Jabal Nur

(Ar.: Jabal an-Nur)

Jabal Nur adalah nama lain untuk Jabal Hira, sebuah gunung dengan ketinggian sekitar 624 m, dan sekitar 6 km di timur laut Mekah. Jabal Nur berhadapan dengan Jabal Sabir Gina, sebuah gunung lebih rendah. Jabal Nur ditutupi bebatuan runcing, licin, dan terjal. Pada salah satu lerengnya terdapat Gua Hira

Ada dua peristiwa penting di Jabal Nur yang mengang­ kat namanya dalam sejarah Islam: pertama, Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama; dan kedua, Nabi SAW bersembunyi di sana setelah gagal memperoleh dukungan penduduk Ta’if.

Wahyu Pertama. Beberapa tahun sebelum dan setelah pernikahannya dengan Khadijah binti Khuwailid, Nabi Muhammad SAW sering menyendiri­ dan menyepi untuk melakukan ibadah malam (tatsannuts = bertafakur) di Gua Hira. Rasulullah SAW pergi ke gua itu dengan membawa bekal se­cukupnya.

Apabila bekal itu telah habis, Rasulullah SAW kembali ke rumah istrinya, Khadijah, guna mengambil bekal untuk hari-hari berikutnya. Demikianlah yang dilakukan Rasulullah SAW sampai suatu saat Jibril datang membawa wahyu pertama. Menurut sebagian ahli sejarah, peristiwa itu terjadi pada 17 Ramadan tahun 41 dari kelahiran Nabi SAW (6 Agustus 610).

Dengan perasaan takut dan gelisah, setelah peristiwa­ itu, Nabi SAW pulang ke rumah istrinya dan berkata, “Selimutilah aku, selimutilah aku.” Khadijah­ menyelimuti Nabi SAW sehingga hilanglah rasa ketakutannya. Setelah beliau menceritakan peristiwa yang dialaminya di Gua Hira itu, Khadijah segera mengajak Nabi SAW ke rumah Wa­raqah bin Naufal, anak paman Khadijah.

Wara­qah,­ seorang pemeluk agama Nasrani di zaman Jahiliah, pandai menulis kitab Injil dengan bahasa­ Ibrani­. Melalui dia, Muhammad SAW me­ngetahui­ bahwa­ dirin-ya akan diangkat menjadi nabi dan rasul sebagaimana Musa AS, yang menerima wahyu Allah SWT melalui Jibril (Namus).

Persembunyian. Wafatnya dua tokoh pembela Nabi Muhammad SAW, Abi Thalib (paman Nabi SAW) dan Khadijah, membuat orang Quraisy semakin gencar melakukan penganiaya­an­ terhadap Nabi SAW dan sahabat­nya. Kemudian­ beliau pergi ke Ta’if untuk mendapatkan dukungan dari Bani Saqif terhadap masyarakatnya sendiri, dengan harapan mereka dapat menerima­ Islam. Tetapi ternyata­ mereka juga menolaknya­ secara kejam.

Sungguhpun demikian, Nabi SAW masih mengharapkan­ mereka tidak memberitahukan kedatangannya­ dan meminta supaya tidak dicerca oleh ma­syarakatnya. Namun, permintaannya itu pun tidak didengar; malahan mereka menghasut masyara­kat­nya­ yang bodoh agar memaki-makinya. Oleh kare­na itu, Nabi SAW memutuskan untuk kembali lagi ke Mekah.

Dalam perjalanannya ke Mekah, Nabi SAW tidak langsung masuk kota, tetapi singgah dulu di Gua Hira dan dari sana beliau melakukan negosiasi untuk perlindungannya­ dengan kepala salah satu kabilah. Hal ini dilakukannya karena kabilahnya sendiri di bawah pimpinan Abu Lahab te­lah menolak untuk melindunginya. Lebih dari itu, kunjungan­ Nabi SAW ke Ta’if dan implikasi politiknya segera diketahui musuh Nabi SAW di Mekah, sehingga permusuhan mereka menjadi lebih keras lagi.

Orang pertama yang didekati Rasulullah SAW adalah Akhnas bin Syariq dari Bani Zuhrah dan Suhayl bin Amr dari Bani Amir. Namun mereka pun menolak untuk memberikan perlindungan atas dirinya. Akhirnya, Mut‘im bin Adi, kepala kabilah Bani Naufal, setuju memberi perlindungan atas diri Rasulullah SAW.

Daftar Pustaka

Haekal, Muhammad Husain. hayah Muhammad. Cairo: Matba‘ah as-Sunnah al-Muhammadiyah, 1968.
Ibnu Hisyam, Abdul Malik bin Hisyam al-Himyari. as-Sirah an-Nabawiyyah. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halami, 1355 H/1936 M.
Ma’luf, Louis. al-Munjid fi al-Lugah wa al-‘alam. Beirut: Dar al-Masyriq, 1986.
Ziyarah, Mahmud Muhammad. Dirasah fi at-Tarakh al-Islami, al-‘Arab Qabla al-Islam, as-Sirah an-Nabawiyyah, al-Khilafah ar-Rasyidah. Cairo: Matba‘ah Dar at-Ta’lif, 1968–1969.

Agus Halimi