Ka’bah adalah bangunan suci umat Islam di Mekah yang tiap tahun diziarahi umat Islam ketika beribadah haji, rukun Islam kelima. Secara kebahasaan, al-ka‘bah berarti “kubus”. Bangunan ini juga disebut Baitullah (Rumah Allah), Baitulharam (Rumah Suci), dan Baitulatiq (Rumah Kuno). Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Ka’bah adalah “rumah pertama yang diperuntukkan bagi manusia (untuk beribadah kepada Allah)” (QS.3:96).
Pendiri Ka’bah. Sebenarnya tak ada petunjuk, baik dari Al-Qur’an maupun hadis, yang menerangkan kapan Ka’bah itu pertama kali dibangun dan oleh siapa. Dalam Al-Qur’an hanya dikatakan bahwa Ka’bah itu diperbaiki oleh Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS.
Allah SWT berfirman, “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah beserta Ismail (seraya berdoa), ‘Ya Tuhan kami, terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui’” (QS.2:127).
Wahyu yang diturunkan pada masa lebih awal lebih menjelaskan lagi bahwa Ka’bah sudah ada pada waktu Nabi Ibrahim AS meninggalkan Nabi Ismail AS di padang pasir tanah Arab. Dalam Al-Qur’an terdapat permohonan Nabi Ibrahim AS yang berarti:
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan salat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur” (QS.14:37).
Dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an terakhir ini, Dewan Penyelenggara Penafsir Al-Qur’an Departemen Agama menjelaskan bahwa ayat itu menerangkan peristiwa ketika Nabi Ibrahim AS akan kembali ke Palestina menemui istrinya, Siti Sarah, dan meninggalkan istrinya, Siti Hajar, dan putranya, Ismail AS yang masih kecil, tanpa bekal di Mekah di tengah padang pasir tandus dan tidak didiami manusia.
Nabi Ibrahim AS adalah nabi yang diutus Allah SWT kepada bangsa Babilonia agar mereka mengikuti agama Allah SWT. Setelah menerima siksaan, halangan, dan ancaman dari Raja Namrud dan pengikutnya, Nabi Ibrahim AS meninggalkan Babilonia dan akhirnya menetap di Palestina bersama Siti Sarah dan pembantu istrinya, Siti Hajar.
Karena Sarah adalah seorang wanita yang mandul, Nabi Ibrahim AS tidak mempunyai seorang anak pun, sementara usianya terus menginjak masa tua. Atas seizin istrinya, Nabi Ibrahim AS mengawini Siti Hajar dan dari perkawinan itu lahirlah Ismail. Kasih sayang Ibrahim terhadap anaknya menimbulkan rasa iri hati Sarah. Akhirnya atas perintah Allah SWT, Nabi Ibrahim AS hijrah bersama Hajar dan Ismail ke negeri Arab.
Menurut sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, Nabi Ibrahim AS berteduh dan melepaskan lelah di bawah satu-satunya pohon kayu yang terdapat di sana. Setelah beberapa hari menemani Siti Hajar dan Ismail, Nabi Ibrahim AS pun teringat kepada Siti Sarah yang ditinggalkannya di Palestina.
Dengan demikian, atas persetujuan Hajar, ia pun kembali ke Palestina. Dalam perjalanan ke Palestina, Nabi Ibrahim AS teringat akan istri dan putranya yang ditinggalkannya itu. Ketika itulah ia memanjatkan doa seperti tersebut pada ayat di atas.
Dari ayat tersebut terlihat bahwa ketika Nabi Ibrahim AS datang ke Mekah dan kemudian meninggalkan Ismail dan Siti Hajar di sana, sudah terdapat Ka’bah sebagai rumah Allah SWT.
Akan tetapi dalam menafsirkan surah al-Baqarah (2) ayat 127 di atas, kebanyakan ahli tafsir sepakat bahwa yang mendirikan Ka’bah itu adalah Nabi Ibrahim AS dan anaknya, Nabi Ismail AS. Sejalan dengan itu para penafsir menafsirkan surah Ibrahim (14) ayat 37 dengan menyebutkan bahwa Nabi Ibrahim AS meninggalkan istrinya, Hajar, dan putranya, Ismail, yang masih kecil itu di tempat yang akan dibangun di atasnya Ka’bah.
Surah al-Baqarah (2) ayat 127 mengingatkan orang Arab bahwa yang membangun Ka’bah adalah nenek moyang mereka yang bernama Ibrahim AS dan putranya, Ismail AS. Keduanya adalah nenek moyang orang Arab dan Israel. Seluruh orang Arab mengikuti agamanya, yaitu millatu Ibrahim.
Tujuan mendirikan Ka’bah itu adalah sebagai tempat ibadah kepada Allah SWT. Bahan untuk membangun Ka’bah adalah benda biasa, sama dengan benda lain. Semua riwayat yang menerangkan Ka’bah secara berlebih-lebihan adalah riwayat yang tidak benar. Riwayat semacam itu diduga berasal dari Isra’iliyyah, yaitu berasal dari orang Yahudi dan Nasrani di Arab pada masa Nabi Muhammad SAW dan para sahabat.
Bentuk Ka’bah Bagian Luar. Sesuai dengan namanya, bentuk Ka’bah hampir menyerupai bentuk kubus, terbuat dari batu biru. Ka’bah terletak di tengah Masjidilharam. Panjang dinding muka (yang berpintu) dan dinding belakang masing-masing 12 m dan kedua belah sisinya masing-masing 10,1 m. Adapun tingginya 16 m.
Letak dinding itu membujur di sebelah barat laut, timur laut, barat daya, dan tenggara. Dengan demikian masing-masing sudutnya mengarah ke empat mata angin. Maksudnya, agar bangunan itu tidak pecah apabila dilanda angin, meskipun angin berembus dengan dahsyat.
Pintu Ka’bah terletak kira-kira 2 m di atas tanah, terdapat di sebelah timur laut, tidak persis di tengah. Untuk masuk ke Ka’bah digunakan tangga, seperti tangga mimbar. Tangganya sekarang terbuat dari kayu yang dilapisi perak yang dihadiahkan oleh salah seorang raja Islam di anak benua India. Tangga itu tidak diletakkan di sana kecuali apabila pintu itu dibuka bagi para peziarah dan ada pertemuan besar yang diadakan tidak lebih dari 15 kali dalam setahun.
Empat sudut bangunan Ka’bah itu mempunyai nama sendiri. Sudut Ka’bah dinamakan orang Arab dengan rukun sesuai dengan arahnya: sudut utara dinamakan Rukun Iraqi (jurusan Irak atau Mesopotamia); sudut selatan, Rukun Yamani (jurusan Yaman); sudut barat, Rukun Syami (jurusan Syam atau Suriah); dan sudut timur, Rukun Aswad (jurusan Hajar Aswad atau batu hitam). Pada sudut timur itu memang terletak Hajar Aswad (batu hitam) setinggi 150 cm di atas tanah.
Hajar Aswad adalah batu berbentuk telur yang berwarna hitam kemerah-merahan. Pada batu ini terdapat bintik merah dan kuning bekas pecahan. Lingkarannya sekitar 30 cm, yang sekarang diikat dengan pita perak, dan garis tengahnya sekitar 10 cm. Jarak antara Rukun Aswad dan pintu Ka’bah dinamakan Multazam, yaitu tempat yang biasa digunakan orang yang tawaf untuk berdoa.
Di pertengahan dinding sebelah barat laut bagian atas terdapat mizab (saluran air) yang dinamakan mizab rahmah. Saluran air itu dibuat Hajjaj bin Yusuf as-Saqafi (w. 714), gubernur Arabia pada masa pemerintahan Bani Umayah, agar air tidak tergenang pada atap.
Pada 959 H/1552 M, Sultan Sulaiman I (1520–1566) dari Kerajaan Usmani menggantinya dengan perak, dan pada 1021 H Sultan Ahmad I (1603–1617) menggantinya lagi dengan perak yang terlukis dengan tinta biru dengan diselangselingi oleh lukisan emas. Pada 1273 H Sultan Abdul Majid (1839–1861) mengirim saluran air yang terbuat dari emas. Saluran itulah yang masih terpasang hingga sekarang.
Di depan mizab terdapat al-hatim, sebuah bangunan melengkung yang kedua ujungnya mengarah pada sudut Ka’bah sebelah timur dan barat. Jarak antara dua ujungnya dan sudut Ka’bah sebelah timur dan barat kira-kira 2,3 m, tingginya sekitar 1 m, dan tebalnya sekitar 1,5 m. Jarak antara pertengahan lengkungan sebelah dalam dan pertengahan Ka’bah adalah 8,44 m.
Halaman yang terhampar antara al-hatim dan bangunan Ka’bah itu dinamakan al-hijir atau hijir Isma’il. Ada pendapat yang menyebutkan bahwa makam Nabi Ismail AS dan ibunya, Siti Hajar, terletak di al-hijir tersebut.
Untuk keperluan tawaf, al-hatim termasuk bangunan utama Ka’bah. Abdullah bin Zubair memasukkannya sebagai bangunan utama. Tetapi pada waktu bangunan Ka’bah itu diperbaiki al-Hajjaj, al-hijir kembali dibiarkan sebagai ruangan terbuka.
Maqam Ibrahim juga disebut-sebut sehubungan dengan Ka’bah. Artinya adalah “tempat Nabi Ibrahim”, yaitu tempat berdirinya Nabi Ibrahim AS waktu mendirikan atau membangun Ka’bah. Ini adalah nama sebuah bangunan yang amat kecil yang juga terletak di dalam Masjidilharam.
Luasnya kurang lebih lima kaki persegi, yang ditopang dengan enam tiang setinggi delapan kaki. Nama ini diperoleh sejak zaman kuno sekali dan dilimpahkan turun-temurun dari satu generasi ke generasi lain. Nama ini merupakan bukti yang kuat tentang adanya hubungan antara Nabi Ibrahim AS dan Ka’bah. Hal ini disebutkan dalam Al-Qur’an surah Ali ‘Imran (3) ayat 96.
Bentuk Ka’bah Bagian Dalam. Bangunan Ka’bah sebelah dalam dikelilingi oleh garis pinggir yang terbuat dari batu pualam dengan ketinggian kira-kira 2 m.
Di sudut utara terdapat tirai pemisah. Pada tirai itu terdapat pintu kecil yang dinamakan bab at-taubah (pintu tobat) yang berhubungan dengan tangga kecil untuk naik ke atap. Di tengah terdapat tiga buah tiang dari kayu yang di atasnya terdapat kusen yang berhubungan dengan mizab pada satu sisi dan dinding Hajar Aswad pada sisi lain. Tiang ini sudah ada sejak masa Abdullah bin Zubair (sahabat). Di depan pintu sebelah dalam terdapat mihrab. Pada tempat ini Nabi Muhammad SAW pernah salat.
Dalam Ka’bah terdapat beberapa batu tulis, yang di atasnya tertera nama orang yang pernah ikut membangun atau memugar Ka’bah. Batu tulis tersebut adalah:
(1) atas nama Yusuf bin Umar bin Ali Rasul yang memugar Ka’bah 670 H/1272 M,
(2) Sultan Muhammad IV (1648–1687) dari Dinasti Usmani yang pernah membangun dan memperbaiki bagian atas Ka’bah 1070 H/1660 M,
(3) al-Malik al-Asyraf Abu an-Nasr 826 H/1423 M,
(4) Abu Ja’far al-Mansur al-Mustansir Billah dari khalifah Fatimiyah di Mesir 629 H/1232 M,
(5) Sultan Murad IV (1623–1640) dari Dinasti Usmani yang pernah memperbaiki bangunan Ka’bah 1040 H/1630 M, dan
(6) raja Mesir yang menunjukkan bahwa ia pernah memperbaiki Ka’bah bagian dalam.
Di pintu tobat tertulis beberapa bait syair yang menunjukkan bahwa ibunda Sultan Mustafa dari Dinasti Usmani pernah memperbaiki bangunan Ka’bah 1109 H/1697 M. Oleh karena Ka’bah ini akan terus mengalami perbaikan dan pemugaran, baik karena adanya kerusakan ataupun karena lapuk dimakan usia, ada kemungkinan batu tulis seperti itu akan selalu bertambah. Ada pula kemungkinan lain bahwa batu tulis itu tidak bertambah, tetapi muncul dan berkembang bentuk lain yang menunjukkan hal yang sama.
Atap Ka’bah dan dindingnya tertutup dari sebelah dalam dengan kiswah (berarti: “pakaian”) yang terbuat dari sutra berwarna merah yang di atasnya terdapat segi empat yang bertuliskan: Allah Jalla Jalaluhu (Allah Yang Maha Agung), yang dihadiahkan Sultan Abdul Aziz (1861–1876) dari Kerajaan Usmani.
Kiswah sebelah dalam tersebut mulai dibuat oleh ibu Abbas bin Abdul Muthalib (paman Nabi SAW). Ketika anaknya, Abbas, yang masih kecil hilang, ia bernazar akan memberi kiswah sebelah dalam Ka’bah apabila Abbas kecil ditemukan kembali. Pada waktu Abbas ditemukan kembali, nazar itu dilakukannya. Pemberian kiswah sebelah dalam itu dilanjutkan oleh generasi berikutnya.
Adapun pemakaian kiswah sebelah luar sudah dilakukan sejak masa yang sangat silam. Orang pertama yang memberi kiswah adalah raja Himyar, As’ad Abu Bakr. Tindakannya ini diikuti para pelanjutnya sampai ke masa Qusay bin Kilab, salah seorang leluhur Nabi SAW. Ketika Qusay menjadi penguasa Ka’bah, pemberian kiswah menjadi tugas orang Arab dari suku Quraisy.
Nabi Muhammad SAW pernah memberi kiswah Ka’bah yang terbuat dari kain Yaman. Langkah ini diikuti Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Abdullah bin Zubair, dan Abdul Malik bin Marwan. Ketika khalifah Abbasiyah al-Mahdi naik haji, penjaga Ka’bah melaporkan kepadanya bahwa kiswah Ka’bah sudah rapuh dan dikhawatirkan akan jatuh. Sejak itu kiswah diganti setiap tahun. Kebiasaan penggantian kiswah setiap tahun itu berlangsung sampai sekarang.
Khalifah Abbasiyah memberi kiswah Ka’bah yang sangat mewah. Mereka memberi kiswah yang terbuat dari sutra hitam. Ketika Dinasti Abbasiyah sudah lemah, pemberian kiswah Ka’bah diambil alih raja Yaman, kemudian raja Mesir, dan sekarang tentu saja ditanggung oleh pemerintah Kerajaan Arab Saudi.
Kepengurusan Ka’bah. Adanya Ka’bah menjadikan Mekah pusat agama orang Arab dan pusat perdagangan. Ka’bah yang didirikan kembali oleh Nabi Ibrahim AS itu masih tetap utuh hingga dipugar oleh orang Amaliq dan kemudian Bani Jurhum. Tugas menjaga dan memelihara Ka’bah ini menjadi rebutan antarkabilah Arab, karena memberikan kehormatan dan hak istimewa.
Ketika persoalan dan urusan Ka’bah ditangani Qusay bin Kilab, pada abad ke-2 sebelum Hijriah bangunannya diruntuhkan untuk dibangun kembali. Bangunan Ka’bah kemudian diperindah dan diatapi dengan kayu, ranting, dan daun kurma.
Di sampingnya dibangun Dar an-Nadwah, yaitu sebuah bangunan tempat administrasi Ka’bah, di samping tempat musyawarah pimpinan dan para sahabatnya. Qusay kemudian membagi wilayah sekitar Ka’bah itu kepada suku-suku Quraisy. Setelah itu masing-masing suku mendirikan bangunannya di sekitar Ka’bah.
Tatkala Nabi Muhammad SAW lahir, kepengurusan Ka’bah berada di tangan keluarga yang melahirkannya. Kakeknya adalah kepala terhormat dari masyarakat agama di sekitar Ka’bah. Pada waktu Muhammad SAW masih muda, yaitu ketika berusia sekitar 35 tahun, Ka’bah mengalami kerusakan.
Tugas untuk pembangunannya dibagi-bagikan kepada kabilah-kabilah yang ada. Tukang yang membangunnya adalah orang Romawi dan Mesir. Dalam pembangunan itu, Muhammad SAW sendiri mengambil bagian dengan memikul batu di atas pundaknya.
Ketika pembangunan telah selesai, terjadi perselisihan di antara kabilah itu, yakni tentang kabilah mana yang mendapat kehormatan untuk meletakkan Hajar Aswad pada tempatnya. Perselisihan ini dapat diselesaikan dengan bijaksana oleh Muhammad SAW (al-Amin).
Kedudukan Ka’bah bagi Orang Arab dan Non-Arab. Ka’bah sebelum Islam mempunyai kedudukan tertentu di mata orang Arab. Sebagaimana juga umat Islam, mereka juga menganggap Ka’bah sebagai rumah Allah SWT.
Memang Ka’bah dibangun oleh nenek moyang bangsa Arab dengan agama yang juga diwahyukan dari Allah SWT. Akan tetapi, anehnya, bangunan Ka’bah itu juga mempunyai kedudukan tertentu yang agung di mata orang non-Arab, seperti Persia, India, Yahudi, dan Nasrani.
Menurut Muhammad Farid Wajdi, orang Hindu beranggapan bahwa roh Syiwa, salah satu dari Tri Murti, pernah menyatu dengan Hajar Aswad ketika ia dan istrinya berkunjung ke negeri Hijaz. Orang Saibah, yaitu penyembah bintang dari bangsa Persia dan Khaldea, menganggapnya sebagai salah satu dari tujuh bangunan yang agung dalam pandangan agama mereka.
Orang Persia yang bukan Saibah juga menghormati Ka’bah karena mereka menganggap bahwa roh Hormuz menetap di Ka’bah dan oleh karena itu mereka juga melakukan “haji” ke sana. Orang Yahudi menghormati Ka’bah dan mereka menyembah Allah menurut agama Nabi Ibrahim AS. Di sana terdapat patung dan berhala mereka, antara lain patung Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS yang memegang anak panah.
Orang Arab sendiri mempunyai 360 berhala, satu untuk sehari, mengelilingi patung dewa utama, Hubal. Disebutkan bahwa orang yang pertama kali menempatkan berhala di sana adalah Amr bin Luhay, seorang pembesar kabilah Khu za’ah, ketika ia menjadi penguasa Ka’bah.
Sebelum Islam, Ka’bah sudah diziarahi orang dari segala penjuru Arab. Mereka menghormati bulan ziarah (haji) itu, yaitu Zulhijah. Mereka juga menghormati bulan Rajab. Mereka menyebut bulan itu sebagai bulan Allah. Pada bulan yang juga disebut bulan haram (suci) ini, orang Arab melemparkan senjata mereka. Pada bulan suci itu tidak ada peperangan di antara mereka. Kemudian Islam menetapkan kembali kesucian bulan itu.
Kiblat. Pada 2 H/624 M, Ka’bah dijadikan Allah SWT kiblat kaum muslimin. Sebelum itu jika salat mereka menghadap ke Baitulmukadas (Baitulmakdis) di Palestina. Berkaitan dengan perubahan kiblat itu Allah SWT berfirman di dalam Al-Qur’an, “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai.
Palingkanlah mukamu ke arah Masjidilharam. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Alkitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidilharam itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan” (QS.2:144).
Pembersihan Berhala. Melalui Perjanjian Hudaibiyah, pada 7 H/629 M Rasulullah SAW bersama dua ribu orang muslim dari Madinah mengunjungi Ka’bah untuk menunaikan ibadah haji. Dua tahun setelah Perjanjian Hudaibiyah, orang Quraisy secara sepihak membatalkan perjanjian tersebut.
Setelah terjadi penyerangan terhadap Bani Khuza’ah oleh orang Quraisy, Rasulullah SAW segera bertolak dengan sepuluh ribu orang tentara untuk melawan kaum musyrik Mekah itu. Kecuali perlawanan kecil oleh kaum Ikrimah dan Safwan, Nabi Muhammad SAW tidak mengalami kesukaran apa-apa dan memasuki kota Mekah tanpa beroleh perlawanan. Nabi SAW memasuki kota itu sebagai pemenang.
Nabi SAW dan para tentaranya memasuki kota dengan tenang tanpa kekerasan; tidak ada rumah yang dirampok dan tidak ada wanita yang dicemarkan. Tetapi, patung berhala di seluruh negeri dihancurkan. Allah SWT berfirman, “…Kebenaran sudah datang dan yang batil telah lenyap. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap” (QS.17:81).
Setelah melenyapkan berhala itu, Nabi Muhammad SAW berkhotbah menjanjikan ampunan Tuhan terhadap kaum kafir Quraisy. Setelah khotbah disampaikan, mereka datang berbondong-bondong dan memeluk agama Islam. Ka’bah bersih dari berhala dan tradisi serta kebiasaan orang musyrik, orang yang menyekutukan Tuhan.
Nabi Muhammad SAW telah membersihkan rumah Allah SWT itu dari kemusyrikan untuk beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sejak itu, Nabi Muhammad SAW menjadi penguasa Mekah dan Madinah, dan dengan demikian juga menjadi penguasa Ka’bah.
Pemugaran Ka’bah. Kecuali hilangnya berhala dari Ka’bah, bangunan Ka’bah tetap seperti yang dibangun kaum Quraisy sebelumnya sampai tiba zaman Abdullah bin Zubair. Pada masa itu Ka’bah mengalami kerusakan berat akibat serbuan bala tentara Bani Umayah yang telah menyerang kota Mekah. Abdullah bin Zubair bukan saja mengambil keputusan untuk memperbaiki Ka’bah, melainkan juga membangun Ka’bah itu. Al-hijir dijadikannya bagian dari bangunan utama.
Setelah kekuasaan Abdullah bin Zubair jatuh, al-Hajjaj membangun kembali Ka’bah di atas fondasi bangunan yang ditentukan kaum Quraisy. Hingga sekarang bangunan Ka’bah tetap berdiri di atas fondasi itu. Setiap kali Ka’bah mengalami pemugaran atau pembangunan, ulama selalu mempertahankan bentuk lama itu.
Pemugaran itu misalnya terjadi ketika Sultan Sulaiman I dari Kerajaan Usmani naik takhta. Ia mengganti atap Ka’bah. Sultan Ahmad I yang naik takhta 1021 H/1612 M juga pernah memugarnya. Pada 1039 H/1629 M terjadi kerusakan berat pada dinding utara, timur, dan barat. Untuk itu Sultan Murad IV memerintahkan untuk memperbaikinya.
Peristiwa tragis terhadap Ka’bah terjadi pada 317 H/929 M. Pada waktu itu Ka’bah memang dapat dipertahankan dari serangan pemberontak Qaramitah (kelompok Syiah radikal), tetapi Hajar Aswad berhasil mereka bawa lari. Setelah hilang selama sekitar 20 tahun, Hajar Aswad itu kembali dikirimkan ke Mekah dan diletakkan pada tempat semula.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Maulana Muhammad. Islamologi (Dinul Islam). Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 1977.
Hassan, Hassan Ibrahim. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Kota Kembang, 1989.
“Jumat Berdarah sebelum Arafah,” Panji Masyarakat, No. 548/XXIX, 16–25 Zulhijjah 1407 H/1986 M.
Syalabi, Ahmad. Mausu‘ah at-TarIkh al-Islami wa al-hadarah al-Islamiyyah. Cairo: an-Nahdah al-Misriyah, 1977.
Badri Yatim