Secara etimologis, jauhar berarti “permata”. Dalam filsafat, jauhar berarti substansi atau segala sesuatu yang keberadaannya tidak tergantung pada yang lain (baik baru maupun kadim) dan dapat menerima ‘aradh (sifat yang datang kemudian). Segala sesuatu tersebut antara lain mencakup benda dan bagiannya, langit, bintang, bumi, api, air, udara, tanah, hewan, dan tumbuhan.
Aristoteles (384–322 SM), filsuf klasik Yunani, menempatkan jauhar sebagai kategori pertama dari sepuluh kategori (al-maqulat al-‘asyar) yang membentuk pengertian terhadap sesuatu. Menurut Aristoteles, jauhar merupakan inti sesuatu, yang keberadaannya tidak memerlukan yang lain.
Sifat yang melekat pada jauhar disebutnya ‘aradh, yang meliputi sembilan sifat:
(1) kualitas (menunjukkan sifat sesuatu),
(2) kuantitas (mengacu kepada jumlah sesuatu),
(3) relasi (hubungan suatu jauhar dengan jauhar lain),
(4) tempat (keadaan atau ruang yang melingkupi jauhar),
(5) waktu (tempo yang melingkungi jauhar),
(6) sikap (situasi yang melibatkan jauhar),
(7) isi (besar-kecilnya jauhar),
(8) aksi (tindakan jauhar yang memberi pengaruh), dan
(9) pasif (kemungkinan jauhar menerima perubahan).
Kajian tentang jauhar oleh Aristoteles itu kemudian dikembangkan para teolog dan filsuf muslim. Pengembangan kajian ini dalam Islam, terutama untuk membuktikan wujud Tuhan dan kekuasaan-Nya secara kosmologis.
Kaum Muktazilah menempatkan jauhar sebagai bukti bahwa hukum kepastian (al-qanun al-hatmiyyah) menguasai segenap maujudat. Menurut mereka, segala sesuatu di dunia ini terdiri dari dua unsur yang berbeda, yakni jauhar dan ‘aradh. Yang dimaksud dengan jauhar adalah jauhar fard, yakni partikel yang tidak dapat dibagi lagi, sedangkan ‘aradh adalah sifat yang melekat pada jauhar.
Mu’ammar bin Abbad as-Sulami, seorang pemuka Muktazilah, berpendapat bahwa sebenarnya kita tidak melihat jauhar, melainkan hanya mengetahui ‘aradh, karena ‘aradh dapat dicapai alat indra. Menurutnya, keberadaan jauhar berasal dari Tuhan, sedangkan keberadaan ‘aradh berasal dari “tindakan” jauhar sendiri.
Tindakan jauhar ini ditimbulkan, baik secara alamiah (Tab‘an) seperti pada benda mati, umpamanya: ‘aradh panas yang melekat pada jauhar api–maupun dengan secara pemilihan (ikhtiyaran) pada benda hidup, seperti tindakan manusia. Untuk membuktikan teorinya, Mu’ammar mengemukakan contoh sebagai berikut. Sebuah benda mungkin dapat dikenai ‘aradh tertentu (seperti warna) dan mungkin pula tidak.
Dalam kasus pertama, warna akan menjadi bagian dari jauhar (benda) secara alami dan merupakan bagian dari tindakannya. Jadi, ‘aradh adalah milik jauhar secara alami yang berasal dari tindakan jauhar sendiri. Dalam kasus kedua, Tuhan mungkin dapat menentukan warna benda itu, tetapi benda itu tidak menerimanya.
Ini berarti Tuhan tidak dapat dikatakan sebagai sebab ‘aradh, kecuali secara tidak langsung, yaitu melalui perantara benda yang menimbulkan ‘aradh tersebut secara alami. Dengan demikian, perbuatan manusia adalah miliknya sendiri dan ia bertanggung jawab sepenuhnya atas perbuatannya itu.
Teori tentang jauhar dan ‘aradh ini sebenarnya belum begitu dikaji secara mendalam pada generasi pertama kaum Muktazilah. Kajian secara mendalam baru dilakukan setelah Ishaq Ibrahim bin Sayyar an-Nazzam (w. 231 H/876 M), seorang tokoh Muktazilah, menolak pendapat bahwa jauhar adalah sesuatu yang tidak dapat dibagi lagi. Bagi an-Nazzam, tidak ada sesuatu yang habis dibagi, betapapun kecilnya sesuatu itu. Benda, sebenarnya, dapat dibagi-bagi sampai tidak ada batasnya; selama benda itu masih ada ia tetap tidak akan habis dibagi.
Namun pendapat an-Nazzam ini tidak disetujui pemuka Muktazilah lainnya dengan alasan-alasan berikut.
(1) Kalau tidak ada jauhar yang tidak habis dibagi, tentu orang yang berjalan pada jarak tertentu akan menempuh jarak yang tidak habis-habisnya karena jarak tersebut tidak dapat dibagi sampai habis.
(2) Kalau bagian benda tidak ada batasnya, tentu bagian butir benih sama dengan bagian gunung.
(3) Kalau Tuhan menyusun bagian benda, apakah Ia dapat memisah-misahkan bagian tersebut sehingga tidak ada penyusunan sama sekali dan bagian itu tidak dapat dibagi lagi? Kalau dijawab “tidak dapat”, berarti memandang Tuhan bersifat lemah. Hal demikian mustahil pada Tuhan. Sebaliknya, jika dijawab dengan “dapat”, berarti suatu pengakuan terhadap adanya bagian yang tidak dapat dibagi.
(4) Ilmu Tuhan meliputi segala sesuatu. Hal ini mengharuskan kita mengakui bahwa Tuhan mengetahui bagian benda. Kalau dikatakan bahwa benda bisa dibagi sampai tidak habis-habisnya, tentu Tuhan tidak dapat mengetahui akhir alam ini. Pandangan demikian berla wanan dengan firman Allah SWT yang berarti: “…Dia (Tuhan) menghitung segala sesuatu satu per satu” (QS.72:28).
Teori jauhar fard kemudian dikembangkan secara luas oleh Abu Hasan al-Asy‘ari, pendiri aliran Asy‘ariyah, untuk menunjukkan adanya Tuhan; kehendak dan kekuasaan mutlak-Nya. Menurut al-Asy‘ari, semua benda mengalami pergantian keadaan yang bermacam-macam, baik itu bentuk, warna, gerak, berkembang, susut, dan perubahan-perubahan lain yang secara keseluruhan disebut ‘aradh.
Kalau keadaan ‘aradh seperti demikian, berarti ia bersifat baru. Segala benda yang diliputi keadaan demikian dapat dibagi secara terus-menerus sampai pada bagian terkecil yang tidak dapat dibagi lagi. Bagian yang terkecil ini disebut jauhar fard. Seperti jauhar, jauhar fard pun tidak dapat dipisahkan dari ‘aradh.
Kalau jauhar fard tidak dapat terlepas dari ‘aradh, sedangkan ‘aradh bersifat baru, maka jauhar fard pada umumnya bersifat baru pula. Tiap-tiap yang baru ada yang menciptakannya. Penciptanya itu tidak lain adalah Tuhan.
Abu Bakar Muhammad al-Baqillani (w. 403 H/1013 M), salah seorang pengikut Asy‘ariyah, mengembangkan pula teori tersebut. Menurutnya, teori ini dapat diterapkan untuk menunjukkan kekuasaan Tuhan. Alam atau jisim, dalam pemikiran al-Baqillani, tidak lain adalah kumpulan jauhar yang berwujud setelah ditambahkan ‘aradh.
Setiap ‘aradh mempunyai lawan ‘aradh. Misalnya, hidup lawannya mati dan panas lawannya dingin. Dua ‘aradh yang berlawanan tidak mungkin menempati satu jauhar pada satu waktu yang bersamaan, sekalipun bisa terjadi pergantian ‘aradh pada satu jauhar.
Jauhar ini bersifat mumkin, artinya bisa ada dan bisa tidak, dan semua itu diciptakan Tuhan. Penciptaan oleh-Nya itu dilakukan secara terus-menerus, karena jika Tuhan berhenti mencipta, segalanya akan musnah.
Melalui teorinya ini, al-Baqillani menjelaskan bahwa dalam alam ini tidak ada hukum yang pasti, karena penggabungan jauhar dan penggantian ‘aradh tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan karena kehendak Tuhan semata-mata. Jadi, pemi kirannya ini berlawanan dengan pemikiran kaum Muktazilah, yang memandang bahwa alam ini dikuasai hukum yang pasti.
Para ahli sejarah pemikiran Islam berbeda pendapat tentang asal-usul teori jauhar yang dikembangkan para teolog itu. Salah satu pendapat menisbahkan teori tersebut dengan teori atom yang dicetuskan Leucipus, Demokritus (w. 360 SM), dan Epikuros (w. 217 SM), kendati dengan beberapa modifikasi. Akan tetapi, ada pula yang mengatakan asal-usulnya dari pemikiran orang India.
Teori jauhar dan ‘aradh yang dikembangkan kaum filsuf berbeda dengan kaum teolog. Bagi kaum filsuf, jauhar itu ada dua macam:
(1) jauhar mujarrad (substansi nonmateri) yang bersifat kadim dan
(2) jauhar maddi (substansi materi) yang bersifat baru.
Dalam filsafat mengenai maujudat, Ibnu Sina (w. 428 H/1037 M) membaginya atas dua bagian. Pertama, maujud yang menghendaki adanya maujud lain sebagai tempat; inilah yang disebut ‘aradh. Kedua, maujud yang keberadaannya tidak menghendaki adanya maujud lain sebagai tempatnya; inilah yang disebut jauhar. Dengan demikian, jauhar merupakan dasar bagi ‘aradh.
Menurut Ibnu Sina, jauhar terdiri atas surah (bentuk) dan maddah (materi). Maddah dan surah dapat berbentuk jasmaniah dan rohaniah. Maddah dan surah yang dapat diindrai adalah maddah dan sirah jasmaniah, sedangkan maddah dan surah jiwa ialah maddah dan surah rohaniah.
Ibnu Sina tidak memasukkan surah sebagai bagian dari ‘aradh karena, menurutnya, ‘aradh hanyalah sifat dan hal yang melekat pada jauhar. Apabila sifat dan hal itu hilang, jauhar tidak akan berubah. Keadaan demikian berbeda dengan surah, yang perubahannya dapat mengubah jauhar.
Umpamanya, sehelai baju. Baju akan tetap disebut baju sekalipun warnanya sebagai sifat (‘aradh) telah berubah. Hal itu berlainan dengan surah, baju itu tidak akan bernama baju lagi apabila surah telah berubah.
Al-Ghazali (w. 505 H/1111 M) lebih jauh melihat adanya empat macam jauhar, yaitu: hayula (materi pertama), surah (bentuk), jisim, dan al-‘aql al-mufariq (akal terpisah) yang berdiri sendiri. Setiap materi senantiasa mengandung tiga bentuk pertama dari jauhar.
Umpamanya: air. Air terdiri dari hayula, yakni substansi asal bagi air, yang pada dasarnya tidak berbeda dengan substansi alam secara keseluruhan; surah, yakni bentuk yang membuat substansi itu mewujud; dan persatuan antara kedua bagian itu disebut jisim.
Di sini terlihat perbedaan persepsi antara kaum filsuf dan kaum teolog. Bagi kaum teolog, yang disebut jauhar hanyalah hayula atau maddah yang berdiri sendiri, sedangkan surah dan lainnya termasuk bagian dari ‘aradh dan ‘aradh inilah yang memberikan wujud serta bentuk pada jauhar.
Daftar Pustaka
al-Asy‘ari, Abu al-Hasan bin Ismail. Maqalah al-Islamiyyun wa Ikhtilaf al-Musallin. Cairo: Maktabah an-Nahdah al-Misriyyah, 1969.
Fakhry, Majid. A History of Islamic Philosophy. London: Longman Group Ltd., 1983.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Maqasud al-Falasifah. Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1960.
Hanafi, Ahmad. Teologi Islam (Ilmu Kalam). Jakarta: Bulan Bintang, 1982.
Yunasril Ali