Kadiriyah, Tarekat

(Ar.: Thariqah al-Qadiriyyah)

Kadiriyah, salah satu tarekat Islam, didirikan oleh Syekh Abdul Qadir al-Jailani (lengkap: Muhiddin Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abi Salih Zangi Dost al-Jailani; 1077–1166). Dalam mengembangkan ajarannya, ia memimpin madrasah dan ribat di Baghdad, yang didirikannya pada 1127. Setelah ia wafat, madrasah itu dipimpin putranya, Abdul Wahhab (1151–1196) dan Abdul Salam (w. 1214). Ribatnya dipimpin putranya, Abdul Razaq (1134–1207), seorang sufi yang zahid.

Ajaran Syekh Abdul Qadir yang diberikan dalam ribat diteruskan anaknya dalam zawiat (tempat bagi sufi melatih diri dalam kehidupannya). Dari zawiat ini lambat-laun terbentuklah suatu komunitas muslim penganut ajaran Syekh Abdul Qadir di bidang tasawuf, yang kemudian dikenal sebagai Tarekat Kadiriyah.

Ajaran dasar yang ditetapkan Syekh Abdul Qadir dalam tarekatnya adalah akidah yang benar, seperti akidah para salaf saleh (ulama terdahulu yang saleh) dan akidah ahlusunah terdahulu yang mengamalkan Al-Qur’an dan sunah Rasulullah SAW dengan sungguh-sungguh, sehingga ia mendapat petunjuk dalam menapaki jalan (thariq) yang mengantarkannya ke hadirat Allah SWT.

Murid dituntut untuk mempunyai sikap mubtadi, bersikap mengikuti dengan berbagai sifat, yakni bersih hati, muka jernih, berbuat kebajikan, menolak kemungkaran dan kejahatan, fakir, menjaga kehormatan para syekh, bergaul dengan baik sesama ikhwan, memberi nasihat kepada sesama mukmin, menjauhkan permusuhan, dan memberi bantuan dalam masalah agama serta dunia.

Setelah menghayati dan mengamalkan ajaran dasar tersebut, murid harus menjalani berbagai maqam atau tahapan latihan kerohanian. Tahapan awal dapat dilalui dalam waktu singkat, hanya menghabiskan waktu lebih kurang setengah jam. Apabila dapat melalui tahapan ini dengan lancar, maka ia pindah ke tahapan berikutnya. Secara kronologis tahap awal ini berlangsung sebagai berikut:

(1) Pertemuan awal antara murid dan guru. Sebelum berlangsung pertemuan, seorang murid diharuskan mengerjakan salat sunah dua rakaat dan setelah itu membaca surah al-Fatihah yang dihadiahkan bagi Rasulullah SAW, para rasul, dan para nabi. Kemudian murid duduk di hadapan guru dengan posisi lutut murid sebelah kanan bersentuhan dengan tangan guru yang sebelah kanan.

Dalam posisi yang demikian murid dianjurkan untuk mengucap istigfar (memohon ampun kepada Allah SWT) beserta lafal tertentu, dan guru mengajarkan kalimat tauhid La ilaha illa Allah (tiada Tuhan selain Allah) tiga kali dan murid mengikutinya sambil memicingkan kedua matanya. Pada saat inilah murid dibaiat dan mengikuti ucapan baiat guru yang dilanjutkan dengan ayat mubaya‘ah (QS.48:10).

Selanjutnya syekh mengajarkan kalimat tauhid dan cara melakukan zikir sebanyak tiga kali. Setelah guru meyakini bahwa murid telah mengikuti ajarannya secara benar (artinya, tahapan pertama selesai), barulah murid dapat mengikuti tahapan berikutnya.

(2) Pemberian wejangan wasiat dari guru atau syekh kepada murid. Dalam hal ini syekh memberi ajaran dan wasiat agar murid mengikuti serta mengamalkan semua nasihat yang telah diberikannya. Nasihat itu pada dasarnya berhubungan dengan etika muslim lahir dan batin, mengekalkan wudu, menjaga salat, istigfar, dan selawat kepada Nabi SAW.

(3) Pernyataan syekh membaiat muridnya untuk diterima sebagai murid dengan lafal tertentu dan pernyataan itu diterima pula oleh murid.

(4) Pembacaan doa oleh syekh dalam bentuk yang umum maupun yang khusus bagi murid yang baru dibaiat dengan lafal doanya masing-masing.

(5) Pemberian air minum oleh guru/syekh, yakni air putih yang di dalamnya dibacakan doa berkah untuk murid baru tersebut. Dengan selesainya meminum air tersebut berakhirlah tahapan pertama. Dengan demikian resmilah seorang murid menjadi anggota Tarekat Kadiriyah sesuai dengan baiat yang telah dilakukan syekh terhadapnya.

Tahap berikutnya adalah tahap perjalanan murid menempuh jalan Allah SWT dengan didampingi syekh. Dalam tahapan ini murid menghadapi segala godaan dan rintangan yang harus ditempuh oleh setiap peserta Tarekat Kadiriyah.

Tahapan ini memakan waktu yang cukup panjang dan menghabiskan waktu bertahun-tahun. Dalam tahapan ini murid diberi ilmu hakikat oleh syekhnya. Oleh sebab itu, ia harus selalu berbakti, menjunjung segala perintahnya, dan menjauhi segala larangannya. Ia harus yakin atas perjuangannya dan tetap mempunyai semangat yang tinggi untuk melawan hawa nafsu dan melatih dirinya.

Ia juga harus melakukan mujahadat dan riadat, sehingga memperoleh apa yang pernah diberikan Allah SWT kepada nabi serta rasul dan yang pernah dibukakan Allah SWT bagi para walinya.

Apabila tercapai maqam seperti itu, itulah saat perpisahan antara murid dan gurunya. Pada saat itu pula guru memberikan ijazah dalam bentuk al-masyikhah (gelar syekh). Bagi muridnya diberikan hak dan wewenang penuh dan status yang sama sebagai syekh Tarekat Kadiriyah, sejajar dengan syekh yang ada dalam golongan Tarekat Kadiriyah.

Pemberian ijazah ini juga ditandai dengan pembacaan talkin dan kalimat tauhid dari guru yang diperuntukkan bagi muridnya. Murid juga menyebutkan silsilah syekh mulai dari syekh yang mengajarnya sampai ke syekh pendiri Tarekat Kadiriyah dan terus kepada Jibril dan Allah SWT. Pada akhirnya syekh membacakan doa berkah sebagai penutup.

Adapun ciri khas Tarekat Kadiriyah adalah sifatnya yang luwes, tidak sempit. Hal ini dapat dilihat bahwa seorang murid yang telah sampai pada derajat syekh tidak mempunyai suatu keharusan untuk mengikuti tarekat syekh atau gurunya. Ia bebas menentukan langkah atau jalannya menuju keridaan Allah SWT. Syekh baru ini diberi kebebasan untuk tetap dalam tarekat gurunya atau melakukan modifikasi dengan tarekat lain.

Keluwesan ini berkaitan dengan dasar ajaran yang ditanamkan Syekh Abdul Qadir al-Jailani bahwa murid yang telah sampai pada derajat guru diberi kebebasan secara mandiri sebagai syekh, dan Allah SWT menjadi walinya untuk pembinaan selanjutnya. Faktor ini pula yang menyebabkan Tarekat Kadiriyah menjadi tarekat yang memiliki pengikut dalam jumlah besar di dunia Islam, terutama di Turki, Yaman, India, Suriah, dan Mesir serta negara Afrika lainnya.

Sejak zaman Syekh Abdul Qadir al-Jailani terdapat beberapa murid yang aktif menyebarkan ajarannya dalam bentuk tasawuf ke berbagai negara Islam, misalnya Ali bin Hadad (Yaman), Muhammad al-Batha’ihi (Balbek, sekarang sebuah desa di Libanon dan Suriah), Taqiyuddin Muhammad al-Yunani (Balbek), dan Muhammad bin Shamad (Mesir).

Menurut al-Wasiti (ahli fikih dari Mazhab Syafi‘i, ahli usul, kalam, dan hadis) ada dua orang putra Syekh Abdul Qadir yang aktif mengembangkan ajaran Tarekat Kadiriyah, yaitu Abdul Razaq dan Abdul Aziz (w. 602 H/1206 M). Keduanya dengan ketulusan dan keyakinan yang mendalam telah berusaha keras mengembangkan ajaran Tarekat Kadiriyah.

Oleh sebab itu, keduanya mendapat simpati dari pengikutnya, sehingga ajaran Tarekat Kadiriyah menyebar ke India, Turkistan, Maroko, Mesir, dan Arab Saudi. Dengan demikian, tarekat ini telah tersebar luas ke berbagai penjuru dunia Islam pada abad ke-12 dan ke-13.

Akan tetapi menurut J. Spencer Trimingham, penulis buku A History of Islam in West Afrika (Sejarah Islam di Afrika Barat), Tarekat Kadiriyah yang berpusat di Suriah dan Irak pada abad ke-13 belum menampakkan indikator yang menunjukkan penyebaran luas.

Pendiri utamanya adalah Syekh Abdul Qadir al-Jailani, namun pada masa itu belum ada tanda yang menunjukkan bahwa ia adalah puncak wali Tarekat Kadiriyah; bahkan pada masa itu tarekat ini belum cukup populer di Mesir. Tarekat ini populer di India setelah abad ke-15, terutama atas usaha Muhammad Ghawsh (w. 1517) yang mengklaim dirinya sebagai keturunan Syekh Abdul Qadir.

Di Turki tarekat ini dipopulerkan pada abad ke-15 oleh Ismail Rumi (1041) yang dijuluki mursyid kedua setelah Abdul Qadir. Tarekat ini juga berkembang di Indonesia oleh Syekh Muhammad Khatib Sambas pada abad ke-19 dan berkembang terus hingga sekarang.

DAFTAR PUSTAKA

Atjeh, Abu Bakar. Pengantar Ilmu Tarekat (Uraian tentang Mistik). Solo: Ramadhani, 1988.
al-Ghurabi, Ali Mustafa. Tarikh al-Firaq al-Islamiyyah. Cairo: Maktabah Muhammad Ali Shubaih, t.t.
al-Hamdani, H.S.A. Sanggahan terhadap Tasawuf dan Ahli Sufi. Bandung: al-Ma‘arif, 1972.
Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran‑Aliran, Sejarah, Analisa, dan Perbandingan. Jakarta: UI Press, 1986.
Said, Usman, et al. Pengantar Ilmu Tasawuf. Medan: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama/IAIN Sumatera Utara, 1981/1982.
Schimmel, Annemarie. Dimensi Mistik dalam Islam, terj. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.
at-Taftazani, Abu al-Wafa’ al-Ganimi. Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Bandung: Pustaka, 1985.
Trimingham, J. Spencer. The Sufi Orders in Islam. London: Oxford University Press, 1973.
Yahya, Zurkani. “Asal-Usul Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah,” Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah, Sejarah, Asal-Usul dan Perkembangannya, ed. Harun Nasution. Tasikmalaya: IAIL Mubarokiyah, 1990.
Sudirman M