Salah satu aliran keagamaan Islam yang dianggap oleh sebagian umat Islam Indonesia sebagai kelompok sempalan eksklusif adalah Islam Jamaah. Sejak 1971 Islam Jamaah dinyatakan terlarang oleh Kejaksaan Agung RI. Kelompok Islam Jamaah, yang dipimpin oleh H Nurhasan al-Ubaidah dan H Nurhasyim, muncul di Jawa Timur pada tahun 1950-an. Kedua tokoh ini telah meninggal dunia.
Sama seperti kalangan umat Islam lainnya, Islam Jamaah juga menganggap Al-Qur’an dan sunah Nabi SAW sebagai sumber dari segala sumber hukum bagi umat Islam. Namun pemahaman dan penafsiran Islam Jamaah sering kali berbeda karena mereka juga memiliki cara pandang yang berbeda.
Kelompok ini menganggap belum ada satu kelompok Islam pun yang menunjukkan pengamalan Al-Qur’an dan sunah Nabi Muhammad SAW secara murni. Kelompok Islam Jamaah banyak berbeda dalam pemakaian nas Al-Qur’an dan hadis Nabi SAW, terutama yang berkaitan dengan soal kepemimpinan umat (keamiran), baiat, dan hakikat Islam sendiri.
Kelompok ini melihat bahwa telah terjadi krisis kepemimpinan umat. Di Indonesia tidak ada lagi pemimpin yang dapat menjadi panutan dan layak dihormati, sehingga mereka merasa perlu untuk mengangkat seorang pemimpin (amir). Baiat dari kaum muslim terhadap orang yang pantas dijadikan imam dan khalifah Allah SWT di bumi itu wajib dilaksanakan sebagai tanda kesetiaan kepadanya.
Sebagai koreksi atas kondisi umat Islam Indonesia, kelompok Islam Jamaah ini memandang perlu untuk melakukan empat hal.
(1) Berdakwah dengan semboyan kembali kepada Al-Qur’an dan sunah Nabi SAW dilakukan secara langsung tanpa penafsiran pendapat ulama terdahulu agar mudah untuk mengamalkannya.
(2) Berhimpun dalam wadah jemaah dilaksanakan bukan saja dalam salat, tetapi dalam seluruh segi kehidupan kemasyarakatan dan keagamaan. Ini didasarkan atas firman Allah SWT, yang berarti:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuh-musuhan, maka Allah menjinakkan antara hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara” (QS.3:103).
Selain itu, seruan agar berhimpun dalam wadah jemaah juga terdapat dalam hadis riwayat Bukhari yang menyatakan bahwa berjemaah dalam salat mendapat pahala 27 kali lipat dibandingkan salat sendirian; hadis riwayat at-Tirmizi yang menyatakan bahwa berjemaah berarti memenuhi satu syarat masuk surga; dan hadis riwayat Bukhari dan at-Tirmizi,
“Tetapilah olehmu sekalian berjemaah dan jauhilah berfirqah (berkelompok-kelompok). Sesungguhnya barangsiapa yang memisahkan diri dari jemaah (tidak berjemaah) kemudian mati, maka matilah ia dalam keadaan jahiliah.”
(3) Pengangkatan seorang amir dilakukan melalui proses baiat secara sah berdasarkan petunjuk Allah SWT dan rasul-Nya. Amir berfungsi antara lain sebagai imam salat, pengajar Al-Qur’an dan hadis, sumber fatwa serta tempat meminta nasihat, dan pengatur kehidupan spiritual jemaah.
(4) Baiat tidak dapat dipisahkan dengan tema jemaah dan keamiran. Prinsip ini didasari ayat Al-Qur’an, “Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah” QS.48:10).
Serta hadis, “Barangsiapa yang mati, sedang pada lehernya tiada baiat (tidak pernah mengucapkan baiat) maka matilah ia di dalam keadaan jahiliah” (HR. Muslim) dan “Barangsiapa telah baiat kepada imam kemudian ia memberikan tangannya pada imam itu dan memberikan hatinya (karena Allah), hendaklah ia taat kepadanya sepanjang ia mampu” (HR. Abu Dawud).
Tokoh utama dan pendiri aliran ini, H Nurhasan al-Ubaidah, lahir pada tahun 1908 di Desa Bangi, Kecamatan Purwosari, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Ia adalah putra H Abdul Aziz bin H Muhammad Tahir bin H Muhammad Irsyad. Nama aslinya adalah Madigol, yang kemudian menjadi Nur hasan setelah menunaikan ibadah haji pada 1929. Adapun nama al-Ubaidah diambil dari gurunya, Kiai al-Ubaidah dari Sampang, Madura.
Selain belajar di beberapa pesantren di Jawa dan Madura (antara lain Pondok Lirboyo, Kediri dan Pondok Sampang, Madura), ia juga belajar agama kepada beberapa ulama di Mekah selama 10 tahun (sejak 1933). Ia belajar di Madrasah Darul Hadis di Desa Samiyah dan Rukbat Naqsyabandiyah (nama ini tidak ada kaitannya dengan Tarekat Naqsyabandiyah) serta berguru pada Syekh Abu Samah dari Mesir dan Syekh Abu Umar Hamdan dari Maroko.
Ketika belajar di Madrasah Darul Hadis, ia banyak dipengaruhi gurunya sehingga timbul fanatisme yang mendalam terhadap pemahaman Islamnya sendiri. Setelah kembali ke Indonesia, pada tahun 1941 al-Ubaidah memulai dakwahnya. Langkah pertama yang dilakukannya hanya terbatas di kalangan keluarga dan masyarakat sekitarnya. Dalam waktu singkat dakwahnya telah menyebar ke beberapa daerah lain.
Pada tahun itu pula ia mendapatkan baiat dari para muridnya dengan diangkat sebagai imam jemaah. Dengan baiat tersebut ia mendapat semangat untuk lebih menyebarluaskan paham agamanya.
Pada permulaan tahun 1953 ia mulai merintis pendirian lembaga pendidikan tradisional di kampungnya di bawah naungan Yayasan Pendidikan Islam Jamaah. Lembaga itu dinamakannya Darul Hadis, sama dengan nama perguruannya. Berbeda dengan Darul Hadis di Malang yang menitikberatkan pelajaran tentang hadis, Darul Hadis di Kediri ini menekankan pelajaran tentang doktrin jemaah, keamiran, baiat, dan ketaatan.
Nurhasan terkenal memiliki keahlian yang menarik orang untuk menjadi pengikutnya, antara lain ilmu kebatinan, yang telah dipelajarinya sejak ia masih belajar di pesantren, dan ilmu bela diri. Karena kelebihannya itu, pengikutnya memberi tambahan nama “Lubis” di belakang namanya, yang merupakan singkatan dari “luar biasa”.
Di samping kegiatan sebagai guru mengaji, ia juga terkenal sebagai usahawan yang berhasil dalam bidang perdagangan dan pertanian. Ia mewakafkan semua harta miliknya untuk kepentingan agama. Nurhasan wafat pada 1985 akibat kecelakaan lalu lintas di Cirebon, Jawa Barat.
Tokoh kedua dari gerakan ini adalah H Nurhasyim, seorang sarjana Fakultas Tarbiyah (Pendidikan) IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, yang sebelumnya pernah belajar di Pondok Modern Gontor, Ponorogo. Melalui diskusi masalah keagamaan, ia tertarik pada ajaran yang dibawa al-Ubaidah yang menjadi salah seorang guru sekaligus kawannya.
Nurhasyim menjadi pengikut Nurhasan sejak tahun 1956. Untuk menyebarkan paham Islam Jamaah, Nurhasyim menulis buku 7 Fakta sebagai Keamiran Jamaah di Indonesia dan Menunda Baiat Merugikan Diri Sendiri. Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui.
Keamiran dalam Islam Jamaah terbentuk secara hierarkis. Di tingkat pusat (Pondok Burengan, Kediri) berkuasa amirul mukminin. Selanjutnya ada amir daerah (setingkat gubernur), amir desa (setingkat bupati), dan amir kelompok (setingkat camat).
Kelompok ini sangat menekankan sikap disiplin dan tanggung jawab sesama jemaahnya dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, juga sangat ditekankan kesadaran tentang pentingnya kewajiban infak dan sedekah untuk membiayai perjuangan Islam. Sebagian dari dana jemaah ini digunakan untuk membiayai para amir.
Setelah aliran Islam Jamaah dilarang, bekas pengikut Islam Jamaah bernaung di bawah Pesantren Lemkari (Lembaga Karyawan Dakwah Islam) yang berdiri pada tahun 1982. Pusat kegiatannya tetap di Desa Burengan, Kediri. Beberapa cabangnya tersebar di daerah, antara lain di Jakarta, Semarang, Magelang, dan Palembang.
Pengajaran kelompok ini lebih menekankan pengamalan keagamaan, seperti salat berjemaah dan pembudayaan zakat sebagai refleksi kehidupan bermasyarakat berdasarkan Al-Qur’an dan hadis. Pada tahun 1988 kegiatan pesantren ini dibekukan atas usul MUI Jawa Timur yang menilai lembaga ini tetap melaksanakan ajaran Islam Jamaah yang sudah dilarang.
Pada tahun 1990 Lemkari mengubah namanya menjadi LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia). Lembaga ini mengalami perkembangan yang pesat. Menurut catatan Departemen Agama, saat ini jemaahnya berjumlah lebih dari 30 juta orang. Lembaga ini memiliki daya tarik bagi orang awam yang ingin mempelajari agama Islam karena sistem pengajarannya tidak terlalu rumit.
Murid belajar mengaji dari Al-Qur’an dan hadis yang sudah diterjemahkan. Lembaga ini memiliki dewan yang khusus mengajarkan agama bagi jemaah yang membutuhkan amalan semata. Hal ini dilakukan karena LDII melihat banyak jemaah yang ingin langsung mempraktekkan ajaran agamanya.
Tuduhan dari beberapa organisasi keagamaan lain maupun individu bahwa LDII tetap menjalankan aliran Islam Jamaah masih terdengar. Tuduhan itu timbul antara lain karena adanya eksklusivitas para pengikut LDII, yang diindikasikan dari ketidakmauan pengikutnya untuk salat berjemaah dengan umat Islam lain, dan kecenderungan pengikutnya untuk melangsungkan pernikahan hanya dengan sesama anggota. Namun Departemen Agama sendiri menilai bahwa LDII bukan merupakan ajaran sesat.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Marzani. “Gerakan Islam Jamaah,” Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia, ed. Abdul Aziz, dkk. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989.
Boland, B.J. Pergumulan Islam di Indonesia, terj. Syafruddin Bahar. Jakarta: Grafiti Press, 1985.
Sumardi, Muljanto. Penelitian Agama: Masalah dan Pemikiran. Jakarta: Litbang Agama Depag RI & Penerbit Sinar Harapan, 1982.
A. Saifuddin