Muhammad Ali Jinnah, seorang politikus muslim India, dijuluki “Bapak Pakistan” karena berjasa mendidirikan Pakistan 14 Agustus 1947. Ide pembentukan Pakistan telah lama diutarakan Muhammad Iqbal, tapi Ali Jinnah yang mewujudkannya. Ali Jinnah diangkat menjadi gubernur jenderal pertama dengan gelar Quaidi Azam (Pemimpin Agung). Setahun kemudian ia wafat.
Ali Jinnah pernah belajar di Bombay, ketika ia berusia 10 tahun. Setelah itu ia meneruskan pendidikannya di tempat kelahirannya, Karachi, pada salah satu Madrasah al-Islam, semacam sekolah tingkat menengah. Pada 1891, ketika berusia 15 tahun, ia belajar pada Mission High School.
Ia meneruskan pendidikannya pada University of Bombay. Atas nasihat Frederick Leigh Croft (berkebangsaan Inggris), ia pergi ke London untuk melanjutkan pendidikan. Saat itu ia masih berusia 16 tahun.
Di London, ia memilih Lincoln’s Inn sebagai tempat pendidikannya. Di lembaga pendidikan tersebut para mahasiswa dipersiapkan untuk meraih keahlian di bidang hukum dan menjadi pengacara.
Pendidikan yang disebut terakhir ini bisa diselesai kannya dalam waktu 2 tahun. Sesudah itu, ia bekerja sebagai pengacara di London selama 2 tahun. Kemudian, ia kembali ke tanah airnya. Pada 1897 (usia 21 tahun), ia membuka praktek sebagai pengacara di Bombay. Di sini ia sempat berkenalan dengan jaksa agung Bombay, Macpherson.
Macpherson sangat terkesan pada Ali Jinnah, si ahli hukum berusia muda ini. Ia memberi kesempatan berharga kepada Ali Jinnah untuk memanfaatkan perpustakaan pribadinya. Hal ini merupakan kesempatan baik yang tidak diduga sebelumnya oleh Ali Jinnah.
Pada 1906 Ali Jinnah mulai melibatkan diri dalam percaturan politik di negaranya. Perjuangannya di bidang politik sejalan dengan ide yang dicetuskan Muhammad Iqbal, yaitu bagi umat Islam India perlu adanya negara sendiri yang terpisah dari negara umat Hindu.
Ali Jinnah berjuang dengan gigih, memerlukan waktu yang cukup panjang, dan berupaya menyingkirkan setiap kendala yang dihadapinya. Mula-mula ia mendirikan partai Liga Muslimin India (1906), dengan tujuan melindungi dan meningkatkan hak politik serta kepentingan umat Islam yang berada di India, dan mencegah timbulnya pemaksaan atau tekanan dari komunitas lainnya.
Kebijakan Ali Jinnah, sejak ia terpilih sebagai Presiden Liga Muslimin 1913, selain ditujukan untuk kemajuan umat Islam, juga pada mulanya untuk persatuan umat Islam dan umat Hindu meraih kepentingan bersama, yaitu kemerdekaan seluruh wilayah India dari cengkeraman penjajah (Inggris).
Untuk mencapai kemerdekaan tersebut, Ali Jinnah mengadakan pendekatan dengan Partai Kongres. Salah satu hasil pendekatan tersebut ialah terwujudnya Perjanjian Lucknow 1916, yang menguntungkan bagi posisi umat Islam, yaitu kepada umat Islam akan diberikan daerah pemilihan terpisah, dan ketentuan ini akan dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar India yang akan disusun.
Ali Jinnah berusaha mengokohkan perpaduan antara umat Islam dan umat Hindu dalam kesempatan pertemuan Liga Muslimin dan Partai Kongres Calcutta pada Desember 1917.
Ia menegaskan, “India tidak akan diperintah oleh umat Hindu, dan tidak pula oleh umat Islam, tetapi India harus diperintah oleh rakyat India, dalam arti, diperintah oleh umat Islam dan umat Hindu secara bersama-sama. Tuntutan kita adalah memindahkan kekuasaan ke tangan rakyat India dalam waktu yang tidak begitu lama, dan ini merupakan prinsip pembaruan kita.”
Di balik perjuangan itu, Ali Jinnah sering menemukan kendala karena umat Hindu selalu memanfaatkan kondisi mayoritasnya untuk mendapatkan kepentingan mereka. Tampaknya terlalu sulit dicapai pandangan yang sama antara kedua golongan ini. Hal ini disebabkan pandangan hidup yang berbeda, karena perbedaan agama yang selalu ingin ditonjolkan setiap pihak.
Pada 1930–1932 di London diadakan Konferensi Meja Bundar mengenai perubahan-perubahan ketatanegaraan dalam proses menuju kemerdekaan India. Di konferensi ini Ali Jinnah merasa kecewa karena orang Hindu memaksakan pendapat mereka dengan menggunakan mayoritasnya.
Kekecewaan ini membuat ia tidak kembali lagi ke India dan menetap di London. Ia tidak akan berjuang untuk kepentingan rakyat India, selama umat Hindu memaksakan pendapat mereka.
Pada 1930 Ali Jinnah mendapat angin segar, ketika Sir Muhammad Iqbal mencetuskan gagasannya mengenai pendirian negara Islam Pakistan yang terpisah dari India. Kemudian atas permintaan umat Islam India, melalui Liaquat Ali Khan, ia kembali ke India 1934, dan meneruskan memimpin Liga Muslimin India.
Dengan kepemimpinannya Liga Muslimin semakin muncul ke permukaan. Melalui sidang di Lahore yang dipimpin langsung oleh Ali Jinnah, berhasil dicetuskan resolusi yang terkenal dengan “Resolusi Lahore” atau “Resolusi Pakistan”. Salah seorang pelopornya ialah Maulvi Fazlul Haque, yang digelari Singa Bangali (Sher Bangali). Resolusi berbunyi:
“Umat Islam India merupakan suatu bangsa. Umat Islam harus mempunyai tanah air sendiri yang terpisah dari umat Hindu, dan tidak akan menerima konstitusi yang tidak menyebutkan tuntutan dasar ini.”
Pengalaman pahit dialami Liga Muslimin pada pemilihan umum pertama 1937. Liga Muslimin tidak memperoleh suara yang berarti, sedangkan Partai Kongres, yang pada waktu itu dipimpin Pandit Jawaharlal Nehru, mendapat kemenangan besar. Liga Muslimin dianggap tidak mempunyai kekuatan politik yang berarti.
Kekalahan tersebut membuat umat Islam menyadari posisi mereka. Akibatnya, timbul semangat yang menggebu-gebu. Ternyata pada pemilihan umum berikutnya (1946) Liga Muslimin dapat berjaya dalam pengumpulan suara. Dengan demikian, kekuatan politik umat Islam bertambah kuat di bawah kepemimpinan Ali Jinnah.
Kewibawaan Ali Jinnah terbukti ketika ia dengan tegas mengatakan di hadapan Pemerintah Inggris dan Partai Kongres bahwa ia ingin membentuk pemerintahan sementara. Selain itu, ia juga berani memboikot rencana sidang Dewan Konstitusi (1946).
Kemelut politik bertambah panas ketika terjadi pertikaian antara umat Islam dan umat Hindu, di Calcutta yang menewaskan 5.000 orang dari kedua pihak, dan di Binhar yang menewaskan sekitar 7.000–8.000 orang. Peristiwa tersebut membuat umat Islam semakin keras menuntut berdirinya negara Pakistan sebagai negara umat Islam.
Pemerintah Inggris semakin sulit mengendalikan situasi. Akhirnya pemerintah Inggris memutuskan untuk menyerahkan kedaulatan kepada kedua Dewan Konstitusi, India diberikan kepada umat Hindu, Pakistan untuk umat Islam.
Pada 14 Agustus 1947, lahirlah Pakistan sebagai negara bagi umat Islam. Keberhasilan Ali Jinnah membidani kelahiran negara Pakistan sebagai negara umat Islam bermula dari langkah awal dengan pemikiran pembaruan Syah Waliyullah pada abad ke-18.
Kemudian dikembangkan Sayid Ahmad Khan dan tokoh Gerakan Aligarh pada abad ke-19, dan pada abad ke-20 dipacu oleh pemikiran Amir Ali, Muhammad Iqbal, dan lain-lain, yang bermuara pada perjuangan umat Islam yang semakin kuat dan gigih di bawah pimpinan Ali Jinnah sehingga meraih kemenangan dan berhasil mendirikan negara Pakistan yang mereka dambakan.
Ali Jinnah terkenal sebagai tokoh yang dinamis, kreatif, dan bekerja tidak kenal lelah. Ide pembaruannya yang paling menonjol adalah di bidang politik. Semula ia menghendaki India harus terlepas dari penjajahan. Kemerdekaan India harus diupayakan bersama oleh umat Islam dan umat Hindu. Tetapi karena situasi tidak menampakkan peluang untuk berhasil, ia mengubah pendiriannya.
Ide barunya timbul: umat Islam harus mempunyai negara tersendiri, terpisah dari umat Hindu. Muhammad Ali Jinnah adalah tokoh yang mempunyai ketajaman pemikiran, dapat membaca situasi dengan cermat, dan mengambil keputusan yang tepat. Ia adalah tokoh yang berwibawa. Muhammad Ali Jinnah wafat dalam usia 72 tahun. Ia sempat setahun memimpin negara Pakistan yang didirikannya.
Daftar Pustaka
Ahmed, Manzooruddin. “Iqbal and Jinnah on the Two Nations Theory,” Iqbal, Jinnah, and Pa-kisan: The Vision and the Reality, ed. C.M. Naim. Syracuse: Maxwell School of Citizenship and Public Affairs, Syracuse University, 41–76, 1979.
Allana, G. Qawaid-i-Azam Jinnah. Lahore: Ferozsons Ltd., 1967.
Ali, K. History of India, Pakistan, and Bangladesh. Dacca: Ali Publication, 1980.
Almujahid, Syarif. Quaid-i Azam Jinnah: Studies in Interpretation. Karachi: Quaid-i Azam Academy, 1981.
Ayoob, Mahmod. “Two Faces of Political Islam: Iran and Pakistan Compared,” Asian Survey, Vol. 19, No. 1, 1979.
al-Biruni. Makers of Pakistan and Modern Muslim India. Lahore: Muhammad Ashraf, 1950.
Mukmin, Mustafa. Qasamat al‑ ‘Alam al‑Islami al‑Mu‘asir. Beirut: Dar al‑Fikr, 1974.
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
Siddiqi, Mazheruddin. “Kebudayaan Islam di Pakistan dan India,” Islam Jalan Lurus, terj. Chaidir Anwar. Jakarta: Pustaka Jaya, 1980.
Symonds, Richard. The Making of Pakistan. London: Faber and Faber, 1931.
Weiss, Anita, ed. Islamic Reasssertion in Pakistan: The Aplication of Islamic Laws in a Modern State. Syracuse, NY.: Syracuse University Press, 1986.
Wolpert, Stanley. “Mohammad Ali Jinnah,” The Oxford Encyclopaedia of the Modern Islamic World. New York: Oxford University Press, 1995.
Ahmadi Isa