Inkarsunah

(Ar.: inkar as-sunnah)

Orang yang menolak sunah (hadis) Rasulullah SAW sebagai hujah dan sumber kedua ajaran Islam yang wajib ditaati dan diamalkan disebut inkarsunah. Imam Syafi‘i menyatakan bahwa kelompok ini muncul di penghujung abad ke-2 atau awal abad ke-3 Hijriah.

Orang inkarsunah sebenarnya terdiri dari tiga kelompok dengan tiga sikap yang berbeda. Kelompok pertama adalah golongan yang menolak hadis sebagai hujah secara keseluruhan. Argumentasi kelompok pertama ini dalam menolak hadis sebagai sumber kedua ajaran Islam adalah sebagai berikut.

(1) Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab. Dengan penguasaan bahasa Arab yang baik, Al-Qur’an akan dapat dipahami dengan baik, tanpa memerlukan bantuan penjelasan dari hadis­.

(2) Al-Qur’an adalah penjelas segala sesuatu (QS.16:89). Hal ini berarti bahwa penjelasannya mencakup apa yang diperlukan manusia. Dengan demikian maka tidak perlu lagi penjelasan lain selain Al-Qur’an.

(3) Hadis sampai kepada kita melalui suatu proses periwayatan yang tidak dijamin bersih dari kekeliruan, kesalahan, dan kedustaan terhadap Rasulullah SAW. Oleh karena itu nilai kebenarannya tidak meyakinkan (Zanni). Karena status kezannian ini, hadis tersebut tidak dapat dijadikan sebagai penjelas Al-Qur’an yang diyakini kebenarannya.

Dari ketiga argumentasi ini mereka menolak otoritas hadis sebagai hujah dan sumber kedua ajaran Islam. Dalam prinsip mereka sunah tidak perlu ditaati dan diamalkan. Sumber satu-satunya ajaran Islam bagi mereka adalah Al-Qur’an.

Imam Syafi‘i memberikan jawaban atas argumen mereka dengan mengatakan sebagai berikut.

(1) Al-Qur’an sendiri dalam banyak ayatnya mengatakan bahwa umat Islam harus menjauhi larangan dan mengikuti perintah Allah SWT dan Rasul-Nya. Perintah dan larangan Rasulullah SAW ini hanya dapat diketahui setelah ia wafat, melalui hadisnya. Dengan demikian landasan utama bagi otoritas hadis sebagai hujah dan sumber ajaran Islam kedua adalah Al-Qur’an sendiri.

(2) Dengan menguasai bahasa Arab, orang akan tahu bahwa Al-Qur’an-lah yang memerintahkan mereka untuk mengikuti sunah Rasulullah SAW yang diriwayatkan para periwaya tepercaya (as-sadiqun). Pernyataan ayat untuk mengikuti sunah Rasulullah SAW sama halnya dengan perintah mengikuti Al-Qur’an. Dalam hal ini Imam Syafi‘i mengemukakan surah al-Jumu‘ah (62) ayat 2 dan surah al-Ahzab (33) ayat 34.

(3) Al-Qur’an mengandung banyak perintah dan larangan yang bersifat umum tanpa memberikan bagaimana perincian pelaksanaannya. Dalam ayat yang bersifat umum ini diperlukan penjelasan dan perincian pelaksanaannya. Kalau tidak, hamba Allah SWT tidak akan dapat melaksanakan perintah atau larangan tersebut sesuai dengan kehendak-Nya. Disinilah hadis Rasulullah SAW berfungsi.

Kelompok kedua dari inkarsunah adalah kelompok yang menolak hadis yang kandungannya tidak disebutkan dalam Al-Qur’an, baik secara implisit maupun eksplisit. Ini berarti hadis tidak mempunyai otoritas untuk menentukan hukum baru, di luar yang disinggung Al-Qur’an. Argumentasi yang dikemukakan kelompok kedua ini sama seperti yang dikemukakan kelompok pertama, yakni bahwa Al-Qur’an telah menjelaskan segala sesuatu yang berhubungan dengan ajaran Islam.

Akan tetapi dengan menyimak bantahan Imam Syafi‘I di atas, argumen kelompok kedua ini pun akan pupus. Jika dikatakan bahwa hadis itu zanni karena diproses dengan jalan yang zanni, dari sekian banyak hadis itu ada juga yang sifatnya qath‘i.

Terhadap hadis yang zanni ini Imam Syafi‘i juga mengatakan bahwa tidak semua hadis yang zanni tersebut dapat dijadikan hujah, kecuali kalau hadis tersebut memenuhi persyaratan sahih atau hasan (Hadis). Kekeliruan dan kesalahan dalam periwayatan sebagian hadis tidak bisa dijadikan argumentasi untuk menolak otoritas hadis sebagai hujah dan sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an.

Argumen Imam Syafi‘i tersebut telah berhasil membendung gerakan inkarsunah untuk kurun waktu yang cukup panjang, karena sejak saat itu tidak pernah lagi tercatat dalam sejarah adanya inkarsunah, kecuali pada akhir abad ke-19 dan abad ke-20. Oleh karenanya dalam sejarah Islam dikenal dua bentuk pemunculan gerakan inkarsunah ini, yakni yang dikenal dengan inkarsunah tempo dulu (munkir as-sunnah qadim) dan inkarsunah abad modern (munkir as-sunnah hadits).

Inkarsunah di zaman Imam Syafi‘i tersebut sukar untuk diidentifikasi, karena Imam Syafi‘i sendiri tidak menjelaskan siapa lawan diskusinya tersebut. Namun, Khudari Bek (seorang ahli usul fikih Mesir) mempunyai asumsi bahwa inkarsunah di zaman Imam Syafi‘i adalah dari kalangan teolog Muktazilah.

Asumsi Khudari ini muncul berdasarkan isyarat Imam Syafi‘i sendiri yang menunjukkan bahwa mereka itu dari Basrah. Sebagaimana diketahui dalam sejarah, Basrah ketika itu merupakan pusat kegiatan ilmiah yang menyangkut ilmu kalam (teologi). Dari kota Basrah inilah berkembang paham Muktazilah.

Dalam sejarah, tokoh Muktazilah dikenal sebagai yang banyak mengkritik ahlulhadis (orang yang dalam menetapkan hukum hanya berpegang pada Al-Qur’an dan hadis, tanpa ijtihad).

Berbeda dengan asumsi di atas, Muhammad Abu Zahrah (ahli usul fikih, fikih, dan kalam) berpendapat bahwa kelompok inkarsunah di abad ke-2 dan ke-3 Hijriah tersebut adalah orang zindik yang secara lahiriah mengaku Islam tetapi secara batiniah ingin menghancurkan Islam, bukan dari kalangan Muktazilah.

Penolakannya terhadap tuduhan bahwa Muktazilah-lah yang menjadi lawan diskusi Imam Syafi‘i pada waktu itu didasarkan pada argumen bahwa Muktazilah sendiri tetap mengakui dan menerima hadis sebagai sumber ajaran Islam. Selanjutnya Abu Zahrah juga mengasumsikan bahwa sebagian dari kelompok inkarsunah tersebut, di samping para zindik, adalah dari kalangan Khawarij.

Abu Zahrah memberi alasan bahwa ada di antara penganut paham Khawarij ini yang mengakui hukuman rajam. Padahal hukuman rajam tidak disebutkan Al-Qur’an.

Kelompok inkarsunah klasik sulit diidentifikasi secara pasti, sebaliknya para tokoh inkarsunah abad modern dapat dikemukakan dengan jelas. Tokoh yang terkenal adalah Tawfiq Sidqi (w. 1920, dari Mesir), Gulam Ahmad Parvez (lahir 1920 di India), Rasyad Kahlifa (lahir di Mesir dan menetap di Amerika Serikat), dan Kassim Ahmad (dari Malaysia). Tawfiq Sidqi mengatakan bahwa sumber ajaran Islam itu hanyalah Al-Qur’an.

Gulam Ahmad Parvez merupakan pengikut setia ajaran Tawfiq Sidqi. Ia mengemukakan pendapat terkenal bahwa cara pelaksanaan salat terserah kepada para pemimpin umat untuk menentukannya secara musyawarah sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi masyarakat. Jadi, tidak perlu ada hadis Nabi SAW untuk itu.

Rasyad Kahlifa hanya mengakui Al-Qur’an sebagai satu-satunya sumber ajaran Islam. Ia menolak hadis dan bahkan menilainya sebagai buatan iblis yang dibisikkan kepada Nabi SAW. Kassim Ahmad secara vokal menyatakan bahwa ia pengagum Rasyad Khalifa. Oleh karena itu pandangannya tentang hadis Rasulullah SAW sejalan dengan Rasyad Khalifa. Melalui bukunya Hadis sebagai suatu Penilaian Semula, Kassim menyerukan agar umat

Islam meninggalkan hadis karena menurut penilaiannya hadis adalah ajaran palsu yang dikaitkan dengan Rasulullah SAW. Hadis juga menurutnya merupakan penyebab pertama terjadinya perpecahan dan kemunduran umat Islam.

Tokoh inkarsunah di Indonesia antara lain Abdul Rahman, Moch. Irham, Sutarto, dan Lukman Saad. Kelompok ini sempat meresahkan masyarakat. Atas kejadian ini maka keluarlah SK Jaksa Agung No. Kep 169/J.A./1983 tertanggal 30 September 1983 yang berisi larangan terhadap aliran inkarsunah di Indonesia.

Kelompok ketiga dari inkarsunah adalah mereka yang hanya menerima hadis mutawatir sebagai hujah dan menolak kehujahan hadis ahad (hadis), sekalipun ada di antara hadis ahad ini yang memenuhi syarat sahih. Mereka mengemukakan alasan utama bahwa hadis ahad itu bernilai zanni (zanni al-wurud = proses penukilannya tidak meyakinkan).

Dengan demikian kebenaran yang datang dari Rasulullah SAW tidak dapat diyakini sebagaimana hadis mutawatir. Menurut mereka, urusan agama haruslah didasarkan pada dalil qath‘i yang disepakati kebenarannya. Dalil qath‘i yang diterima semua umat dan diyakini kebenarannya hanyalah Al-Qur’an dan hadis mutawatir.

Mereka melandasi alasan mereka dengan surah al-Isra’ (17) ayat 36 yang berarti: “Dan jangan kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya” dan surah al-Najm (53) ayat 28 yang berarti: “sesungguhnya persangkaan itu tidak berguna sedikit pun terhadap kebenaran.” Pemakaian ayat tersebut­ tentunya ditafsirkan menurut pendapat dan motivasi mereka.

Imam Syafi‘i, sebagaimana ulama lainnya, mengakui bahwa hadis ahad tersebut memang bernilai zanni, karena proses periwayatannya dapat mengalami kekeliruan. Oleh karena itu, tidak semua hadis ahad dapat diterima dan dijadikan hujah, kecuali kalau hadis ahad tersebut memenuhi persyaratan sahih atau hasan. Sehubungan dengan hal itu adalah keliru dan tidak benar pandangan yang menolak otoritas kehujahan hadis ahad secara keseluruhan.

Imam Syafi‘i juga mengemukakan alasan lain dengan menganalogikan hadis ahad dengan status dua orang saksi dalam membuktikan sesuatu.

Jika kita membenarkan kesaksian dua orang saksi yang mengatakan bahwa seseorang telah membunuh orang lain, padahal kita masih meragukan kebenaran kedua saksi itu atau paling tidak tingkat kebenarannya adalah zanni, maka berarti kita telah membunuh (kisas) seseorang berdasarkan sesuatu yang zanni, sedangkan larangan tidak boleh membunuh orang dinyatakan secara qath‘i dalam Al-Qur’an.

Jika dalam kasus saksi ini kita dapat melakukan hukuman kisas berdasarkan kebenaran yang bersifat zanni, maka timbul pertanyaan mengapa hadis ahad yang memenuhi syarat sahih yang juga bersifat zanni tidak dapat diterima?

Dalam sejarah tercatat bahwa tidak semua sahabat senantiasa berada di samping Nabi SAW untuk menghafal atau menerima pesan Nabi SAW, karena para sahabat pun sebagai manusia sibuk dengan aktivitas keseharian mereka. Jika hadis yang harus dijadikan hujah tersebut harus mutawatir, tentunya Rasulullah SAW akan senantiasa mengumpulkan sahabatnya jika ingin memberi pesan kepada umatnya.

Di samping itu tidak sedikit para sahabat diutus Nabi SAW ke daerah untuk menyampaikan pesan agama. Pada saat itu tidak muncul kekhawatiran akan tidak diterimanya kabar ahad dari sahabat yang diutus Nabi SAW tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Bek, Muhammad Khudari. Tarikh at-Tasyri‘ al-Islami. Cairo: al-Babi al-Halabi, t.t.

Djamaluddin, M. Amin. Bahaya Inkar Sunnah. Jakarta: Ma’ad ad-Dirasah al-Islamiyah, 1986.

asy-Syafi‘i, Abi Abdillah Muhammad bin Idris. ar-Risalah. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

_________. al-’Umm. Beirut: Dar al-Fikr, 1973.

Zahrah, Muhammad Abu. asy-Syafi‘i Hayatuh wa ‘Atsaruh, ‘ara’uh wa Fiqhuh. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1978.

Nasrun Haroen