Dalam bahasa Ibrani, isra berarti “hamba atau pilihan” dan il berarti “Allah”. Secara terminologis, Isra’iliyyat berarti “riwayat kaum Yahudi dan Nasrani pada masa Nabi Muhammad SAW dan para sahabat”. Istilah Isra’iliyyat banyak ditemukan dalam pembahasan tafsir dan hadis.
Sabir Tu’aimah (pakar tafsir Mesir) mendefinisikan Isra’iliyyat sebagai seluruh manuskrip berbentuk buku yang ditinggalkan Bani Israil (dikenal dengan nama Yahudi), yang berasal dari tradisi satu generasi ke generasi berikutnya, dan diramu dari berbagai sumber, termasuk dari kitab Perjanjian Lama; sampai munculnya Nabi Isa AS dan kemudian Islam. Definisi itu menggambarkan bahwa manuskrip Isra’iliyyat hanya terbatas pada peninggalan Yahudi.
Definisi lain dikemukakan oleh Muhammad Husain az-Zahabi (ahli tafsir Universitas al-Azhar, Cairo, Mesir) bahwa Isra’iliyyat merupakan kebudayaan Yahudi dan Nasrani yang dipelihara secara berkesinambungan dan berpengaruh dalam penafsiran Al-Qur’an atau sunah.
Gambaran mengenai kebudayaan Yahudi dan Nasrani ini meliputi etika, kisah, sejarah, hukum, dan hikayat yang ada dalam masyarakat serta penjelasan dari Injil. Di samping itu, termasuk juga dalam Isra’iliyyat berbagai tradisi, nasihat, dan penjelasan yang diriwayatkan dari Nabi Musa AS secara tidak tertulis yang diterima masyarakat Yahudi secara turun-temurun.
Isra’iliyyat mempengaruhi penafsiran Al-Qur’an dan sunah Rasulullah SAW sejak zaman para sahabat. Ketika Rasulullah SAW masih hidup, para sahabat berpegang sepenuhnya pada penjelasan Rasulullah SAW dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an.
Setelah Rasulullah SAW wafat, jika para sahabat memerlukan penafsiran ayat yang berkaitan dengan kisah umat masa lalu, sedangkan penjelasan Rasulullah SAW tidak ada dalam masalah itu, mereka menanyakannya kepada para sahabat yang dahulunya beragama Yahudi dan Nasrani.
Namun demikian para sahabat ini dalam memberikan penjelasan tidak terlepas dari pengaruh agama dan kebudayaan mereka dahulu (Yahudi atau Nasrani). Bahkan ada di antara mereka yang sengaja memasukkan unsur Yahudi dan Nasrani dalam penjelasannya.
Menurut Ibnu Khaldun (732 H/1332 M–808 H/1406 M), masuknya Isra’iliyyat ke dalam tafsir Al-Qur’an dan hadis diawali dengan keadaan orang Arab yang pada masa pra-Islam yang mempunyai pola budaya badawah (nomad) dan ummiyyah (buta huruf). Orang Arab tidak tahu banyak tentang penciptaan alam; kapan dan apa rahasia penciptaan alam.
Setelah kedatangan Islam, kaum Arab Muslim mencari tahu tentang hal di atas kepada para sahabat mereka yang dahulunya beragama Yahudi atau Nasrani. Penjelasan yang mereka berikan tidak bisa terlepas dari kebudayaan mereka sebelum masuk Islam, kecuali dalam hal yang berhubungan dengan hukum dan akidah. Sebab itu, menurut Ibnu Khaldun, banyak unsur Isra’iliyyat yang masuk ke dalam tafsir Al-Qur’an.
Sahabat yang sebelumnya beragama Yahudi atau Nasrani antara lain adalah Wahab bin Munabbih (34 H/655 M–110 H/729 M), Abdullah bin Salam (w. 43 H/664 M), Ka‘b al-Ahbar (w. 32 H/653 M), dan Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij (80 H/700 M–159 H/776 M). Mereka ini sering dirujuk dalam penafsiran ayat yang berkaitan dengan kisah masa lalu.
Menurut para mufasir, unsur Isra’iliyyat pada zaman sahabat masih relatif sedikit karena tidak menyentuh persoalan hukum dan akidah. Para sahabat dalam menerima unsur Isra’iliyyat cukup selektif; mereka membandingkannya dengan keterangan yang ada dalam Al-Qur’an dan sunah.
Jika ternyata bertentangan, penafsiran melalui riwayat Isra’iliyyat mereka tolak. Namun tingkat kehati-hatian para sahabat dalam menerima riwayat Isra’iliyyat ini pada zaman tabiin (generasi sesudah sahabat) mulai mengendur. Hal ini berlanjut seterusnya pada zaman berikutnya sehingga sebagian kitab tafsir yang disusun mengandung banyak unsur Isra’iliyyat. Keadaan ini menjadi lebih sulit ketika para mufasir dalam mengutip suatu riwayat untuk menafsirkan ayat tidak lagi mencantumkan sanad (penutur) riwayat itu sendiri.
Akibatnya, sulit dibedakan antara riwayat yang benar-benar dari Rasulullah SAW dan dari Isra’iliyyat. Faktor inilah, menurut az-Zahabi, yang membuat semakin berkembangnya penafsiran Isra’iliyyat dalam kitab tafsir. Bahkan, dikatakannya, tidak satu kitab tafsir pun yang terlepas dari riwayat Isra’iliyyat.
Dalam menerima riwayat Isra’iliyyat untuk menafsirkan Al-Qur’an atau hadis, terdapat perbedaan pendapat di antara ulama. Perbedaan ini muncul karena ada dalil yang membolehkan menerima riwayat itu dan ada pula dalil yang melarangnya. Az-Zahabi mengemukakan alasan ulama yang menolak unsur Isra’iliyyat antara lain:
(1) Surah al-Ma’idah (5) ayat 13 yang menyatakan bahwa orang Yahudi dan Nasrani telah mengubah, menambah, dan mengurangi kandungan kitab suci mereka. Adapun arti dari ayat tersebut adalah: “Mereka suka merubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit di antara mereka (yang tidak berkhianat)….”
(2) Hadis Rasulullah SAW yang menyatakan: “Jangan kamu membenarkan (riwayat) ahlulkitab (Yahudi dan Nasrani) dan jangan pula kamu mendustakannya, tetapi katakanlah kami beriman kepada Allah dan terhadap apa yang Ia turunkan kepada Kami” (HR. Bukhari).
(3) Hadis Rasulullah SAW dari Ibnu Mas‘ud yang menyatakan: “Jangan kamu bertanya kepada ahlulkitab karena mereka tidak akan memberi petunjuk kepada kamu, dan kadang mereka menyesatkan diri sendiri, lalu kamu membenarkannya, atau mereka membenarkan sesuatu yang batil” (HR. al-Bazzar).
Adapun alasan ulama yang membolehkan unsur Isra’iliyyat antara lain adalah:
(1) Firman Allah SWT dalam surah Yunus (10) ayat 94 yang berarti: “Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keraguraguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu. Sesungguhnya telah datang kebenaran kepadamu dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.”Ayat ini dengan jelas membolehkan umat Islam bertanya kepada ahlulkitab.
(2) Hadis Rasulullah SAW dari Abdullah bin Amr yang menyatakan: “Sampaikanlah yang datang dariku sekalipun satu ayat, serta ceritakanlah tentang (keadaan) Bani Israil tanpa kesulitan…” (HR. Bukhari).
(3) Sikap sebagian sahabat seperti Ibnu Abbas (Abdullah bin Abbas), Ibnu Mas‘ud, Abdullah bin Amr, dan Abu Hurairah yang sering bertanya kepada para sahabat yang dahulunya beragama Yahudi dan Nasrani dalam menafsirkan ayat yang berkaitan dengan kisah masa silam.
Az-Zahabi melihat bahwa kedua kelompok ulama yang bertentangan tersebut sama-sama memiliki dalil yang kuat. Sebab itu, harus dicarikan jalan keluarnya sehingga keberadaan Isra’iliyyat dalam tafsir akan lebih jelas.
Dalam kaitan ini, az-Zahabi mengikuti ketentuan yang ditetapkan Ibnu Taimiyah, yaitu membagi Isra’iliyyat menjadi tiga kategori:
(1) Isra’iliyyat yang didukung dalil syarak (Al-Qur’an atau sunah);
(2) Isra’iliyyat yang jelas bertentangan dan ditolak syarak; dan
(3) Isra’iliyyat yang tidak didukung syariat dan tidak juga bertentangan dengan syariat. Menurut Ibnu Taimiyah, dalam kategori pertama, Isra’iliyyat dapat dijadikan bahan penafsiran terhadap ayat Al-Qur’an dan sunah.
Pada kategori kedua, Isra’iliyyat tidak boleh dijadikan bahan penafsiran ayat atau hadis. Untuk kategori ketiga, umat Islam tidak boleh membenarkan dan tidak boleh pula mendustakan Isra’iliyyat; tetapi umat Islam boleh meriwayatkannya hanya untuk dalil pendukung dalam menafsirkan Al-Qur’an atau sunah.
Tokoh tafsir yang banyak merujuk riwayat Isra’iliyyat dalam tafsir mereka antara lain Ibnu Abbas, Ibnu Mas‘ud, Abdullah bin Amr bin As, Abdullah bin Salam, Abu Hurairah, dan Tamim ad-Dari dari kalangan sahabat; dan Ka‘b al-Ahbar serta Wahab bin Munabbih dari kalangan tabiin.
Dari kalangan tabi‘ at-tabi‘in (generasi sesudah tabiin) tercatat antara lain Muhammad bin Sa‘ib al-Kalbi (semula beragama Yahudi), Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij (semula beragama Nasrani), Muqatil bin Sulaiman (w. 250 H/864 M), dan Muhammad bin Marwan as-Suddi (murid Muhammad bin Sa‘ib al-Kalbi).
Kitab tafsir yang banyak memuat riwayat Isra’iliyyat, menurut az-Zahabi antara lain adalah Jami‘ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an (Penjelasan yang Memadai dalam Menafsirkan Al-Qur’an) atau disingkat Tafsir ath-tabari oleh Abu Ja‘far Muhammad bin Jarir at-Tabari; Tafsir Al-Qur’an al-‘Adzim atau dikenal sebagai Tafsir Ibnu Katsir oleh Ibnu Kasir; al-Kasyf wa al-Bayan ‘an Tafsir Al-Qur’an (Ungkapan dan Penjelasan dari Tafsir Al-Qur’an) oleh Muhammad bin Ibrahim as-Sa’labi (w. 437 H/1046 M); Tafsir al-Khazin oleh Alauddin Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Ibrahim bin Umar bin Khalil asy-Syaihi (678 H/1279 M–741 H/1341 M); dan Tafsir al-Alusi oleh Syihabuddin Mahmud al-Alusi.
Syekh Muhammad Rasyid Rida, yang menyusun Tafsir al-Manar, dikenal sebagai mufasir yang sangat menentang Isra’iliyyat. Namun, menurut az-Zahabi, ternyata dalam tafsirnya terdapat banyak riwayat yang bersumber dari Isra’iliyyat.
Kitab hadis yang banyak mengandung riwayat Isra’iliyyat antara lain Musnad al-Firdaus (disusun sesuai dengan urutan nama perawi) oleh ad-Dailami, Nawarid al-Ushul oleh Imam at-Tirmizi, dan Kitab al-‘Uzmah (Kitab yang Agung) disusun oleh Abu asy-Syaikh.
DAFTAR PUSTAKA
Ibnu Kasir, al-Hafidz Imaduddin Abu al-Fida’ Isma’il. Tafsir Al-Qur’an al-‘Azim. Beirut: ‘Alam al-Kitab, 1405 H/1985 M.
Ibnu Khaldun. Muqaddimah. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Rida, Muhammad Rasyid. Tafsir Al-Qur’an al-hakim (al-Manar). Cairo: Dar al-Manar, 1953.
az-Zahabi, Muhammad Husain. al-Isra’iliyyat fi at-Tafsir wa al-hadits. Damascus: Lajnah an-Nasyr, Dar al-Iman, 1985.
___________. at-Tafsir wa al-Mufassirun. Cairo: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1979.
Nasrun Haroen