendapat pengalaman di bidang politik sekaligus menimba pemikiran mengenai pembaruan dalam Islam. Ia aktif dalam kegiatan politik mahasiswa, mewakili mahasiswa “Jawah” (Indonesia dan Malaysia).
Ia juga menjadi salah seorang pendiri organisasi pemuda Islam bernama Jam‘iyyat Syubban al-Muslimin, bahkan ikut berpartisipasi dalam jurnal terbitan organisasi ini yang bernama Jurnal Seruan Azhar. Pada 1933 ia ikut mendirikan dan menjadi pimpinan pertama Perhimpunan Indonesia Raya di Cairo, yang merupakan jaringan Perhimpunan Indonesia di Belanda.
Karena aktivitasnya itu, pada 1930-an ia sering mengikuti berbagai konferensi Islam tingkat dunia di Timur Tengah, mewakili mahasiswa Indonesia di Cairo maupun masyarakat Islam di Indonesia.
Setelah menyelesaikan studi di Cairo, ia kembali ke tanah air dan mulai mengajar di Muallimin Muhammadiyah di Yogyakarta. Tak lama kemudian ia menjadi direktur madrasah tersebut. Dalam organisasi Muhammadiyah sendiri, ia menjadi pimpinan Organisasi Pemuda dan Badan Kesejahteraan Sosial Muhammadiyah.
Bersama tiga orang utusan umat Islam lainnya, pada 1939 ia diundang ke Jepang untuk mengikuti Kongres Islam Timur Jauh di Tokyo. Sejak 1946 sampai akhir hayatnya, ia berkali-kali terpilih menjadi anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Selain aktif dalam Muhammadiyah, pada 1938 ia juga aktif di Partai Islam Indonesia (PII) dan menjadi anggota Pengurus Besar (PB) sampai 1940.
Partai politik yang banyak didukung oleh golongan modernis ini merupakan pecahan penting dari Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) dan berada di bawah pimpinan Dr. Sukiman Wirjosandjojo.
Pada 1940 PII mengadakan kongres pertama di Yogyakarta. Dalam kongres ini, Kahar Muzakkir kembali terpilih menjadi anggota Pengurus Besar. Namun, partai ini kemudian dibubarkan pemerintah pendudukan Jepang.
Di bawah pendudukan Jepang, Abdul Kahar Muzakkir bekerja di Kesultanan Yogyakarta (Urusan Ekonomi) sampai 1943. Setelah itu ia ditunjuk oleh Badan Intelijen Militer Jepang (Beppan) untuk menjadi komentator berita pada siaran radio berbahasa Arab dan Inggris di Jakarta.
Pada 1944 ia dipindahtugaskan ke Kantor Urusan Agama (Shumubu). Kantor yang didirikan pemerintahan pendudukan Jepang pada awal Maret 1942 ini menggantikan Het Kantoor voor Inlandsche Zaken yang sudah ada di zaman kolonial Belanda.
Pada 1 April 1944 pemerintah pendudukan Jepang mendirikan Kantor Urusan Agama daerah di setiap keresidenan. Waktu itu Abdul Kahar Muzakkir sudah menjadi wakil kepala Kantor Urusan Agama di bawah A. Wahid Hasyim. Pada masa itulah diletakkan landasan berdirinya Kementerian Agama beserta kantor daerahnya di kemudian hari.
Di samping itu, Kahar Muzakkir juga ditempatkan di Dewan Penasihat Pusat dan akhirnya ditunjuk menjadi anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang dibentuk 9 April 1945, sebagai realisasi janji Jepang untuk memberi kemerdekaan kepada Indonesia, sebagaimana telah diumumkan Perdana Menteri Koiso 9 September 1944.
Abdul Kahar Muzakkir dikenal sebagai seorang tokoh nasionalis Islam yang vokal. Ketika para pembesar Jepang mengadakan pertemuan dengan para pemimpin muslim, Kahar Muzakkir bersama KH Mas Mansur (juga dari Muhammadiyah) mengemukakan pendapat secara terus terang agar pihak Jepang tidak campur tangan dalam urusan agama.
Pernyataan itu disampaikan karena tindakan Jepang yang antara lain menutup madrasah dan pesantren serta memerintahkan rakyat Indonesia termasuk ulamanya untuk melakukan sai keirei (memberi hormat kepada kaisar Jepang dengan membungkukkan badan 90 derajat ke arah Tokyo), mempercayai bahwa bangsa Jepang adalah bangsa terpilih di dunia, dan meyakini bahwa kaisar Jepang merupakan turunan dewa.
Di dalam BPUPKI yang dilantik pada 28 Mei 1945 dan mengadakan sidang pertama antara 29 Mei–1 Juni 1945, Abdul Kahar Muzakkir bersama Ki Bagus Hadikusumo, KH Ahmad Sanusi, dan A. Wahid Hasyim, dapat dikatakan bertindak sebagai juru bicara terkemuka kelompok pembela dasar Islam dalam menghadapi kelompok nasionalis “sekuler”. Anggota BPUPKI mula-mula berjumlah 62, kemudian ditambah 6 orang lagi hingga berjumlah 68. Dari jumlah itu, hanya 15 orang yang benar-benar mewakili aspirasi politik golongan Islam.
Selebihnya mewakili aspirasi kelompok nasionalis “sekuler” yang menolak landasan politik Islam. Wakil golongan Islam itu antara lain KH Ahmad Sanusi dan KH Abdul Halim dari Persatuan Umat Islam; Ki Bagus Hadikusumo, KH Mas Mansur, dan KH Abdul Kahar Muzakkir sendiri dari Muhammadiyah; KH A. Wahid Hasyim dan KH Masykur dari NU; Sukiman Wirjosandjojo dari PII; Abikusno Tjokrosujoso dari PSII; dan Agus Salim dari Pergerakan Penyadar.
Masalah pokok yang dibicarakan dalam sidang itu berkisar pada persoalan bentuk negara, batas negara, dasar negara, dan hal-hal lain yang bertalian dengan pembuatan konstitusi. Kecuali dalam membicarakan dasar negara, perdebatan berjalan dengan lancar. Dalam membahas masalah dasar negara, iklim politik dalam sidang sangat hangat.
Tokoh terkemuka dari pihak nasionalis “sekuler” adalah Radjiman, Soekarno, Mohammad Hatta, Supomo, Muhammad Yamin, Wongsonegoro, Sartono, R.P. Suroso, dan Buntaran Martoatmodjo. Semua tokoh ini merupakan hasil pendidikan Barat.
Dalam BPUPKI kemudian dibentuk Panitia Kecil yang beranggotakan sembilan orang karena itu disebut juga Panitia Sembilan untuk membahas prinsip dasar negara. Dalam panitia ini, Abdul Kahar Muzakkir menjadi salah seorang anggota.
Delapan anggota lainnya adalah Soekarno, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, A.A. Maramis, Ahmad Subardjo, Haji Agus Salim, Abikusno Tjokrosujoso, dan KH A. Wahid Hasyim. Bersama tiga anggota tersebut terakhir, yang mewakili aspirasi politik nasionalis islami, Muzakkir memperjuangkan pelaksanaan seluruh isi syariat Islam.
Dalam hal ini mereka berhadapan dengan lima orang nasionalis “sekuler” yang menolak gagasan mereka dan menginginkan negara yang memisahkan persoalan politik dengan agama, karena beranggapan bahwa agama adalah urusan pribadi seseorang.
Panitia Sembilan akhirnya mencapai sebuah kompromi politik dalam bentuk Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945, yang kemudian menjadi preambul bagi konstitusi yang diajukan dalam sidang BPUPKI dan diterima pada 11 Juli 1945.
Menurut Deliar Noer, seorang cendekiawan Islam, kompromi ini bermula dari pembicaraan informal antara A.A. Maramis (nasionalis “sekuler”) di satu pihak dan Abikusno serta Kahar Muzakkir di pihak lain. Dalam pembicaraan itu, Maramis menerima usul yang diajukan Kahar Muzakkir, agar di negara baru nanti orang Islam berkewajiban menjalankan syariat Islam.
Persesuaian ini dituangkan dalam suatu persetujuan, yang oleh Panitia Kecil dirumuskan dengan kata “negara berdasarkan pada Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, dan ditandatangani semua anggota Panitia Kecil.
Akan tetapi kompromi yang telah disetujui dalam bentuk Piagam Jakarta itu kemudian mengalami perubahan pada 18 Agustus 1945, sehari setelah Indonesia merdeka. Perubahan itu berkenaan dengan alinea keempat preambul, yang semula berbunyi “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Perubahan ini diambil dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), sebuah lembaga yang didirikan pada 7 Agustus 1945 untuk menggantikan BPUPKI. Abdul Kahar Muzakkir, yang tidak terpilih menjadi anggota PPKI, sangat kecewa dengan perubahan itu. Hal itu terlihat dalam pembicaraannya dalam Konstituante, ketika ia sendiri menjadi salah seorang anggotanya (wakil Masyumi).
Besarnya perhatian Muzakkir dalam penerapan hukum Islam di negara Indonesia terlihat juga dalam usahanya menerjemahkan karya Prof. Abdul Kadir Audah, seorang pengikut gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir, tentang penerapan hukum syariat.
Pada 1945 Muzakkir, bersama Mohammad Hatta, mempunyai andil besar dalam pendirian Sekolah Tinggi Islam (STI) yang dibuka pada 8 Juli 1945; Mohammad Hatta menjadi direktur badan usahanya, sedangkan Muzakkir menjadi rektornya. Pada mulanya STI dimaksudkan untuk melatih ulama yang berpendidikan baik, yaitu orang yang mempelajari Islam secara luas dan mendalam serta memperoleh standar pengetahuan umum yang memadai.
Studi di lembaga ini pertama-tama berlangsung selama 2 tahun sampai mencapai gelar sarjana muda, ditambah 2 tahun lagi untuk memperoleh gelar sarjana. Kurikulumnya terutama mencontoh kurikulum fakultas teologi (tingkat tinggi) Universitas al-Azhar, Cairo, Mesir. Para mahasiswa diasramakan di Balai Muslimin di Jalan Kramat Raya, Jakarta. Namun, tidak lama kemudian, STI ditutup karena gedungnya dikuasai pasukan Sekutu.
Sehabis masa kolonial, perhatian pokok Muzakkir tercurah pada usaha memajukan pendidikan tinggi Islam. Pada 10 April 1946 STI dipindahkan ke Yogyakarta. Kemudian pada November 1947, STI diubah menjadi Universitas Islam Indonesia (UII).
Di perguruan tinggi Islam pertama di Indonesia inilah ia mengabdikan ilmunya hingga akhir hidupnya dan menjabat dekan fakultas hukum. Ia juga berperan aktif dalam mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di Yogyakarta, yang kemudian menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga.
Pada masa perjuangan melawan Belanda, ia menjadi penasihat agama pada Angkatan Perang Sabil di Yogyakarta. Di samping itu, ia tetap aktif dalam dunia politik dan terpilih menjadi ketua Masyumi cabang Yogyakarta.
Sejak 1955, setelah pemilu pertama di Indonesia, ia tetap berada pada posisi anggota Konstituante sampai lembaga itu dibubarkan Presiden Soekarno pada 1959. Setelah Masyumi dinyatakan bubar, beberapa tokoh Masyumi mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII); Abdul Kahar Muzakkir juga menjadi anggotanya.
Abdul Kahar Muzakkir sering diundang mewakili masyarakat Islam Indonesia untuk menghadiri berbagai konferensi di luar negeri. Ia menjadi anggota tetap Organisasi Konferensi Islam (OKI).
Ia wafat dalam usia 65 tahun dan dikebumikan di pemakaman kampungnya, berdampingan dengan makam anggota keluarganya yang telah mendahuluinya.
DAFTAR PUSTAKA
Bolland, B.J. Pergumulan Islam di Indonesia, Respon Cendekiawan Muslim, terj. Ahmadi Thaha. Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia, 1985.
Ma’arif, Ahmad Syafi’i. Studi tentang Percaturan dalam Konstituante: Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES, 1985.
Nakamura, Mitsuo. Agama dan Lingkungan Kultural Indonesia: Pengaruh Gerakan Muhammadiyah dalam Pemurnian Agama Islam. Surakarta: Hapsara, 1983.
Noer, Deliar. Partai Islam di Pentas Nasional. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987.
Subagijo I.N. K.H. Mas Mansur Pembaharu Islam di Indonesia. Jakarta: Gunung Agung, 1982.
Badri Yatim