Jaza’

Balasan yang akan diterima­ seseorang atas perbuatannya disebut jaza’. Ulama membahas jaza’ dalam pengertian balasan akhirat yang diterima seseorang atas perbuatannya. Menurut al-Isfahani, pakar bahasa Al-Qur’an, jaza’ adalah balasan yang bermanfaat, cukup, dan pantas, yang diberikan Allah SWT kepada­ hamba-Nya yang melakukan suatu perbuatan amal.

Al-Isfahani mengemukakan contoh jaza’ dengan ungkapan in khairan fa khair wa in syarran fa syarr (baik dibalas baik dan jahat dibalas jahat) dan firman Allah SWT dalam surah Taha (20) ayat 76 yang berarti: “…itulah balasan bagi orang yang bersih (dari kekafiran dan kemaksiatan)”­. Jadi, suatu pembalasan adalah jaza’.

Balasan baik akan bermanfaat sebagai perangsang bagi orang untuk melakukan­ suatu kebaikan, sedangkan balasan buruk bisa bermanfaat­ untuk menghalangi orang melakukan kejahatan. Sebagai contoh adalah kasus hukuman yang diputuskan Nabi Yusuf AS atas saudara kandungnya, Bunyamin, yang dituduh­ mencuri piala raja karena ditemukan Nabi Yusuf di dalam karung miliknya (QS.12:72–75).

Kata jaza’, berdasarkan pemahaman al-Isfahani, tidak memberikan batasan yang maksimal atas suatu perbuatan, tetapi menentukan batasan minimal. Apabila satu amalan dibalas dengan satu imbalan, ini dapat dikatakan sebagai balasan yang cukup, memadai, dan pantas. Apabila satu amalan dibalas dengan­ dua atau lebih imbalan, hal ini tidak akan menyalahi pengertian jaza’ tersebut.

Batasan ini dapat diketahui apabila kata jazÎ’ disebut secara mandiri­ tanpa diikuti keterangan sesudahnya, baik berupa kata maupun indikasi berarti seseorang­ berhak menerima balasan yang seimbang­ dari perbuatannya. Sebagai contoh adalah firman Allah SWT dalam surah asy-Syura (42) ayat 40 yang berarti:

“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan­ yang seimbang (mitsluha), maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.”

Jika dalam ayat tersebut tidak ada kata mitsluha, ada kemungkinan orang memahaminya sebagai “Allah SWT akan membalas kejahatan dengan berlipat ganda”.

Jaza’ adalah kata dasar dari jaza, yajzi, dan jaza’. Kata jaza’, dalam berbagai bentuknya, disebutkan sebanyak 116 kali dalam Al-Qur’an, yang tersebar dalam 47 surah (30 surah Makkiyyah dan 17 surah Madaniyyah) dan dalam 109 ayat. Di antara 116 sebutan itu, 42 kali merupakan balasan baik (pahala), 49 kali balasan buruk (siksa), dan 25 kali balasan tanpa menyebutkan baik atau buruk.

Dalam ayat tersebut, pengertian jaza’ umum­ nya berkaitan dengan balasan Allah SWT di akhirat, kecuali yang terdapat dalam:

1) surah al-Baqarah (2) ayat 85 tentang balasan­ berupa kenistaan hidup di dunia bagi Bani Israil;

2) surah al-Ma’idah (5) ayat 33 tentang hukuman bagi pelaku tindak pidana hirabah (perampokan) dan ayat 95 tentang hu-kuman bagi orang yang membunuh binatang buruan ketika sedang ihram;

3) surah Yusuf (12) ayat 22 tentang hikmah yang diberikan Allah SWT kepada Nabi Yusuf AS sebagai balasan atas kebaikan yang dimilikinya dan ayat 25 mengenai hukuman yang diusulkan oleh Zulaikha atas diri Nabi Yusuf AS;

4) surah al-Qasas (28) ayat 25 tentang balasan be­rupa penghargaan dari Nabi Syu’aib AS kepada Nabi Musa AS; dan

5) surah as-saffat (37) ayat 80, 105, 110, 121, dan 131 tentang balasan berupa keselamatan­ dan kesejahteraan yang Allah SWT lim­pah­kan kepada Nabi Nuh AS, Ismail AS, Musa AS, Harun AS, dan Ilyas AS.

Kata jaza’ hanya tampil dalam konteks hubung­an­ antara manusia yang melakukan suatu perbuat­an dan Allah SWT sebagai pemilik jaza’, seperti firman Allah SWT yang berarti: “…Allah akan memberi­ imbalan bagi orang-orang yang bersyu­ kur” (QS.3:144). Ungkapan rasa syukur dan terima kasih antarmanusia atau ungkapan imbalan yang berlaku dalam hubungan antarma-nusia tidak dapat dikatakan sebagai jaza’.

Menurut ulama fikih dan kalam, seseorang telah mendapatkan jaza’ pahala dari Allah SWT kendati ia baru berniat untuk berbuat baik saja. Berbeda dengan perbuatan jahat, menurut Wahbah az-Zuhaili (ahli fikih dari Universitas Damascus, Suriah), Allah SWT baru akan mencatat­nya­ apabila­ seseorang benar-benar telah melakukannya­ dan jaza’nya pun seimbang dengan perbuatan itu.

Dalam salah satu hadis, Nabi SAW mengan­jurkan agar seseorang memperbanyak amal baiknya sebagai imbangan perbuatan buruknya (HR. Muslim dan Ahmad bin Hanbal dari Abu Hurairah). Hadis ini menunjukkan bahwa persoalan­ imbalan atau balasan dari Allah SWT atas suatu perbuatan buruk di dunia tidak dapat dihapuskan begitu saja dengan meminta ampunan-Nya, melainkan­ dicatat malaikat untuk dipertanggungjawabkan di akhirat.

Daftar Pustaka

Abdul Baqi, Muhammad Fu’ad. al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfaz Al-Qur’an al-Karim. Beirut: Dar al-Fikr, 1987.
al-Baghdadi, Alauddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim. Tafsir al-Khazin IV. Cairo: al-Maktabah at-Tijariyyah al-Kubra, t.t.
al-Isfahani, Ragib. Mufradat fi Garib Al-Qur’an. Beirut: Dar al-Ma‘rifah, t.t.
–––––––. Mu‘jam Mufradat Alfaz Al-Qur’an. Beirut: Dar al-Fikr, 1972.
Muslim, Imam. sahih Muslim bi Syarh al‑Imam an‑Nawawi. Beirut: Dar lhya’ at‑Turas al‑‘Arabi, 1404 H/1984 M.
at-Thabathaba’i, Muhammad Husin. al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an. Beirut: Mu’as-sasah al-‘Alami li at-Tiba‘ah, 1973.
az-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Beirut: Dar al-Fikr, 1984.

Nasrun Haroen