Islam Waktu Telu

Islam Waktu Telu (Sasak: tiga) adalah suatu ajaran agama yang lahir dan berkembang dalam komunitas Sasak di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Ajaran ini bersumber dari ajaran Islam yang tidak utuh. Islam meyakini lima pokok ajaran wajib: syahadat, salat, puasa, zakat, dan haji, sedangkan Islam Waktu Telu meyakini hanya tiga: syahadat, salat, dan puasa. Karena itu kepercayaan mereka dinamai Islam Waktu Telu.

Sekarang sulit mengenali pengikut ajaran Islam Waktu Telu karena mereka enggan menyebut diri sebagai penganut Islam Waktu Telu. Bahkan mereka tidak senang jika disebut bukan muslim dan sering menunjukkan sikap fanatik Islam yang berlebihan.

Akar historis ajaran ini bersumber dari ajaran Islam yang diperkirakan masuk ke wilayah Lombok pada abad ke-15. Bukti sejarah mengungkapkan bahwa orang pertama yang mendakwahkan Islam ke daerah Lombok adalah Sunan Prapen, raja ketiga dari Kesultanan Giri di Jawa. Setelah itu, menyusul ulama dan mubalig lainnya yang juga berasal dari Jawa.

Pada waktu itu Lombok terdiri dari puluhan kerajaan kecil yang diperintah raja yang mandiri dan berdaulat. Raja tersebut masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan raja di Jawa (Majapahit) sehingga mereka pun dengan mudah dipengaruhi untuk mengganti ajaran mereka dari Hindu menjadi Islam ketika mengetahui raja di Jawa telah memeluk Islam.

Karena yang pertama menerima Islam adalah dari kalangan atas atau para raja, Sunan Prapen tidak menemukan banyak kesulitan mengajak masyarakat Lombok untuk memeluk Islam, kendatipun banyak di antara mereka yang sama sekali tidak memahami apa itu Islam.

Menghadapi kenyataan tersebut, para penyebar Islam pertama bertindak sangat hati-hati dan bijaksana. Masyarakat Lombok yang baru memeluk Islam itu tetap dibiarkan menjalankan tradisi lamanya, yakni ajaran Hindu.

Begitu pula ketika mereka mengajarkan syariat Islam, masyarakat tidak sekaligus dipaksakan untuk melakukan keseluruhan perintah syariat karena dikhawatirkan akan membebani mereka sehingga terkesan Islam sebagai ajaran yang sangat sulit dan berat. Syariat diperkenalkan secara bertahap sesuai dengan kondisi dan kemampuan masyarakat.

Jika telah berhasil mengislamkan raja dari suatu daerah, para penyebar Islam yang datang dari Jawa itu segera meninggalkan daerah tersebut menuju ke daerah lainnya untuk tujuan yang sama. Di daerah yang telah diislamkan ini mereka meninggalkan seorang kiai, yang juga dari Jawa, untuk mendampingi raja yang baru memeluk Islam itu. Kiai inilah yang diberi amanah untuk menyempurnakan pengajaran Islam di wilayah tersebut.

Para kiai ini pun menjalankan tugasnya dengan sangat hati-hati. Mula-mula yang diajarkan kepada masyarakat melalui raja adalah pengkhitanan anak laki-laki yang berusia di atas 7 tahun. Kemudian mereka diajarkan untuk memperingati dan merayakan hari besar Islam, seperti Maulid Nabi Muhammad SAW, bulan Muharam, bulan Safar, Syakban, dan salat pada hari Idul Fitri dan Idul Adha. Ajaran ini lalu dijadikan undang-undang dan peraturan oleh raja yang harus dipatuhi semua rakyat.

Dalam perkembangannya, para kiai, dengan bantuan raja, secara bertahap telah mengajarkan rukun Islam sampai pada rukun ketiga, yaitu syahadat, salat, dan puasa, sementara dua rukun lainnya sama sekali belum disinggung.

Ketiga rukun itu pun belum secara terperinci diajarkan dan baru diajarkan pada kalangan raja dan santri yang kelak akan menjadi pengganti kiai. Karena hanya tiga rukun Islam yang diamalkan, ajaran ini diberi nama Islam Waktu Telu untuk membedakannya dengan ajaran Islam yang sempurna yang mereka namai Islam Waktu Lima.

Dakwah Islam pada kalangan komunitas Sasak direncanakan masih akan terus berlangsung sampai mereka dapat memahami dan mengamalkan ajaran Islam secara benar dan utuh. Akan tetapi, pada abad ke-16 kekuasaan kerajaan Islam di Nusantara, termasuk Kesultanan Giri yang merupakan pusat penyebaran Islam pada masa itu, dilumpuhkan oleh penjajah. Akibatnya, penyebaran Islam menjadi tersendat.

Lama-kelamaan masyarakat Sasak yang telah mengamalkan syariat Islam yang belum sempurna ini memandang ajaran yang diterimanya itu sudah lengkap sehingga ajaran itulah yang diwariskan ke generasi berikutnya. Keyakinan ini begitu melekat di hati masyarakat sehingga ulama yang datang ke daerah ini setelah masa kemerdekaan dan mengajarkan syariat yang berbeda dari apa yang telah mereka amalkan ditolak.

Berkat ketekunan ulama, para mubalig, dan pembinaan yang terus-menerus oleh pihak Departemen Agama, sedikit demi sedikit masyarakat Islam Sasak menerima penjelasan syariat yang sempurna dan mengamalkan ajaran Islam secara utuh seperti umat Islam lainnya.

Akan tetapi, tetap saja ada golongan dalam komunitas tersebut yang sampai sekarang tidak bersedia mengubah kepercayaan yang telah diwariskan nenek moyang mereka. Golongan ini tidak banyak dan sulit diidentifikasi karena mereka hidup membaur dengan pemeluk agama Islam lainnya serta berpakaian dan bertingkah laku sama dengan umat Islam lainnya.

Perbedaannya hanya terletak pada keyakinan yang terwujud dalam ibadah mereka. Praktek ibadah mereka pun sangat beragam, berbeda antara satu daerah dan daerah lainnya.

Dalam komunitas Islam Waktu Telu, ibadah salat dan puasa hanya diwajibkan kepada para pemimpin agama, yaitu para kiai, karena merekalah nanti yang akan bertanggung jawab di hadapan Allah SWT.

Menurut keyakinan pengikutnya, segala dosa akan ditanggung oleh kiai, karena itu mereka menunjukkan kepatuhan yang luar biasa kepada pemimpin agamanya. Mereka akan mendapat pahala dan siksaan berdasarkan tingkat kepatuhan mereka kepada kiai. Kewajiban pengikut hanyalah menunaikan perintah dan menjauhi larangan yang digariskan kiai.

Dalam hal pelaksanaan ibadah salat, para pengikut ajaran ini terpecah ke dalam tiga kelompok: (1) kelompok Pujut dan Bayan, (2) kelompok Rambitan dan Sapit, dan (3) kelompok Sembalun. Pada kelompok Pujut dan Bayan, kiai mereka hanya melaksanakan empat jenis salat, yaitu salat Jumat, salat jenazah, salat Idul Fitri, dan salat sunah pada bulan tertentu, misalnya, bulan Muharam.

Kiai kelompok Rambitan dan Sapit melaksanakan salat Jumat, salat magrib dan isya dalam bulan Ramadan, salat subuh pada hari Idul Fitri, dan salat Idul Fitri. Adapun kiai kelompok Sembalun mengamalkan salat subuh pada hari Idul Fitri, salat Idul Fitri, salat Jumat, dan salat asar pada hari Kamis.

Meskipun cara salat mereka hampir sama dengan yang umum diamalkan umat Islam, terdapat perbedaan yang prinsip dalam hal bacaan dan lafal niat salat. Perbedaan pengamalan juga terjadi dalam pelaksanaan puasa.

Adapun ucapan syahadat diamalkan oleh kiai dan seluruh pengikutnya tanpa ada perbedaan, hanya saja mereka mengucapkan syahadat dan doa bukan dalam bahasa Arab, melainkan dalam bahasa Jawa madya. Umumnya penganut ajaran ini masih mencampurbaurkan ajaran Islam yang mereka warisi dengan adat tradisi leluhur mereka, yaitu Hindu.

DAFTAR PUSTAKA

Mulia, Musdah. Ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam Komunitas Etnis Sasak di Lombok, NTB. Jakarta: Laporan Penelitian Badan Litbang Departemen Agama RI, 1989.

al-Munzir, Munzir. Naskah Kuno di Lombok, NTB. Jakarta: Laporan Penelitian Badan Litbang Departemen Agama RI, 1994.

Musdah Mulia