Kesultanan Johor terletak di ujung selatan Semenanjung Malaka, sekarang menjadi salah satu negara bagian Malaysia. Kesultanan ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan Malaka sehingga istananya mirip dengan istana Kerajaan Malaka. Puncak kejayaan Kesultanan Johor berlangsung pada abad ke-18.
Negeri tempat berdirinya Kesultanan Johor tampaknya sudah didiami orang paling tidak sejak abad ke-11. Sebelum berdiri Kesultanan Johor pada awal abad ke-16, negeri Johor dikenal dalam sejarah dengan beberapa nama, sesuai dengan julukan yang diberikan para penguasa (kerajaan) yang menguasainya, antara lain Hujung Medini (Majapahit), Wura Wuri (Siam Thai), Sayong (Tumasik atau Singapura), dan Biawak Busuk atau Kota Busuk (Malaka). Nama lain yang melekat pada negeri Johor adalah Hujung Tanah, Seluang, Muar, Batu Pahat, Kuala Muar, Pulau Tinggi, Pulau Pemanggil, dan Pulau Batu.
Sejarah Kesultanan Johor tidak bisa dilepaskan dari Kerajaan Malaka, karena Kesultanan Johor merupakan pelanjut Kerajaan Malaka. Sultan pertama Kesultanan Johor adalah raja terakhir Kerajaan Malaka, yaitu Sultan Mahmud Syah I (berkuasa sebagai raja Malaka 1488–1511 dan sebagai sultan Johor 1511–1528).
Sejarah Kesultanan Johor dapat dibagi menjadi beberapa periode sebagai berikut.
Periode Konsolidasi (1511–1722). Pada tahun-tahun pertama, setelah Malaka jatuh ke tangan bangsa Portugis, Sultan Mahmud Syah I terus berusaha mengembalikan kekuasaan atas Malaka ke tangannya. Ia berusaha menyusun angkatan perang untuk menyerbu Malaka dan membebaskannya dari kekuasaan bangsa Portugis.
Akan tetapi karena persenjataannya lebih maju, Portugis sering kali berhasil mematahkan serangan Sultan Mahmud Syah I. Ketika bangsa Portugis di bawah pimpinan Afonso de Albuquerque menyerang Malaka 15 Agustus 1511, Sultan mengasingkan diri ke Bertam di tepi Sungai Malaka. Pada bulan berikutnya, Bertam juga diserang oleh bangsa Portugis dan Sultan terpaksa mundur lagi ke Sungai Muar (daerah Johor sekarang), di tempat yang bernama Pagoh.
Di sinilah Sultan yang tidak pernah putus asa dalam berusaha mengembalikan kejayaan Malaka dan melestarikan kesultanannya itu kemudian menetap. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa Kesultanan Johor berdiri sejak jatuhnya Malaka ke tangan bangsa Portugis pada 1511.
Namun dalam usaha membina kesultanannya, Sultan Mahmud Syah I kerap kali mendapat tekanan dari bangsa Portugis. Serangan bangsa Portugis sering memaksanya berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain dan dari satu kesultanan ke kesultanan lain untuk meminta perlindungan. Dahulu ketika Kerajaan Malaka masih berjaya, banyak kesultanan yang menjadi vasal (daerah taklukan) kerajaan itu.
Di akhir tahun itu juga, misalnya, bangsa Portugis menyerang Pagoh dan Sultan terpaksa mengasingkan diri ke Pahang. Setelah de Albuquerque meninggalkan Malaka pada Januari 1512, Sultan Mahmud Syah I kembali ke Muar. Ia kemudian berhasil mengembalikan kekuasaannya di Muar dan Pagoh. Pada 1513 bangsa Portugis kembali menyerang Sultan Mahmud Syah I.
Akibat serangan itu Sultan terpaksa berdiam di Bentam (Riau) selama 6 tahun (1513–1519) sambil mengatur siasat dan mengkonsolidasi kekuatan. Pada 1519 ia kembali ke Pagoh untuk mempersiapkan serangan terhadap Malaka. Akan tetapi karena terdesak, pada 1521 ia kembali ke Bentam. Pada 1527 ia menyingkir ke Kampar (Riau) dan setahun kemudian wafat di pengasingan ini.
Sultan Mahmud Syah I digantikan Sultan Alauddin Riayat Syah II (1528–1564). Dialah sultan yang berhasil membina kerajaannya kembali di negeri Johor. Setahun setelah wafatnya Sultan Mahmud Syah I, pada 1529, Alauddin pergi ke Pahang dan tidak lama kemudian pindah ke Hujung Tanah, Johor.
Wilayah ini kemudian dijadikan pusat pemerintahannya. Sampai 1545 bangsa Portugis masih menyerang Alauddin dari Malaka yang berakibat Alauddin terpaksa harus memindahkan pusat pemerintahannya beberapa kali, seperti ke Hujung Tanah, Pekan Tua, Sayong, dan terakhir Kota Batu.
Semua wilayah itu masih termasuk daerah Johor juga. Di tempat terakhir inilah pada 1545 ia mendirikan pusat kekuasaan yang cukup mantap. Pada saat ia mulai berhasil memantapkan kekuasaannya, timbul sengketa dengan Kesultanan Aceh yang sedang meluaskan wilayah kekuasaanya.
Akibatnya, Kesultanan Johor terpaksa terlibat dalam peperangan dengan Kesultanan Aceh. Dalam perang melawan Kesultanan Aceh pada 1564, Sultan Alauddin Riayat Syah II tertangkap dan dibawa ke Aceh. Tidak lama kemudian ia wafat di sana.
Sultan Alauddin Riayat Syah II digantikan putranya yang bergelar Sultan Muzaffar Syah (1564–1570). Pada masa pemerintahannya Kesultanan Johor merupakan negeri taklukan Kesultanan Aceh. Sultan Johor setelah itu adalah Sultan Abdul Jalil Syah I (1570–1571), Sultan Ali Jalla Abdul Jalil Syah II (1571–1597), Sultan Alauddin Riayat Syah III (1597–1615), Sultan Abdullah Ma‘ayat Syah (1615–1623), Sultan Abdul Jalil Syah III (1623–1677), Sultan Ibrahim Syah (1677–1685), dan Sultan Mahmud Syah II (1685–1699).
Dalam persaingan politik dan dagang dengan kekuatan lainnya, Kesultanan Johor seringterlibat dalam peperangan. Situasi yang penuh peperangan itu berlanjut sampai abad ke-17. Satu saat Kesultanan Johor bersahabat dengan Kesultanan Aceh ketika menyerang bangsa Portugis di Malaka (1570-an), dan pada saat lain Kesultanan Johor meminta bantuan bangsa Portugis dalam peperangannya melawan Kesultanan Aceh (1583 dan 1615).
Kedatangan Belanda dan Inggris di awal abad ke-17 memberi kesempatan baru kepada Kesultanan Johor dan Kesultanan Aceh. Kesultanan Johor melihat bahwa Belanda dapat dijadikan sekutu. Oleh karena itulah Kesultanan Johor bersekutu dengan Belanda ketika menghadapi bangsa Portugis di Malaka pada 1606, tetapi gagal. Demikianlah seterusnya, apabila berselisih dengan satu kekuatan, Kesultanan Johor bersahabat dengan kekuatan lainnya.
Posisi Kesultanan Johor mulai naik dan menjadi sebuah negara berpengaruh setelah Kesultanan Aceh –saingan beratnya– mengalami kemunduran akibat ditinggal pemimpin besarnya, Sultan Iskandar Muda, yang wafat pada 1636.
Selain itu peranan Malaka sebagai pusat perdagangan telah merosot sejak jatuh ke tangan Belanda pada 1641. Oleh karena itu, keberadaan Kesultanan Johor semakin bertambah penting. Di lain pihak, Belanda lebih berminat mengembangkan perekonomian di Indonesia daripada di negeri Melayu itu. Akibatnya, Malaka berubah hanya menjadi tempat penghasil bijih besi.
Akan tetapi karena terjadi perselisihan internal kesultanan, perkembangan Kesultanan Johor menjadi lambat. Perselisihan internal itu mengakibatkan Sultan Mahmud Syah II (1685–1699), raja yang terkenal sebagai diktator dan lalim, mati terbunuh.
Ia merupakan keturunan terakhir keluarga raja Malaka yang memerintah Kesultanan Johor. Ia digantikan perdana menterinya (dinasti baru) yang bergelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah IV (1699–1718).
Periode Kemajuan dan Kejayaan (1722–1818). Periode ini ditandai dengan ikut campurnya orang Bugis dalam persoalan politik dan pemerintahan. Masuknya pengaruh Bugis dalam Kesultanan Johor dimulai sejak awal abad ke-18. Ketika itu lima orang Bugis bersaudara mengembara dari Tanah Bugis, Sulawesi, ke perairan Nusantara bagian barat di sekeliling Semenanjung Tanah Melayu.
Mereka membawa angkatan perang dalam perahu besar dengan tujuan menguasai daerah itu. Kelima orang Bugis bersaudara itu adalah Daeng Perani, Daeng Manambun, Daeng Marewah, Daeng Celak (atau Daeng Pali), dan Daeng Kemasi. Pada mulanya orang Bugis ini bermarkas di Pulau Siantan.
Bersamaan dengan itu, Sultan Abdul Jalil Riayat Syah IV, pada 1708 memindahkan pusat pemerintahannya dari Panchor, Johor, ke Riau (Kesultanan Johor-Riau). Akan tetapi, di Riau ia menemukan konflik perebutan pengaruh antara orang Minangkabau, Bugis, dan Pattani. Akibatnya, pada 1716 ia memindahkan kembali pusat pemerintahannya ke Panchor, Johor.
Persaingan antara orang Minangkabau dan Bugis tersebut berlanjut. Raja Kecil, putra Sultan Mahmud Syah II (1685–1699), dan menantu Sultan Abdul Jalil Riayat Syah IV (1699–1718) dengan dukungan orang Minangkabau memberontak terhadap Sultan. Akhirnya Raja Kecil (keturunan dinasti lama) berhasil menurunkan Sultan Abdul Jalil Riayat Syah IV dari takhtanya pada 1718.
Kemudian Raja Kecil mengangkat dirinya menjadi sultan Johor dengan gelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (1718–1722). Pusat pemerintahan Kesultanan Johor di bawah Raja Kecil adalah Riau.
Pada masa pemerintahan Raja Kecil terjadi pemberontakan yang dilakukan Raja Sulaiman, putra Sultan Abdul Jalil Riayat Syah IV, yang dimakzulkan oleh Raja Kecil. Raja Sulaiman (keturunan dinasti baru) bersekongkol dengan orang Bugis untuk menjatuhkan Raja Kecil.
Persekongkolan itu diikat dengan sebuah perjanjian antara kedua belah pihak yang berisi antara lain: “Jika orang-orang Bugis berhasil merebut kekuasaan dari tangan Raja Kecil, maka salah seorang dari mereka akan diangkat menjadi yamtuan muda (raja muda, yang dipertuan muda, perdana menteri) dan jabatan itu menjadi hak turun-temurun”. Perjanjian ini disebut “Aturan Setia Melayu dengan Bugis”.
Setelah melakukan pemberontakan selama kurang lebih 4 tahun, akhirnya pada 1722 sebuah angkatan perang yang dipimpin Daeng Marewah berhasil mendesak pasukan Raja Kecil dan memaksanya untuk berdamai. Raja Kecil kemudian diserahkan kepada Raja Sulaiman yang kemudian memakzulkannya dari jabatan sultan.
Raja Kecil kemudian pergi ke Riau daratan dan mendirikan kesultanan sendiri yang bernama Siak Sri Indrapura. Raja Sulaiman menyatakan diri sebagai sultan Johor dengan gelar Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah (1722–1760). Sesuai dengan janjinya, Daeng Marewah (nama lain Kelana Jaya Putra) diangkat menjadi yamtuan muda. Jabatan yamtuan muda itu disandangnya sampai 1728.
Sejak itulah pengaruh orang Bugis dalam Kesultanan Johor-Riau menjadi kuat dan dominan. Setelah Daeng Marewah, jabatan yamtuan muda dijabat secara berturut-turut oleh Daeng Celak (1728–1745), Daeng Kamboja (1745–1777), Raja Haji (1777–1784), Raja Ali (1784–1806), dan Raja Ja‘far (1806–1831). Para yamtuan muda inilah yang sebenarnya menjalankan roda pemerintahan.
Para penguasa Bugis ini berhasil menjadikan Kesultanan Johor sebuah kesultanan yang secara politik berpengaruh dan diperhitungkan oleh kekuatan lain. Di tangan orang Bugis yang pemberani itu Kesultanan Johor berhasil melakukan ekspansi politik yang cukup berarti.
Menjelang abad ke-18, Pahang, Trengganu, Selangor, dan Lingga menjadi kerajaan yang tunduk kepada Kesultanan Johor-Riau. Bahkan, penguasa Bugis itu terus memperluas wilayah kekuasaan sampai ke Perak dan Kedah. Dalam dunia perniagaan orang Bugis itu berhasil mengembangkan pelabuhan strategis yang terletak di Kuala Sungai Riau. Pelabuhan ini ramai dikunjungi para pedagang asing seperti dari India, Eropa, Cina, dan Siam.
Akan tetapi, dalam dualisme politik antara Melayu dan Bugis dalam Kesultanan Johor-Riau itu, hubungan antara keduanya tidak pernah benar-benar baik. Pihak Melayu dalam perkembangannya merasa tidak senang atas kedudukan istimewa orang Bugis dalam kesultanan, sementara pengaruh orang Bugis terus makin kuat. Apalagi tampilnya orang Bugis yang sangat membenci Belanda dalam pemerintahan Kesultanan Johor sering menyebabkan perang terbuka antara Kesultanan Johor dan Belanda.
Pada 1856, misalnya, orang Bugis menyerang Belanda di Malaka dan kemudian Belanda membalas dengan menyerang orang Bugis yang berkedudukan di Lingga. Dalam peperangan yang berlangsung lama itu, tentara Bugis dapat dikalahkan Belanda. Namun, peperangan antara Kesultanan Johor melawan Belanda terus terjadi berulang-ulang.
Demikian pula yang terjadi pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alam (1722–1760), Sultan Abdul Jalil Muazzam Syah (1760–1761), Sultan Ahmad Riayat Syah (1761), dan awal masa pemerintahan Sultan Mahmud Syah III (1761–1812).
Konflik antara golongan Bugis dan Melayu baru dapat sedikit diredakan setelah Sultan Mahmud Syah III pada 1788 meninggalkan Riau untuk orang Bugis dan membangun istana kesultanan di Pulau Lingga.
Konflik antara keduanya kembali bergolak setelah Sultan Mahmud Syah III meninggal dunia. Kedua belah pihak berbeda pendapat tentang calon pengganti Sultan Mahmud Syah III. Naiknya Abdul Rahman Muazzam Syah pada 1812 sebagai sultan Johor tidak menghentikan konflik itu.
Konflik menjadi semakin kuat ketika Inggris dan Belanda ikut serta memainkan peran di kesultanan itu. Mereka memperebutkan pengaruh politik di dalamnya. Akhirnya pada 1818 terjadilah perpecahan akibat campur tangan Inggris dalam konflik intern kesultanan itu. Kesultanan Johor terpecah menjadi Kesultanan Johor-Riau-Lingga dan Kesultanan Johor-Singapura.
Periode “Inggris” (1818–1963). Oleh karena Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah yang berkedudukan di Lingga dan Yamtuan Muda Raja Ja‘far yang berkedudukan di Riau mengadakan perjanjian damai dengan Belanda, pemimpin Inggris, Thomas Stamford Raffles, pada 6 Februari 1818 melantik Tengku Long (Tengku Husain) sebagai sultan Johor-Singapura yang berkedudukan di Singapura.
Tengku Long adalah kakak Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah. Maksud Inggris atas pelantikan itu adalah untuk mendapatkan kedudukan yang kuat di Singapura.
Setelah pelantikan, Inggris kemudian mengadakan perjanjian dengan Sultan Husain yang kemudian bergelar Sultan Husain Syah (1818–1835). Dalam perjanjian itu Sultan memperkenankan Inggris mendirikan benteng dan gudang perdagangan di Singapura. Sejak saat itu, Inggris menancapkan kekuasaannya di Singapura.
Kejadian yang sebenarnya adalah Tengku Husain dipaksa Inggris untuk menerima jabatan barunya sebagai sultan. Ia tidak lebih dari seorang “tawanan” Inggris yang bahkan tidak diperkenankan menjemput anak-istrinya di Riau.
Tindakan Thomas Stamford Raffles ini telah mengubah perjalanan sejaah Kesultanan Johor. Wilayah kesultanan sebelum terjadinya perpecahan meliputi Johor, Riau, Lingga, Singapura, Pahang, dan pulau di sekitar Johor dan Riau. Tetapi sejak saat itu wilayahnya mulai terpecah-pecah.
Kesultanan Johor-Riau-Lingga berada dalam pengaruh politik Belanda (kemudian menjadi Kesultanan Riau). Singapura berada dalam pengaruh politik Inggris (kemudian menjadi Kesultanan Johor-Singapura). Pahang memerdekakan diri dan membentuk kesultanannya sendiri.
Sejak itu, Kesultanan Johor-Singapura menjadi bawahan pemerintahan Inggris di Singapura. Keadaan yang demikian berlanjut sampai masa pemerintahan Sultan Temenggong Tun Ibrahim dan Sultan Ali (1835–1862), dan sebagian besar masa pemerintahan Sultan Temenggong Abu Bakar yang bergelar Seri Maharaja Johor (1862–1868), Maharaja Abu Bakar (1868–1885), dan Sultan Abu Bakar (1885–1895).
Pada 1886 Sultan Abu Bakar berusaha memerdekakan diri dari pengaruh politik pemerintahan Inggris. Ia berusaha menjadikan Kesultanan Johor-Singapura menjadi sebuah kesultanan yang berdaulat. Usahanya itu dilakukan atas dorongan penasihatnya, Dato’ Abdul Rahman, seorang pembesar istana yang sangat pandai dan berpengaruh. Tindakannya itu dilanjutkan dengan berusaha menjauhi pusat pemerintahan Inggris. Pada 1889 ia kemudian memindahkan ibukota kesultanan dari Singapura ke Johor. Wilayah ini kemudian dinamakan Johor Baru. Ia juga menyusun dan memproklamasikan terbentuknya Undang-Undang Kerajaan pada 1895. Namun 5 bulan kemudian, tepatnya pada 7 September 1895, Sultan Abu Bakar meninggal dunia dan digantikan putranya, Sultan Ibrahim (1895–1959).
Di awal masa pemerintahan Sultan Ibrahim, keadaan ekonomi kesultanan mengalami kemerosotan. Melihat hal itu, pemerintah Inggris siap membantu, dengan harapan suatu saat Kesultanan Johor kembali ke pangkuannya. Bersamaan dengan itu, pada 1896 pemerintah Inggris memprakarsai berdirinya sebuah persekutuan beberapa kerajaan di negeri Malaya, yang tidak memasukkan Kesultanan Johor di dalamnya.
Persekutuan yang dalam bahasa Malaysia dinamakan “Negeri-Negeri Melayu yang Bersatu” itu menghimpun negeri Perak, Selangor, Negeri Sembilan, dan Pahang. Inggris sangat berhasrat agar Kesultanan Johor juga masuk ke dalam “Persekutuan Melayu Baru” ini dan dapat menerima residen jenderal “Negeri-Negeri Melayu yang Bersatu” itu menjadi ketua penasihat bagi Kesultanan Johor.
Namun untuk beberapa lama Sultan Ibrahim berhasil mempertahankan kemerdekaan kesultanan dari pengaruh politik Inggris itu, karena ia kerap kali didampingi penasihatnya, Dato’ Abdul Rahman, yang dahulu menjadi penasihat ayahnya.
Pemerintah Inggris tidak pernah berputus asa dan terus berusaha melakukan intervensi ke dalam pemerintahan Kesultanan Johor. Peluang itu terbuka pada 1904, ketika Sultan Ibrahim menandatangani sebuah perjanjian persetujuan atas bujukan para pembesar istana yang telah dipengaruhi Inggris.
Perjanjian itu berkenaan dengan pekerjaan pembangunan jalan kereta api di Johor yang berhubungan dengan negeri Melayu jajahan Inggris lainnya. Sultan ketika itu sangat sadar bahwa dengan perjanjian itu ia telah mengorbankan kemerdekaan kesultanannya. Namun untuk beberapa lama ia tetap bersikap sebagai seorang sultan dari sebuah kesultanan yang merdeka.
Intervensi pemerintah Inggris baru dapat dikatakan sedikit efektif dalam Kesultanan Johor setelah Dato’ Abdul Rahman diberhentikan Sultan Ibrahim pada 1908. Dato’ Abdul Rahman kemudian diasingkan ke Inggris pada 1909 dan wafat di sana pada 1930. Meskipun Inggris setelah itu menempatkan seorang penasihat umum bagi sultan, namun Sultan Ibrahim tetap tidak menerima saran politik penasihat umum itu.
Pada awal 1942 Kesultanan Johor menyerah kalah kepada tentara Jepang. Jepang menduduki kesultanan itu dan mendirikan pemerintahan pendudukan di sana. Setelah Jepang menyerah kepada tentara Sekutu, tentara Inggris datang kembali di Johor.
Sementara itu di hampir seluruh negeri di Semenanjung Melayu terjadi krisis politik. Ketika itu suasana politik dikacaukan oleh turun gunungnya orang Cina yang tergabung dalam Malay-an People’s Anti Japanese Army (MPAJA). Mereka dipimpin oleh para tokoh Partai Komunis Malaya (Malayan Communist Party).
Di negeri Johor sendiri, tepatnya di Batu Pahat, ketika itu terjadi perkelahian besar-besaran antara orang Melayu yang dipimpin Panglima Saleh dan orang Cina. Perkelahian itu berhasil dipadamkan oleh Dato’ Onn bin Ja‘far (w. 1961), menteri besar Kesultanan Johor.
Pada 12 September 1945 tentara Jepang menyerah kalah di hadapan tentara Inggris. Sejak itu, seluruh Malaya, termasuk Johor, berada di bawah pemerintahan tentara Inggris yang berpusat di Singapura.
Pada 11 Oktober 1945 Sir Harold MacMichael, wakil khusus kerajaan Inggris, datang di Malaya untuk melakukan sebuah perjanjian dengan Sembilan raja (sultan) dari negeri Melayu tentang pendirian satu pemerintahan baru yang menggabungkan kesembilan kerajaan (kesultanan) Melayu itu ditambah dengan Malaka dan Pulau Pinang (dua negeri tak beraja) dalam satu wadah yang dinamakan “Malayan Union”.
Pada 21 Desember 1945, semua raja (sultan) Melayu telah menandatangani perjanjian itu, termasuk Sultan Ibrahim dari Kesultanan Johor. Namun, perjanjian itu diprotes masyarakat Melayu yang disuarakan melalui media massa. Kemudian Sultan Ibrahim membatalkan persetujuannya pada Maret 1946.
Pada bulan itu juga Dato’ Onn bin Ja‘far mengadakan kongres yang dihadiri para wakil dari seluruh kerajaan Melayu, untuk secara bersama-sama menolak kehadiran Malayan Union. Akibatnya, ketika dilangsungkan pelantikan Sir Edward Gent sebagai gubernur Malayan Union di Kuala Lumpur pada 1 April 1946, tidak seorang pun raja Melayu yang hadir.
Tidak lama kemudian, pada 11 dan 12 Mei 1946, satu kongres besar yang dihadiri para wakil dari seluruh kerajaan Melayu diselenggarakan di istana Kesultanan Johor. Dalam kongres itu disepakati didirikannya sebuah organisasi politik orang Melayu yang dinamakan United Malays National Organization, UMNO (Pertubuhan Kebangsaan Melayu Bersatu) dengan ketua pertamanya Dato’ Onn bin Ja‘far.
Karena demikian keras sikap orang Melayu menolak Malayan Union, Inggris pada 21 Januari 1948 mengadakan perjanjian baru dengan raja Melayu yang antara lain berisi pembatalan Malayan Union dan menggantikannya dengan “Negara (Kerajaan) Persekutuan Tanah Melayu” yang di nyatakan secara resmi berdiri pada 1 Februari 1948. Semua raja Melayu, termasuk Sultan Ibrahim dari Kesultanan Johor menandatangani perjanjian itu. Dengan demikian, Malaya kembali berada di bawah pengaruh politik Inggris.
Sementara itu UMNO terus berjuang memerdekakan Malaya dari penjajahan Inggris. Akhirnya, pada 31 Agustus 1957, Negara (Kerajaan) Persekutuan Tanah Melayu memproklamasikan kemerdekaannya dari pemerintahan Inggris. Namun, untuk mengikis habis kekuatan komunis di Malaysia, pembentukan pemerintahan Malaysia merdeka ditangguhkan sampai 1963.
Dua tahun setelah proklamasi kemerdekaan 1957, tepatnya 8 Mei 1959, Sultan Ibrahim wafat di London. Ia digantikan anaknya, Sultan Ismail. Sama seperti ayahnya, Sultan Ismail bersifat pemberani. Pada September 1963 seluruh negeri Johor bergembira ria menyambut lahirnya pemerintahan Negara Malaysia merdeka. Kesultanan Johor termasuk salah satu kerajaan yang berserikat di dalam pemerintahan Negara Malaysia.
Daftar Pustaka
Adil, Gaji Buyong. Sejarah Johor. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1980.
Ahmad, A. Samad. Kerajaan Johor-Riau. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa, 1985.
Hall, D.G.E. A History of Southeast Asia, atau Sejarah Asia Tenggara, terj. I.P.
Soewarsa dan M. Habib Mustopo. Surabaya: Usaha Nasional, 1988.
Reid, Anthony dan David Marr, ed. Dari Raja Ali Haji Hingga HAMKA: Indonesia dn Masa Lalunya. Jakarta: Grafiti Pers, 1983.
Wahid, Datuk Zainal Abidin bin Abdul. Sejarah Malaysia Sepintas Lalu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1983.
Badri Yatim