Ja’fari, Madzhab

(Ar.: Madzhab al-Ja‘fari)

Ja‘fari adalah salah satu mazhab dalam aliran Syiah, dan kemudian terkenal dan termasuk dalam lima mazhab besar bersama empat mazhab Suni (Syafi‘i, Maliki, Hanafi, dan Hanbali).

Mazhab Ja‘fari didirikan Ja‘far as-Sadiq (80 H/699 M–148 H/765 M), imam keenam dalam tradisi Syiah Imamiyah (Mazhab Imam Dua Belas). Nama lengkap Ja‘far as-Sadiq adalah Ja‘far bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib.

Setelah Ali bin Abi Thalib, ia dipandang sebagai imam terbesar kaum Syiah dalam rangkaian Imam Dua Belas. Sebagian besar, untuk tidak mengatakan seluruhnya, pemi­kiran yang berkembang­ dalam Syiah Imamiyah berasal dari Ja‘far as-Sadiq. Mungkin agak sulit dibedakan mana pendapat resmi Syiah Imamiyah dan mana pendapat Mazhab Ja‘fari secara khusus.

Berbeda dari keempat mazhab lain dalam tradisi Suni yang hanya menitikberatkan perhatian pada masalah hukum, Mazhab Ja‘fari di samping tetap membicarakan masalah hukum, juga memasukkan masalah lain seperti teologi dan politik sebagai tema bahasannya.

Pendapat Ja‘far as-Sadiq di luar Hukum Islam. Imam Ja‘far as-Sadiq hidup pada masa ketika pertentangan pendapat­ di kalangan umat Islam sudah menajam. Pertentangan itu telah mengarah pada perpecahan politik, seperti masalah status muslim yang melakukan dosa besar, kada, dan kadar.

Masalah ini menjadi tema bahasan utama di kalangan tokoh muslim pada masa itu. Perbedaan pendapat itu telah menyulut munculnya berbagai aliran dalam Islam, seperti Khawarij, Muktazilah, Kadariyah,­ dan Murji’ah.

Dalam masalah politik, Syiah Imamiyah berpendapat bahwa khilafah (kekhalifahan) adalah masalah duniawi. Meskipun demikian, mereka tetap menempatkan khilafah sebagai salah satu rukun iman menurut versi Syiah Imamiyah.

Tentang proses menjadi khalifah, terdapat perbedaan­ pendapat antara Syiah Imamiyah secara keseluruhan­ dan pandangan pribadi Ja‘far as-Sadiq. Syiah Imamiyah­ berpendapat bahwa jabatan khalifah didapatkan melalui wasiat, sementara menurut Ja‘far as-Sadiq melalui pemilihan.

Jika pemerintahan sudah terbentuk, maka umat Islam wajib taat kepada khalifah (penguasa) tersebut. Umat Islam dilarang memberontak terhadap penguasa yang sedang berkuasa, karena hal itu akan menimbulkan kehan­curan dalam masyarakat.

Kerusakan yang muncul akibat pemberontakan akan jauh lebih besar daripada kerusakan yang diakibatkan kezaliman penguasa. Ja‘far as-Sadiq memberikan kriteria normatif bagi seorang kepala negara, yakni harus adil, tepercaya, dan paling cakap di antara semua calon yang ada.

Dalam masalah teologi, Syiah Imamiyah sependapat dengan Muktazilah, yakni manusia mempunyai kebebasan dalam bertindak dan karenanya manusia secara individual harus bertanggungjawab atas perbuatannya.

Menurut Ja‘far as-Sadiq, Allah SWT telah memberikan kepada manusia qudrah (kuasa), dan dengan qudrah itu manusia bertindak. Allah SWT hanya memberikan pilihan, yakni perbuatan yang dilarang dan yang boleh dilakukan.

Tentang seorang muslim yang melakukan dosa besar, Syiah Imamiyah sependapat dengan Muktazilah yang menyatakan bahwa pelaku dosa besar berada dalam dua posisi: antara mukmin dan kafir.

Masalah lain yang terkait dengan teologi adalah taqiyyah, yakni merahasiakan keyakinannya (kesyiahannya) untuk menghindari tekanan para penguasa. Seperti keyakinan­ dan pendapat umum semua aliran Syiah, Syiah Imami­yah juga berpendapat bahwa seseorang diperbolehkan­ melakukan taqiyyah.

Konsep taqiyyah ini sangat berkaitan dengan politik pada masa itu, karena para penguasa sering memaksakan keyakinan mereka terhadap­ sebagian kelompok­ umat Islam. Demi keselamatan mereka, Ja‘far as-Sadiq menganjurkan pengikutnya untuk melakukan taqiyyah.

Sumber Hukum Mazhab Ja‘fari. Sumber hukum Mazhab Ja‘fari adalah Al-Qur’an, sunah, ijmak, dan akal. Dari daftar urutan sumber hukum tersebut, terlihat sedikit perbe­daan antara mazhab dalam tradisi Suni dan Mazhab Ja‘fari.

Semua mazhab sepakat mengenai tiga sumber hukum pertama, yakni Al-Qur’an, sunah, dan ijmak, tetapi berbeda dalam menetapkan sumber hukum keempat. Dalam Mazhab­ Suni, sumber hukum keempat adalah kias (analogi), sedangkan dalam Mazhab Ja‘fari adalah akal.

Mazhab Syiah menolak menggunakan kias, karena, menurut mereka, kias tidak dapat digunakan untuk mengkhususkan nas.

Dari tata urutan sumber hukum di atas juga terlihat bahwa Mazhab Ja‘fari berperan sangat besar bagi akal. Akal (penalaran) dapat digunakan sebagai dasar penetapan hukum kalau tidak ditemukan nas. Artinya, Mazhab Ja‘fari membuka ruang yang sangat lebar bagi ijtihad.

Akal bagi Syiah Imamiyah paling tidak mempunyai dua fungsi: (1) untuk mengetahui masalah yang harus diyakini, seperti mengetahui Tuhan dan kenabian; dan (2) untuk menetapkan­ keputusan hukum atas masalah yang tidak ditemukan hukumnya dalam nas atau ijmak.

Menurut Mazhab Ja‘fari, ijtihad tetap diperlukan ketika imam sudah tidak ada, apalagi sesuai dengan perkembangan zaman, masalah sosial yang memerlukan keputusan hukum terus bermunculan. Meskipun demikian, bagi Mazhab Ja‘fari, ijtihad tidak boleh dilakukan secara sembarangan, tetapi harus tetap dilandaskan pada Al-Qur’an, sunah, pendapat para imam, dan ijmak orang sebelum mereka.

Untuk menghindari penggunaan ijtihad secara semena-mena, Mazhab Ja‘fari memberikan beberapa persyaratan kualitatif bagi seseorang yang melakukan ijtihad, yakni mengetahui: (1) bahasa Arab secara mendalam;­ (2) ilmu kalam; (3) Al-Qur’an dan sunah serta seluk-beluk ilmu yang berkaitan dengan kedua sumber tersebut;

(4) jalan istinbat (penyimpulan hukum dari dalil), manhaj (metode), istidlal (pencarian rujukan pada ayat Al-Qur’an dan sunah), dan cara mempertemukan hadis yang saling bertentangan; (5) masalah yang telah menjadi ijmak dalam mazhab; (6) hakikat masalah yang dihadapi; dan (7) masalah­ ikhtilaf (perbedaan pendapat) yang terdapat dalam mazhab.

Mazhab Ja‘fari membagi para mujtahid menjadi empat:

(1) mujtahid mutlak (muÅtaq), yakni orang yang memiliki otoritas untuk berijtihad dalam segala aspek secara mandiri;

(2) mujtahid fi al-furu‘, yakni orang yang hanya memiliki otoritas melakukan ijtihad dalam persoalan furu‘ (cabang) ajaran agama, dan tidak bisa melepaskan diri dari kerangka ijtihad mujtahid mutlak;

(3) mujtahid mukharrij, yakni orang yang hanya dibolehkan memberikan perbandingan di antara pendapat para mujtahid, dan dibolehkan mengeluarkan pendapat pribadi berdasarkan pendapat yang terkuat; dan

(4) mukharrij, yakni orang yang hanya dibolehkan untuk memilih pendapat yang terkuat, dan tidak boleh mengeluarkan pendapat pribadi.

Kitab pokok yang menjadi pegangan Mazhab Ja‘fari adalah al-Kafi (Yang Mencukupi) karya Abu Ja‘far Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini (w. 329 H/941 M); Man la Yahdiuruhu al-Faqih (Orang yang Tidak Dihadiri oleh Ahli Fikih) karya Abu Ja‘far Muhammad bin Ali bin Husin bin Musa Babuyah al-Qummi (w. 381 H/991 M); dan at-Tahdzab (Peringatan), serta al-Ibtisar (Berpikir), keduanya karya Muhammad bin Hasan at-Tusi. Mazhab Ja‘fari berkembang di Iran, Irak, India, Pakistan, Nigeria, Somalia, dan juga di beberapa dunia Islam lain.

Daftar Pustaka

Ibrahim, Muslim. Pengantar Fiqh Muqaaran. Jakarta: Erlangga, 1991.

Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Mazhab. Jakarta: Lentera, 1999.

ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997.

Sou’yb, H M. Joesoef. Syiah. Jakarta: al-Husna Zikra, 1982.

Din Wahid