Kadi adalah pejabat yang berwewenang memeriksa, mengadili, dan memberi putusan hukum berdasarkan syariat Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadis terhadap perkara yang diajukan kepadanya di pengadilan. Perkara tersebut bisa berupa tindak perdata, pidana, dan jenis pelanggaran hukum lain. Dalam Islam istilah “kadi” identik dengan istilah “hakim”.
Dalam teori fikih tidak dikenal pemisahan antara kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Kewenangan mengadili perkara adalah bagian dari tugas umum penyelenggaraan pemerintahan di bawah pimpinan imam atau kepala negara (waliyy al-amr dzu asy-syaukah) yang memegang seluruh kekuasaan negara, termasuk bidang peradilan.
Untuk melaksanakan kekuasaan, imam dapat mendelegasikan wewenang kepada para pejabat yang diangkatnya. Ia dapat mengangkat sejumlah kadi untuk menangani bidang peradilan. Namun, sewaktu-waktu ia juga dapat bertindak langsung sebagai kadi, jika hal itu dipandang perlu atau berkesempatan untuk itu.
Dalam sejarah Islam, Nabi Muhammad SAW bertindak sebagai hakim dalam menyelesaikan perkara, sebagaimana beliau juga pernah mengangkat beberapa kadi dari kalangan sahabat, antara lain Ali bin Abi Thalib dan Mu‘az bin Jabal. Demikian pula al-Khulafa’ ar-Rasyidun (empat sahabat Nabi SAW yang terdekat) bertindak sebagai kadi dan pernah mengangkat sebagian sahabat untuk menjadi kadi.
Jika dalam suatu masyarakat tidak terdapat imam atau kepala negara, maka pengangkatan kadi dilakukan oleh ahl hall wa al-‘aqd (para pemuka dan tokoh masyarakat berdasarkan kesepakatan bersama).
Ada beberapa syarat yang ditetapkan jumhur (mayoritas) fukaha (ahli fikih) untuk menjadi kadi, antara lain: beragama Islam, berakal sehat, akil balig, merdeka, adil, mujtahid (ahli ijtihad), laki-laki, bisa melihat, mendengar, berbicara, dan tidak buta huruf. Beberapa persyaratan tersebut masih diperselisihkan oleh sebagian fukaha.
Mazhab Hanafi membolehkan pengangkatan orang fasik dan bukan mujtahid menjadi kadi, sepanjang ia mengetahui syarak (hukum Islam) dan putusannya tidak menyimpang dari hukum tersebut. Hal ini sama sebagaimana mereka memperbolehkan wanita menjadi kadi dalam perkara perdata.
Bahkan menurut Ibnu Hazm dan at-Tabari, wanita boleh menjadi kadi dalam perkara pidana dan perdata. Menurut Mazhab Maliki diperbolehkan orang yang tunanetra, tunarungu, dan tunawicara untuk menjadi kadi.