Jong Islamieten Bond adalah sebuah perkumpulan pemuda Islam yang didirikan di Jakarta 1 Januari 1925 oleh pemuda pelajar ketika itu. Pembentukannya bertujuan untuk mengadakan kursus agama Islam dan mengikat persaudaraan pelajar Islam dari berbagai daerah Nusantara. Sebelumnya mereka adalah anggota Jong Java (1915), Jong Sumatra (1917), dan lain-lain.
Politik etis pemerintah kolonial Hindia Belanda membuka kesempatan bagi para pemuda bumiputra, walaupun terbatas untuk kalangan tertentu, untuk belajar di sekolah yang didirikan Belanda. Di Batavia (kini Jakarta), sebagai pusat pemerintahan kolonial, terdapat sekolah lanjutan yang muridnya terdiri atas para pemuda bumiputra yang berasal dari berbagai daerah di wilayah Nusantara. Para pelajar ini, di samping pelajar bumiputra yang belajar di Belanda, kemudian menjadi pelopor pergerakan nasional.
Dari kalangan anak-anak Jong Java timbul pemikiran untuk menyatukan para pemuda terpelajar dalam berbagai organisasi kepemudaan yang bersifat kedaerahan karena rasa kedaerahan di antara mereka sudah menjadi amat kuat.
Ketika itu belum dikenal secara umum kata “Indonesia” dan bahasa yang mereka pergunakan adalah bahasa Belanda. Oleh karena itu, Kasman Singodimedjo (1908–1982), Musa Machfuedi, dan Suhodo –ketiganya dari Jong Java– melihat bahwa wadah yang dapat menyatukan mereka adalah “Islam”.
Ketika terpilih menjadi ketua umum dalam Kongres VI Jong Java (1923), Raden Samsurijal merasa perlu diadakannya kursus agama Islam di kalangan para pelajar MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs [sejenis SLTP]) dan AMS (Algemene Middelbare School [sejenis SLTA]), karena mereka tidak diberi kesempatan belajar agama dan guru mereka bersikap sinis terhadap Islam.
Pada Kongres VII Jong Java (Desember 1924), Samsurijal melontarkan gagasan untuk menyelenggarakan kursus agama Islam di kalangan pemuda Islam dan tidak keberatan dengan kursus agama lain, Kristen dan Katolik, yang selama itu sudah berjalan. Ada yang setuju atas gagasan ini dan ada pula yang tidak setuju dengan alasan bahwa Jong Java bukan organisasi agama; bahkan ada yang lebih ekstrem lagi mengatakan bahwa agama tidak perlu.
Untuk mengambil keputusan diadakan pemungutan suara; jumlah suara yang setuju dan yang tidak setuju ternyata sama. Akhirnya Samsurijal mengambil keputusan untuk menyelenggarakan kursus agama Islam, namun hal tersebut tidak diterima kongres. Kursus agama Islam pun tidak pernah diadakan di Jong Java.
Kegagalan Samsurijal membawa hikmah besar. Menurut Mohamad Roem (1908–1983), tokoh pergerakan nasional, jika usul Samsurijal itu diterima, mungkin tidak akan ada organisasi pemuda terpelajar Islam ketika itu. Pada kesempatan pertemuan dengan sesama teman seide, di luar forum Kon-gres VII Jong Java, Samsurijal mengemukakan niatnya untuk membentuk Jong Islamieten Bond.
Ia mengedarkan formulir keanggotaan. Dengan tidak diduga, sebanyak 200 pemuda Islam, yang terdiri atas pelajar MULO, AMS, maupun para alumninya yang sudah bekerja, mendaftarkan diri menjadi anggota. Ketika diproklamasikan berdirinya Jong Islamieten Bond 1 Januari 1925, di Jakarta tercatat 200 orang anggota.
Asas dan tujuan JIB, sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar (statuten) pertamanya adalah:
(1) Besturdering van de Islam en bevordering van de nalaving van zijn voorschrijften (mempelajari agama Islam dan menganjurkan agar ajaannya diamalkan);
(2) Het opwekken van sympathie voor de Islam en zijn beleiders, naast positie van draagzaamheid voor andersdenkenden (menumbuhkan simpati umat Islam dan pengikutnya, di samping toleransi yang positif terhadap orang yang berlainan agamanya).
JIB bukanlah organisasi politik. Hal ini terlihat dari pidato Samsurijal, yang terpilih sebagai ketua umum, pada Kongres JIB I 1925 di Yogyakarta yang mengatakan,
“Pada kursus-kursus, ceramah-ceramah, dan debat-debat yang kami selenggarakan, akan diusahakan sejauh mungkin meningkatkan pengertian tentang politik terutama dari sudut Islam. Tetapi JIB tidak akan ikut aksi politik. Pun anggota kami tidak akan terjun dalam politik atas nama organisasi. Tetapi JIB tidak melarang para anggotanya secara sah dapat ikut dalam gelanggang politik, dengan harapan mereka ini dapat berbuat atau menonjol sejak masa mudanya dan dapat berperan pada masanya ketika terjun betul-betul dalam arena politik.”
Susunan Pengurus Pusat JIB pertama adalah: Raden Samsurijal (ketua); Wiwoho Purbohadidjojo (wakil ketua); Syahbuddin Latif (sekretaris I); Hoesin (sekretaris II), Soetijono (bendahara I); dan So’eb (bendahara II).
Komisaris-komisaris adalah Moegni, Thoib, Soewardi, Syamsuddin, Soetan Palin-dih, Kasman Singodimedjo, Mohammad Koesban, Soegeng, dan Haji Hasim. Pengurus Pusat tersebut mula-mula baru memiliki empat cabang: Jakarta, Yogyakarta, Solo, dan Madiun. Kedudukan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) tersebut berada di Jakarta.
Kemudian diadakan kampanye keanggotaan JIB, dengan mengutus Syahbuddin Latif ke Yogyakarta dan Madiun, Mohammad Koesban ke Solo, Kasman Singodimedjo ke Purworejo dan Kutorejo sementara Samsurijal dan penasihat JIB, Haji Agus Salim, ke Bandung untuk membentuk cabang JIB di sana. Sampai Desember 1925 JIB telah memiliki 7 cabang dengan 1.004 anggota.
Pada Juni 1925, kedudukan DPP JIB dipindahkan ke Yogyakarta. Karena ada di antara anggota DPP yang tidak bisa ikut pindah ke Yogyakarta, komposisi personel DPP berubah sebagai berikut: Raden Samsurijal (ketua); Wiwoho Poerbohadidjojo (wakil ketua); jabatan sekretaris dirangkap oleh tim ketua; P. Hadisuwignjo (bendahara); Mohammad Koesban (seksi usaha); Syahbuddin Latif, Kasman Singodimedjo, Soegeng, Haji Hasim, Pospo Soekardjo, dan Mohammad Sopari (anggota).
Pada Kongres JIB II 1926 di Solo terpilih Wiwoho menjadi ketua menggantikan Samsurijal. Pada Kongres JIB 1929 di Jakarta, Kasman Singodimedjo terpilih menjadi ketua menggantikan Wiwoho, dan sekaligus memindahkan kedudukan DPP ke Jakarta.
Pada Kongres JIB 1935 di Jakarta, terpilih M. Arif Aini sebagai ketua dan kedudukan DPP dipindahkan ke Semarang. Kedudukan DPP di Semarang bertahan sampai dibubarkannya JIB oleh tentara Jepang pada 1942.
Untuk menyebarkan ide dan pikirannya, JIB menerbitkan majalah an-Nur (Het Licht) yang berbahasa Belanda dan merupakan majalah cendekiawan Islam pertama di Indonesia, yang terbit sejak Maret 1925. Majalah ini bertahan sampai dibubarkannya JIB itu sendiri.
JIB juga membentuk Organisasi Pandu Indonesia (National Indonesische Padvinderij, disingkat Natipij), organisasi pandu pertama yang memakai nama Indonesia, suatu istilah yang belum lazim dipakai ketika itu. Tokoh keluaran Natipij ini antara lain Kasman Singodimedjo dan Mohamad Roem.
Berkat pendidikan di Natipij, Kasman pada masa Jepang diangkat sebagai daidanco (komandan batalion) Pembela Tanah Air (Peta). Pada Kongres VII JIB di Malang, Natipij berkeinginan memisahkan diri dari JIB karena Mohamad Roem (ketua Natipij) dan Azran (sekretarisnya) ketika itu memandang JIB sudah tidak mampu lagi membina Natipij, karena kepemimpinannya sudah mulai lemah.
Di setiap cabang, JIB mengadakan kursus agama Islam. Pada Oktober 1931 JIB membangun sekolah HIS (Hollandsch Inlandsche School [sejenis SD untuk anak bumiputra golongan atas]) di Tegal dan pada November 1931 dibangun lagi HIS di Tanah Tinggi Batavia.
Dalam Kongres Pemuda II Juni 1928, unsur JIB duduk sebagai salah satu anggota panitia kongres, diwakili oleh Djohan Muhammad Tjaja dengan jabatan Pembantu I. Dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, Djohan Muhammad Tjaja pula yang menandatangani naskah Sumpah Pemuda atas nama JIB.
Daftar Pustaka
Noer, Deliar. Masalah Ulama Intelektual dan Intelektual Ulama. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
–––––––. The Modernist Muslim Movement in Indonesia, atau Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–1940 terj. Jakarta: LP3ES, 1980.
–––––––. Partai Islam di Pentas Nasional. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987.
Roem, Mohamad. Bunga Rampai dari Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
Saidi, Ridwan. Cendekiawan Islam Zaman Belanda: Studi Pergerakan Intelektual JIB dan SIS. Jakarta: Yayasan Piranti Ilmu, 1990.
Shadiq, Fajar. Mengenang Prof. Dr. R.H. Kasman Singodimejo. Jakarta: t.p., 1982.
Singodimedjo, Kasman. Hidup itu Berjuang. Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
Atjeng Achmad Kusaeri