Jual Beli

(Ar.: al-bai‘)

Secara etimologis, al-bai‘ berarti “mengganti atau menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain”. Dalam ilmu fikih, jual beli didefinisikan sebagai “tukar-menukar harta dengan syarat dan rukun tertentu”. Sebagai sarana tolong-menolong antara sesama manusia, jual beli dilandaskan pada Al-Qur’an dan sunah. Mengenai hal ini, ulama fikih tidak banyak berbeda pendapat.

Sebagian ulama Mazhab Hanafi mengatakan, jual beli adalah saling menukar harta dengan cara tertentu. Ulama Mazhab Hanafi lainnya mengatakan­ bahwa jual beli adalah tukar-menukar sesuatu yang diingini, sepadan, dan bermanfaat dengan cara tertentu. Yang dimaksud dengan cara tertentu atau khusus adalah melalui ijab dan kabul atau dengan cara saling memberikan barang dan uang antara penjual dan pembeli.

Barang yang diperjualbelikan itu harus bermanfaat bagi manusia. Apabila jual beli barang yang tidak bermanfaat bagi manusia tetap berlangsung, jual beli itu tidak sah menurut hukum syariat.

Adapun menurut ulama Mazhab Syafi‘i dan Mazhab Hanbali, jual beli adalah saling menukar harta dalam bentuk pemindahan pemilikan. Dalam hal ini, mereka memberi penekanan pada kata “pemilikan”, karena ada juga tukar-menukar harta yang sifatnya tidak harus dimiliki, seperti sewa-menyewa (ijarah).

Jual beli sebagai sarana untuk saling memenuhi kebutuhan manusia telah ada sejak manusia lahir, namun teknis pelaksanaannya berbeda. Jual beli yang paling sederhana dilangsungkan dengan menukarkan barang dengan barang lainnya, karena mereka belum mengenal nilai tukar. Jual beli seperti ini disebut barter atau al-muqayadah.

Setelah nilai tukar (uang) dikenal, jual beli lebih banyak dilakukan berdasarkan nilai tukar ini. Pada zaman Nabi SAW dinar (mata uang emas lama) dan dirham (mata uang perak) dipakai sebagai alat nilai tukar.

Dasar hukum jual beli dalam Islam adalah Al-Qur’an dan hadis. Allah SWT berfirman, antara lain, dalam surah al-Baqarah (2) ayat 198 dan 275 yang berarti: “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu…” dan “…Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba….” Demikian pula surah an-Nisa’ (4) ayat 29 yang berarti:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.”

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Rifa’ah bin Rafi’ al-Bazzar dan al-Hakim ditegaskan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda ketika ditanya salah seorang sahabat mengenai pekerjaan yang paling baik. Rasulullah SAW menjawab, “Usaha tangan manusia sendiri, serta setiap jual beli yang diberkati.”

Dengan kata lain, jual beli dilakukan secara jujur, tanpa diiringi kecurangan. Dalam hadis yang diriwayatkan al-Bai-haki, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dari Abi Sa‘id al-Khudri, Rasulullah SAW juga me­nyatakan, “Jual beli itu didasarkan kepada suka sama suka.” Begitu pula dalam hadis riwayat at-Tirmizi, Rasulullah SAW bersabda, “Pedagang yang jujur dan tepercaya itu sejajar (tempatnya di surga) dengan para nabi, Sidiin, dan syuhada.”

Pada dasarnya hukum jual beli adalah mubah (boleh) jika dilakukan sesuai dengan tuntunan syariat Islam. Hal ini terlihat jelas dari firman Allah SWT dan sunah Rasulullah SAW di atas. Akan tetapi, ada beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi agar sebuah transaksi jual beli dikatakan sah oleh syarak (hukum Islam).

Menurut ulama Mazhab Hanafi, rukun jual beli ada dua, yaitu ijab dan kabul. Akan tetapi jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa rukun jual beli itu ada empat, yaitu penjual dan pembeli, ijab dan kabul, barang yang dibeli, dan nilai tukar.

Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an dan hadis di atas, unsur utama jual beli adalah kerelaan kedua belah pihak dengan mengucapkan ijab dan kabul. Sehubungan dengan itu, ulama fikih juga membahas bagaimana jika ijab dan kabul itu tidak diucapkan, tetapi pembeli cukup bersikap mengambil barang serta membayarnya dan penjual menerima uang, tanpa ucapan apa pun; jual beli seperti ini disebut bai‘ al-mu‘athah. Dalam kasus seperti ini terjadi perbedaan pendapat di antara mereka.

Ulama Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, dan Mazhab Hanbali berpendapat bahwa jual beli seperti ini hukumnya boleh apabila hal tersebut sudah menjadi kebiasaan suatu masyarakat di negeri yang bersangkutan; cara tersebut telah menunjukkan unsur rida dari kedua belah pihak.

Namun, ulama Mazhab Syafi‘i berpendapat, transaksi jual beli harus dilakukan dengan ucapan yang jelas atau sindiran melalui kalimat ijab dan kabul. Karena itu, jual beli seperti kasus di atas (bai‘ al-mu‘thah) hukumnya tidak sah, baik dalam partai besar maupun partai kecil. Pendapat mereka didasarkan pada kerelaan kedua pihak; kerelaan adalah hal yang amat tersembunyi di dalam hati, karenanya perlu diungkapkan dengan kata-kata.

Namun sebagian ulama Mazhab Syafi‘i yang muncul belakangan, seperti Imam an-Nawawi (muhadis/ahli hadis besar pensyarah kitab Sahih Muslim) dan al-Bugawi (mufasir yang dikenal dengan kitabnya, Tafsir al-Bugawi), menyatakan bahwa jual beli al-mu‘athah tersebut sah apabila hal tersebut sudah menjadi kebiasaan suatu masyarakat di daerah mereka.

Ada juga ulama Mazhab Syafi‘i yang lain, seperti Ibnu Syuraij dan ar-Ruyani, yang membedakan partai besar dan partai kecil. Jika yang diperjualbelikan tersebut dalam partai besar, jual beli al-mu‘atah tidak sah; tetapi jika barang tersebut dalam partai kecil, jual beli al-mu‘atah hukumnya sah.

Syarat jual beli dapat dilihat dari empat sisi, yaitu dari sisi akad itu diakui berlaku menurut syarak,­ sahnya akad tersebut, pelaksanaan akad jual beli, dan kekuatan ikatan akad itu sendiri. Dari sisi akad, ada empat syarat yang harus dipenuhi.

1) Orang yang melakukan akad (penjual dan pembeli) disyaratkan telah berakal (anak kecil dan orang gila akadnya tidak sah) dan berbe­da, artinya seseorang tidak dapat bertindak dalam waktu yang sama se­bagai penjual dan pembeli sekaligus terhadap akad dan barang yang sama, kecuali hakim.

2) Akad itu sendiri sesuai antara kabul dan ijab.

3) Tempat melakukan akad disyaratkan harus pada satu tempat atau satu waktu pembicaraan,­ karena di zaman sekarang, tidak sedikit transaksi jual beli yang dilakukan melalui­ telepon. Sehubungan dengan­ hal ini, di antara ulama berbeda penda­pat , apakah pembicaraan dalam jual beli tersebut masih dikatakan satu majelis jika pembica­raan­ telah diselingi dengan pembicaraan­ lain sedang­ tempatnya masih satu atau terpisah.

Menu­rut ulama Mazhab Maliki, tidak ada salahnya pembicaraan jual beli tersebut terputus, asalkan masih dalam persoalan jual beli. Akan­ tetapi­ ulama Mazhab Syafi‘i dan Hanbali berpendapat bahwa antara ijab dan kabul tidak dapat dipisahkan­ dalam waktu yang lama, yang mengindika­sikan­ jual beli itu tidak jadi.

4) Barang yang diakad­kan:­ a) barang itu ada, atau tidak ada di tempat, tetapi pihak penjual menyatakan kesanggup­annya­ untuk mengadakannya; b) dapat dimanfaat­kan­ dan bermanfaat­ bagi manusia; c) milik sese­orang;­ dan d) barang tersebut dapat diserahkan pada saat akad berlangsung atau pada waktu lain jika ditentukan demikian­ ketika transaksi berlangsung.

Dari sisi sahnya akad tersebut, jual beli itu harus terhin­dar dari cacat. Misalnya, kriteria barang tidak­ diketahui, baik jenis, kualitas, dan kuantitas­nya; harga tidak jelas; adanya unsur paksaan;­ dan jual beli itu mengandung tipuan,­ mudarat serta adanya syarat yang membuat­nya­ rusak.

Dari sisi pelaksanaan jual beli, orang yang berakad­ mempunyai kekuasaan untuk melakukan jual beli. Misalnya, barang itu milik sendiri (bukan milik orang lain atau tersangkut hak orang lain dalam barang itu). Akad jual beli tidak dapat dilaksana­kan apabila­ orang yang berakad tidak mempunyai kekuasaan langsung, misalnya­ seseorang bertindak mewakili orang lain dalam jual beli.

Dalam hal ini, orang tersebut harus mendapatkan persetujuan­ dahulu­ dari orang yang diwakilinya dan setelah itu jual beli dapat dilaksanakan. Jual beli seperti ini disebut bai‘ fudhuli.

Dari sisi kekuatan ikatan akad, ulama berpendapat­ bahwa jual beli tersebut harus terhindar dari segala macam khiar (hak pilih untuk meneruskan­ atau membatalkan jual beli) dengan segala bentuknya,­ seperti khiar aib, khiar majelis, dan khiar syarat. Apabila semua syarat di atas terpenuhi,­ secara hukum jual beli itu dianggap sah dan baik penjual maupun pembeli tidak boleh lagi membatalkan­ transaksi tersebut.

Saman dan Si‘r.

Nilai tukar suatu barang yang dibeli; di zaman sekarang dikenal dengan uang. Dalam fikih dibedakan antara si‘r dan Tsaman sebagai­ nilai tukar. Saman adalah harga pasar yang berlaku di tengah-tengah masyarakat secara aktual. Karena tidak ada kesepakatan di antara para pedagang,­ harga jual suatu barang dapat berbeda dan bervariasi.

Misalnya, harga sebuah buku tulis di toko A Rp2.000,00 sedangkan di toko B Rp2.500,00. Dengan memperhitungkan keuntungan yang kadang-kadang bisa tinggi dan bisa rendah, peda­gang dan pembeli dapat saling menawar. Adapun si‘r adalah modal barang yang seharusnya diterima para pedagang.

Contohnya, harga sebuah buku­ tulis jika diperjualbelikan antarpedagang­ sebesar Rp1.500,00. Di zaman sekarang, si‘r itu adalah harga dari pabrik yang berlaku sama di berbagai daerah.

Daman (Ar.: jaminan atau tanggungan). Ganti­ rugi; dapat berbentuk barang dan juga uang. Daman menjadi bagian terpenting dalam jual beli agar dalam­ transaksi itu tidak terjadi pertengkaran dan perselisihan sesuai dengan akad yang telah disetujui­. Segala bentuk yang merugikan kedua belah­ pihak,­ apakah itu terjadi sebelum atau sesudah akad, dalam fikih harus ditanggung pihak yang merugikan.

Bentuk Jual beli.

Dilihat dari segi sah atau tidak sahnya, ulama membagi jual beli ke dalam tiga bentuk, yaitu jual beli yang sahih, jual beli yang batil, dan jual beli yang fasid (rusak).

Jual beli dikatakan sahih apabila jual beli itu sendiri memang disyariatkan, memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan; bukan milik orang lain; dan tidak ada hak khiar lagi. Misalnya, seseorang membeli buku ensiklopedi. Seluruh rukun dan dan syarat jual beli telah terpenuhi.

Buku itu telah diperiksa pembeli dan tidak ada cacat, tidak ada yang rusak. Tidak terjadi manipulasi harga dan harga buku itu pun telah diserahkan, serta tidak ada lagi hak khiar dalam jual beli tersebut. Jual beli seperti ini hukumnya sahih dan mengikat kedua belah pihak.

Jual beli dikatakan batil apabila salah satu atau seluruh rukunnya tidak terpenuhi, atau jual beli itu pada dasar dan sifatnya tidak disyariatkan. Misal­nya,­ jual beli yang dilakukan anak-anak atau orang gila, barang-barang yang diharamkan­ untuk dijual (seperti bangkai, darah, babi, dan khamar).

Ada beberapa bentuk jual beli yang batil.

1) Jual beli sesuatu yang tidak ada. Ulama fikih sepakat menyatakan jual beli seperti ini tidak sah atau batil. Misalnya, memperjualbelikan buah-buahan yang putiknya pun belum muncul di pohonnya atau anak sapi belum ada, sekalipun diperut ibunya ada (HR. al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ahmad bin Hanbal, an-Nasa’i, dan at-Tirmizi).

2) Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan kepada penjual, seperti burung yang terbang di udara.

3) Jual beli yang mengandung­ unsur penipuan atau unsur spekulatif yang sangat tinggi, seperti jual beli al-hissah (jual beli dengan lemparan batu; yang intinya jika batu dilemparkan­ ke barang-barang tersebut, maka yang kena yang dijual) dan jual beli mulamasah (barang yang terpegang oleh pembeli adalah barang yang dijual).

4) Jual beli benda najis, seperti babi, khamar, bangkai, dan darah.

5) Jual beli ‘urbun, jual beli yang dilakukan melalui perjanjian. Misalnya, seseorang memberikan harga sebuah barang ke­pada pembeli dengan syarat apabila ia tertarik, jual beli sah, tetapi jika jual beli tidak jadi, harga yang telah diberikan pada penjual itu menjadi hibah baginya. 6) Jual beli air sungai, air danau, air laut, dan air yang tidak boleh dimiliki seseorang. Air adalah hak umat manusia dan tidak boleh diperjualbelikan­.

Adapun jual beli dikatakan fasid (rusak) apabila jual beli itu pada dasarnya dibolehkan, tetapi sifatnya­ tidak memenuhi syarat. Misalnya, menjual ru­mah atau mobil kepada orang lain tanpa menunjukkan­ identitas yang jelas (rumah atau mobil yang mana), sehingga menimbulkan pertengkaran.

Apabila­ fasid jual beli tersebut terkait dengan barangnya (seperti babi, khamar, darah, dan bangkai), hukumnya batal. Jika fasidnya itu menyang­kut harga, dapat diperbaiki sehingga jual beli itu menjadi sah, kecuali yang dijadikan harga itu adalah benda yang diharamkan di atas.

Jual beli yang fasid ada beberapa bentuk.

1) Jual beli majhul, jual beli barang yang tidak diketahui secara umum.

2) Jual beli yang tergantung pada suatu syarat, seperti ucapan penjual kepada pembeli, “Saya jual rumah saya ini pada engkau jika si A menjual rumahnya pada saya”.

3) Jual beli barang yang gaib, yang tidak dapat dihadirkan pada saat jual beli sehingga tidak dapat dilihat oleh pembeli. Dalam hal ini, ulama Mazhab Maliki memboleh­kannya­ jika sifatnya disebutkan, dengan syarat sifat tersebut­ tidak akan berubah sampai barang itu diserahkan.

Ulama Mazhab Hanafi mengatakan­ bahwa jual beli seperti ini sah apabila pihak pembeli punya hak khiar ru’yah (penglihatan)­. Namun ulama Mazhab Syafi‘i menyatakan, jual beli seperti ini batal secara mutlak.

4) Jual beli orang buta. Ulama Mazhab Maliki, Hanafi, dan Hanbali menyatakan­ bahwa jual beli ini baru sah apabila orang buta tersebut­ memiliki hak khiar. Bahkan ulama Mazhab Syafi‘i tidak membolehkan jual beli seperti ini kecuali jika barang yang dibeli tersebut telah dilihatnya sebe­lum­ buta.

5) Jual beli dengan harga yang diharamkan­. Misalnya, menjadikan barang-barang yang diharamkan (seperti babi, khamar, darah, dan bangkai)­ sebagai­ harga.

6) Jual beli ajal. Misal­nya, seseo-rang menjual barangnya dengan harga Rp1.000.000,00 yang pembayarannya ditunda selama setahun. Setelah penyerahan barang kepada pembeli, penjual atau pemilik barang pertama membeli kembali­ barang tersebut dengan harga yang lebih rendah, misalnya Rp500.000,00 sehingga pembeli pertama tetap berutang sebesar Rp500.000,00.

Jual beli seperti ini dikatakan fasid karena menyerupai riba atau menghindarkan diri dari riba dengan ja­lan yang tidak terpuji. Pada hakikatnya, jual beli seperti ini tidak terlepas dari praktek utang piutang dengan riba.

7) Jual beli anggur dan buah-buahan lain untuk tujuan pembuatan khamar apabila diketahui­ yang membeli tersebut adalah produsen khamar. Ulama Mazhab Hanafi dan Syafi‘i beranggapan bahwa akadnya sah, tetapi hukumnya­ makruh; sama seperti orang Islam menjual senjata kepada musuh Islam. Akan tetapi ulama Mazhab Maliki dan Hanbali menganggap jual beli ini batal sama sekali.

8) Jual beli yang diiringi syarat­. Misalnya:­ jika dibeli kontan, harganya sebesar ini; jika kredit, harganya lain lagi. Jual beli ini dikatakan­ fasid berdasarkan hadis yang diriwayat­kan Ashab as-Sunan (para penyusun kitab Sunan) dari Abu Hurairah dan Amr bin Syu’aib bahwa Nabi SAW melarang satu akad dan dua syarat­ dalam satu bentuk jual beli. Tujuannya adalah supaya tidak terjadi perselisihan di kemudian hari dan tidak ada pihak yang diru­ gikan.

9) Jual beli sebagian barang yang sama sekali tidak dapat di­pisahkan dari kesatuannya. Misalnya, menjual te­linga kambing, lengan baju, dan sebelah sepatu. Jual beli fasid ini bisa berkembang­ sesuai dengan kriteria yang telah ditetap­­kan para ulama.

10) Jual beli buah-buahan atau padi­-padian yang belum sempurna dipanen.

Dalam pembahasan jumhur (mayoritas) ulama, jual beli yang batil tidak ada bedanya dengan jual beli yang fasid; hukumnya sama-sama tidak sah. Akan tetapi ulama Mazhab Hanafi membedakan kedua bentuk jual beli tersebut. Jual beli yang fasid dapat menjadi sah apabila kefasidannya diperbaiki. Adapun jual beli yang batil tidak dapat diperbaiki­ agar bisa dianggap sah.

Ada beberapa kriteria yang membuat jual beli itu batal.

1) Terkait dengan kecakapan bertindak hukum kedua belah pihak (pembeli dan penjual). Jual beli orang yang tidak atau belum cakap bertindak hukum dikatakan tidak sah.

2) Terkait dengan sigah (lafal) jual beli itu sendiri, yang harus dibarengi dengan kerelaan kedua­ belah pihak, dan adanya persesuaian antara ijab dan kabul.

3) Terkait dengan barang yang diper­jual­belikan,­ seperti jelas kriterianya, milik sen­diri, dan bukan barang najis, serta harga yang dibayarkan­

4) Terkait dengan sifat/syarat/larangan sya­rak, rukun, dan syarat yang ditentukan.

Oleh karena unsur utama jual beli adalah ke­relaan antara penjual dan pembeli, syariat Islam juga memberikan hak khiar bagi kedua pihak agar tidak timbul perselisihan di kemudian hari dan tidak­ ada pihak yang dirugikan.

Daftar Pustaka

Ibnu Qudamah. al-Mugni. Riyadh: Maktabah ar-Riyadh al-Hadisah, 1980.
Musa, Muhammad Yusuf. al-Amwal wa Nazariyyah al-‘Aqd. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1977.
an-Nawawi, Abu Zakaria Yahya Muhiddin bin Syarf ad-Dimasqi. Majmu‘ Syarh al-Muhadzdzab. Cairo: al-Babi al-Halabi, 1962.
asy-Syaukani. Nail al-Authar. Beirut: Dar al-Fikr, 1978.
az-Zarqa, Ahmad Mustafa. ‘Aqd al-Bai‘. Beirut: Dar al-Fikr, 1967.
az-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Beirut: Dar al-Fikr, 1984.

Nasrun Haroen