Syah Jehan adalah raja kelima Dinasti Mughal di India. Ia memerintah selama 31 tahun (1627–1658) dan membangun Taj Mahal (1631–1648) di Agra, sebuah mausoleum untuk istrinya, Mumtaz Mahal, yang wafat pada 1631. Syah Jehan juga dimakamkan di Taj Mahal. Mausoleum ini merupakan salah satu bangunan terindah di dunia.
Nama kecil Syah Jehan adalah Khurram. Ayahnya bernama Jahangir (memerintah 1605–1627), raja ke-4 Dinasti Mughal dengan gelar Nuruddin Muhammad al-Ghazi. Ibunya bernama Nur Jahan, seorang permaisuri cantik dan cerdas, mempunyai pengaruh besar dalam pemerintahan sehingga kekuasaan Raja Jahangir dikendalikan Nur Jahan, dan baru berakhir setelah kematian Jahangir.
Jahangir digantikan anaknya yang ketiga, Khurram, yang kemudian bergelar Syah Jehan, atau Jehan Syah. Nur Jahan menginginkan agar Syahriar lah (anak Jahangir yang lain) yang menjadi raja. Maka Syahriar, dengan bantuan Nur Jahan, mengadakan pemberontakan terhadap Syah Jehan; tetapi pemberontak itu dapat dika lahkan Syah Jehan.
Syah Jehan berhasil memperluas wilayah kekuasaannya dengan mengalahkan Raja Jhujhar Singh Bundela (penguasa Hindu di dekat Delhi) dan Khan Jahan Lody (995 H/1587 M–1040 H/1631 M), bekas gubernur Deccan yang memberontak, dan berhasil membunuhnya di Tel Sehonds di daerah Deccan 1631. Syah Jehan juga berhasil mengalahkan tentara Portugis di Hughli, di wilayah Bengal (Bangladesh sekarang).
Raja-raja di Kerajaan Mughal menganut agama Islam meskipun agama Islam merupakan minoritas di kerajaan tersebut. Mayoritas penduduknya menganut agama Hindu. Di samping itu ada juga penganut agama lain, seperti Buddha, Sikh, dan Kristen yang dibawa orang Portugis dan Inggris.
Untuk memelihara stabilitas dan kerukunan umat beragama, Syah Jehan melanjutkan kebijakan yang telah dicanangkan kakeknya, Akbar Syah I (raja ke-3, memerintah 1556–1605), yaitu Din Ilahi, yang menganggap bahwa semua agama sama dan diperlakukan secara sama dalam pemerintahannya. Dengan kebijakan ini, ada raja yang berpermaisurikan orang Hindu. Pegawai dan pembesar istana pun ada yang beragama selain Islam.
Cukai yang dulu harus dibayar orang Hindu yang akan melaksanakan upacara suci di Sungai Gangga dihapuskan. Jizyah (pajak) untuk orang nonmuslim dihapuskan. Kegiatan di Ibadat Khannah (semacam balai pertemuan), tempat pertemuan semua tokoh agama untuk membicarakan masalah agama, dihidupkan terus.
Wilayah Kerajaan Mughal ketika itu dibagi menjadi beberapa propinsi (subah) yang dipimpin seorang gubernur (subandar). Setiap propinsi dibagi lagi menjadi bagian yang disebut zillas, dan daerah ini dibagi lagi menjadi kampung (pergannah). Dengan sistem pembagian seperti itu pemerintah pusat mudah mengadakan kontrol.
Syah Jehan dikenal sebagai raja yang tegas dalam menghukum pegawainya yang tidak jujur. Syah Jehan diceritakan memelihara ular berbisa yang dijaga oleh petugas khusus. Jika ada pegawainya yang tidak jujur, ular itu dilepas ke arah pegawai yang tidak jujur agar mematuknya.
Tindakan tegas Syah Jehan ini telah membuat para pegawainya bertindak jujur. Di bawah pemerintahan Syah Jehan, Kerajaan Mughal mencapai puncak kejayaannya. Masjid, sekolah, tempat ibadah untuk agama lain, dan panti orang miskin dibangun.
Syah Jehan mempunyai seorang permaisuri yang cantik jelita bernama Arjuman Banu Begum dan terkenal dengan Mumtaz Mahal. Ia bukan hanya cantik, tetapi juga mempunyai budi pekerti yang luhur, halus, dan dermawan. Atas inisiatif permaisuri ini banyak diba ngun masjid, tempat ibadah agama lain, sekolah, dan panti orang miskin.
Kedermawanannya tidak hanya terbatas kepada orang muslim, tetapi juga kepada semua pemeluk agama tanpa pandang bulu. Banu Begum wafat 1631 ketika melahirkan. Untuk mengenang istri yang sangat dicintainya itu, Syah Jehan mendirikan sebuah mausoleum (bangunan berkubah untuk kuburan) yang sangat indah, bernama Taj Mahal.
Akhir hayat Syah Jehan berlangsung dengan tragis. Di hari tuanya, di kala masih memerintah, Syah Jehan mengangkat anak sulungnya yang bernama Dara Siqah (1024 H/1615 M–1069 H/1659 M) sebagai putra mahkota. Akan tetapi anaknya yang lain, yang bernama Aurangzeb (Alamgir I; memerintah 1658–1707), menghendaki pula takhta kerajaan. Aurangzeb membunuh Dara Siqah dan pada 1658 memenjarakan ayahnya, Syah Jehan, hingga wafat di penjara 1666.
Setelah Syah Jehan dipenjarakan, Aurangzeb naik takhta pada 1658. Ia menghapuskan kebijakan politik liberal, khususnya dalam bidang agama (Din Ilahi) yang dicanangkan Akbar Syah I, Jahangir, hingga bapaknya, Syah Jehan.
Aurangzeb menganut Islam ortodoks. Namun demikian, ia masih mampu mempertahankan keutuhan wilayah Dinasti Mughal sebagaimana ditinggalkan bapaknya, yang meliputi seluruh anak benua India, kecuali sebagian kecil di ujung selatan. Raja-raja Mughal setelah Aurangzeb lemah sehingga kejayaan dinasti ini mulai pudar. Dinasti Mughal dihancurkan Inggris pada 1857, ketika Raja Bahadur Syah II memerintah (1837–1858).
Daftar Pustaka
Ali, Syed Amir. Islam: History and Culture. New Delhi: Amar Prakshan, 1981.
Hitti, Philip K. The History of the Arabs. London: The Macmillan Pers, 1970.
Holt, P.M. The Cambridge History of Islam. London: Cambridge University Press, 1964.
Ikram, S.M. Muslim Civilization in India. New York: Colombia University Press, 1965.
Mudjib, M. The Indian Muslim. London: George Alen, 1967.
Muhammadunnasir, Syed. Islam, Its Concepts & History. New Delhi: Kitab Bhavan, 1965.
Panikar, K.M. A Survey of Indian History. Bombay: Publishing House, 1957.
Zaidan, Jurji. History of Islamic Civilization. New Delhi: Kitab Bhavan, 1978.
Atjeng Achmad Kusaeri