Secara kebahasaan, takhrij berarti “menyatukan dua hal yang berbeda dalam satu kesatuan”. Dalam ilmu hadis, takhrij berarti “upaya untuk mengetahui sumber utama suatu hadis, menelusuri serta menilai rangkaian silsilah (sanad) periwayat (rijal) hadisnya, menjelaskan tingkatannya, dan menimbang apakah hadis tersebut dapat dijadikan dalil hukum (hujah) atau tidak”.
Secara kebahasaan takhrij memiliki akar kata kharaja, kharraja-yukharriju-takhrij. Istilah ini juga berarti istinbat (menggali, mengeluarkan), tadrib (pembiasaan, latihan), taujih (penjelasan), ibraz (mengeluarkan), dan izhar (melahirkan).
Takhrij sangat dibutuhkan dalam ilmu hadis. Misalnya, seseorang menyatakan bahwa kalimat “…ahabbu al-adyan ila Allah, al-hanifiyyah as-samhah…” (agama yang paling dicintai Allah adalah agama yang toleran) merupakan suatu hadis. Namun, pada matan (teks) hadis tersebut tidak dijelaskan sumbernya sehingga memberi kemungkinan bahwa kalimat tersebut merupakan potongan atau bagian dari suatu hadis panjang.
Melalui takhrij dapat diketahui secara terperinci sumber hadis tersebut dan para perawi yang menghubungkan penulis kitab hadis itu dengan Rasulullah SAW.
Metode. Takhrij dapat ditempuh melalui lima cara.
(1) Takhrij berdasarkan awal kata dari matan hadis. Untuk melakukannya, terlebih dahulu harus diketahui seluruh atau sekurang-kurangnya awal suatu matan hadis. Kemudian dilihat huruf awal kata yang paling awal dari matan hadis tersebut. Misalnya, matan hadis “man gassana fa laisa minna” (barangsiapa menipu, bukan umatku) dapat ditelusuri pada kitab takhrij bab mim dan nun (huruf awal dan kedua pada kata pertama hadis tersebut, man).
Pada kitab tersebut akan ditemukan penjelasannya, sumber kitab hadis utama yang mencantumkan hadis tersebut (misalnya, sahih al-Bukhari dan sahih Muslim), serta jalur dan rangkaian silsilahnya sampai kepada Nabi SAW.
Kitab berikut merupakan kitab hadis yang disusun dengan menggunakan metode ini secara kronologis hija’iyyah (alfabetis) dari huruf alif hingga ya’ berdasarkan huruf pertama dari lafal awal yang ada pada hadis tersebut.
Kitab al-Jami‘ as-sagir min Hadits al-Basyir an-Nadzir (Koleksi Kecil Hadis Kabar Gembira dan Peringatan), al-Fath al-Kabir fi Damni az-Ziyadah ila al-Jami‘ as-sagir (Suplemen Kitab al-Jami‘ as-sagir), dan Jam‘ al-Jawami‘ (Kitab Himpunan) atau disebut juga al-Jami‘ al-Kabir (Himpunan Besar), ketiganya karya Jalaluddin as-Suyuti; al-Jami‘ al-Azhar min Hadits an-Nabi al-Anwar (Untaian Bunga dari Hadis Nabi Pembawa Sinar), Kanz al-haqa’iq fi Hadits Khair al-Khala’iq (Perbendaharaan Hadis dari Manusia Pilihan), keduanya karya Abdur Rauf bin Tajuddin Ali al-Hadi al-Munawi (952 H/1545 M–1031 H/1622 M).
Hidayah al-Bari ila Tartib Ahadits al-Bukhari (Petunjuk yang Baik ke Arah Hadis Bukhari) karya Abdur Rahman bin Anbar at-Tahtawi (w. 365 H/976 M); al-Maqasid al-hasanah fi Bayan Katsir min Ahadits al-Musytahirah ‘ala Alsinah (Penjelasan yang Baik Bagi Hadis Terkenal) karya as-Sakhawi; dan Kitab Tamyiz ath-thayyib min al-Khabits fi ma Yadur ‘ala Alsinah an-Nas min al-Hadits (Kitab Pembeda antara yang Baik dan yang Buruk dari Perkataan Manusia tentang Hadis) karya Abdur Rahman bin Ali ad-Dabi’ (murid as-Sakhawi).
(2) Takhrij berdasarkan lafal pada matan hadis. Metode ini dilakukan dengan cara menelusuri hadis berdasarkan huruf awal kata dasar pada lafal yang ada pada matan hadis, baik ism (kata benda) maupun fi‘l (kata kerja).
Dalam hal ini huruf tidak dijadikan pegangan. Misalnya, ditemukan hadis “innama al-a‘mal bi an-niyyat” (sesungguhnya berpahala tidaknya amal tergantung dari niat) dapat ditelusuri melalui lafal al-a‘mal dari ‘ain sebagai huruf awal dari kata dasar al-a‘mal, yakni ‘amal atau ‘amalan.
Bisa juga melalui lafal an-niyyat dari huruf nun sebagai awal dari kata dasar an-niyyat yakni nawa (niyyat). Hadis ini tidak bisa ditelusuri melalui lafal innama atau bi karena keduanya dalam bahasa Arab dikategorikan sebagai huruf.
Kitab takhrij yang menggunakan metode ini antara lain al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfaz al-Hadits an-Nabawi (Indeks Hadis Nabi) karya A.J. Wensinck (ahli keislaman Universitas Leiden), yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Dr. Muhammad Fu’ad Abdul Baqi (ahli hadis).
Kitab ini memuat susunan lafal (ism dan fi‘l) secara hija’iyyah yang terdapat pada matan hadis al-Kutub at-Tis‘ah (Kitab Yang Sembilan) yaitu Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan at-Tirmidzi, Sunan Abi Dawud, Sunan an-Nasa’i, Sunan Ibn Majah, Sunan ad-Darimi, al-Muwaththa’, dan Musnad al-Imam Ahmad Ibn hanbal.
Kitab lain yang disusun dengan menggunakan metode ini adalah Fihris Sahih Muslim (Indeks Sahih Muslim) karya Muhamad Fu’ad Abdul Baqi, dan Fihris Sunan Abu Dawud (Indeks Sunan Abi Dawud) karya Ibnu Bayumi yang diuraikan oleh Mahmud Khattah as-Subki.
(3) Takhrij berdasarkan perawi paling atas. Menelusuri hadis dengan cara ini terlebih dahulu harus mengetahui perawi paling atas dari hadis tersebut, terkadang dari kalangan sahabat jika hadis tersebut muttasil atau dari tabiin jika hadis mursal.
Jika terdapat hadis yang tidak disebutkan perawi atasnya, dapat ditelusuri dengan cara lain. Kitab yang memuat hadis dengan metode ini terbagi dua:
(1) al-Masanid (kitab Musnad) yaitu kitab yang disusun secara hija’iyyah berdasarkan nama perawi paling awal dari kalangan sahabat atau tabiin dan
(2) Kutub al-Athraf (Kitab “Sudut”), yaitu kitab yang memuat bagian awal (athraf, “sudut”) matan hadis dari kitab hadis tertentu secara hija’iyyah berdasarkan nama perawi paling atas.
Kitab al-Masanid berjumlah cukup banyak, antara lain yang paling terkenal adalah Musnad al-Imam Ahmad Ibn hanbal karya Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali). Adapun yang termasuk Kutub al-Athraf antara lain Athraf as-Sahih ain (Kitab “Sudut” untuk Bukhari Muslim) karya Abu Mas‘ud Ibrahim bin Muhammad bin Ubaid ad-Dimasqi (w. 400 H/1010 M).
Athraf as-sahihain (Kitab “Sudut” Bukhari Muslim) karya Khalf bin Hamdun al-Wasiti (w. 401 H/1011 M), Athraf Kutub as-Sittah (Kitab “Sudut” dari Enam Kitab Hadis dari Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah) karya Syamsuddin Abu al-Fadl Muhammad bin Tahir bin Ahmad al-Maqdisi al-Qaisarani (w. 507). Kitab lain yang juga menggunakan cara ini adalah Tuhfah al-Asyraf bi Ma‘rifah al-Asyraf (Persembahan Mulia dalam Mengetahui [Hadis] yang Mulia) karya Jamaluddin Abu al-Hajjaj Yusuf bin Zarki Abdur Rahman bin Yusuf al-Qada’i al-Kalbi al-Maziyyi ad-Dimasqi asy-Syafi‘i (654 H/1256 M–742 H/1341 M).
Kitab an-Nukt az-zarf ‘ala al-Athraf (Petunjuk ke Arah Sudut Hadis) karya Ibnu Hajar al-Asqalani, dan Dakha’ir al-Mawarits fi ad-Dalalah ‘ala Mawadi‘ al-Hadits (Peninggalan Berharga Petunjuk ke Arah Topik Hadis) karya Abdul Gani bin Ismail bin Abdul Gani bin Islamil an-Nabilisi al-Hanafi ad-Dimasyqi (1050 H/1640 M–1143 H/1730 M).
(4) Takhrij berdasarkan tema hadis. Dilakukan dengan cara menelusuri hadis berdasarkan temanya, apakah bersifat umum atau tertentu (fikih, hukum atau tafsir).
Contoh kitab yang umum (mencakup semua topik) adalah Kanz al-‘Ummal fi Sunan al-Aqwal wa al-Af‘al (Perbendaharaan Amal dari Sunah Perkataan dan Perbuatan Nabi) karya al-Burhanpuri al-Hindi (w. 885), Miftah Kunuz as-Sunah (Kunci Pembuka Bendahara Sunah) karya A.J. Wensinck, al-Mugni ‘an haml al-Asfar fi Takhrij ma fi al-Ihya’ min al-Akhbar (Kitab Lengkap untuk Mengetahui dan Menghidupkan Hadis Nabi) karya al-Iraqi (w. 806), dan Kitab Nasb ar-Riwayah li Takhrij Ahadits ar-Riwayah (Kitab Riwayat untuk Mengetahui Hadis Riwayat) karya Jamaluddin Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf bin Muhammad Ayyub bin Musa al-Hanafi az-Zaila’i (w. 762 H/1361 M).
Selain itu terdapat kitab karya Ibnu Hajar al-Asqalani, yaitu ad-Dirayah fi Takhrij Ahadits al-Hidayah (Kitab Hadis Hidayah) dan at-Talkhis al-habir fi Takhrij Ahadits ar-Rafi‘ al-Kabir (Ringkasan dari Kitab Hadis Besar).
Kitab hadis hukum antara lain Muntaqa al-Akhbar min Ahadits Sayyid al-Akhyar SAW (Hadis Bersih dari Nabi Pilihan) karya Ibnu Taimiyah dan Bulug al-Maram (ke Arah Tujuan) karya Ibnu Hajar al-Asqalani. Contoh kitab yang berisi peringatan adalah Kitab at-Targib wa at-Tarhib min Ahadits asy-Syarif (Kitab Pembawa Kabar Suka dan Duka dari Hadis yang Mulia) karya al-Munziri (w. 556 H/1161 M).
Adapun kitab hadis tafsir misalnya ad-Durr al-Mantsur fi Tafsir bi al-Ma’tsir (Permata Tersembunyi dari Tafsir Riwayat) karya as-Suyuti dan Fath al-Qadir al-Jami‘ baina Fannay ar-Riwayah wa ad-Dirayah min ‘Ilm at-Tafsir (Pembuka Kekuatan, Sintesa dari Dua Bidang, Riwayah dan Dirayah dari Ilmu Tafsir) karya Muhammad bin Ali asy-Syaukani (w. 1250 H/1834 M).
(5) Takhrij berdasarkan sifat lahir hadis. Cara penelusuran ini dilakukan misalnya pada hadis mutawatir (diriwayatkan sejumlah orang pada setiap tingkat sanadnya), qudsi (maknanya berasal dari Allah SWT sedangkan lafalnya dari Nabi SAW), masyhur (diriwayatkan tiga perawi atau lebih, tetapi belum mencapai derajat mutawatir), mursal (diriwayatkan langsung dari tabiin), dan maudu‘ (hadis palsu).
Kitab yang memuat hadis-hadis mutawatir antara lain al-Azhar al-Mutanatsirah fi al-Akhbar al-Mutawatirah (Permata yang Memancar dari Hadis Mutawatir) karya Jalaluddin as-Suyuti. Kitab yang memuat hadis qudsi misalnya al-Itthafat as-Sunniyyah fi al-Ahadits al-Qudsiyyah (Persembahan Sunah dari Hadis Qudsi) karya al-Madani (w. 1200 H/1786 M). Kitab yang memuat hadis masyhur misalnya al-Maqasid al-hasanah fi Bayan Katsir min al-Ahadits al-Musytahirah (Tujuan yang Baik dalam Menjelaskan Sebagian Besar Hadis Masyhur) karya as-Sakhawi.
Kitab yang memuat hadis mursal misalnya al-Marasil (Hadis Mursal) karya Abu Dawud. Kitab yang memuat hadis daif (lemah) misalnya al-Maudu‘at, al-‘Ilal al-Mutanahiyyah fi al-Ahadits al-Wahiyyah, dan al-Manar al-Munif fi as-Sahih wa ad-da‘if (Cahaya yang Tinggi dalam Hadis Sahih dan Daif), ketiganya karya Ibnu Qayyim al-Jauziyah serta al-La’i al-Masnu‘at fi Ahadits al-Maudu‘at karya Jalaluddin as-Suyuti.
Manfaat. Beberapa manfaat yang diperoleh melalui takhrij adalah sebagai berikut.
(1) Mengetahui sumber hadis berdasarkan kitab utama (primer) hadis tersebut.
(2) Mengetahui jalur riwayat suatu hadis. Hal ini diperlukan karena suatu hadis dapat diriwayatkan melalui beberapa jalur. Misalnya, melalui takhrij dapat diketahui jumlah jalur suatu hadis yang diriwayatkan pada Sahih al-Bukhari, dan jumlah jalur hadis yang sama diriwayatkan pada kitab lainnya.
(3) Mengetahui rangkaian silsilah suatu hadis. Melalui cara ini dapat diketahui apakah suatu hadis bersambung sampai kepada Nabi SAW, terputus-putus atau terdapat sanad yang disembunyikan (i‘dal).
(4) Mengetahui kualitas jalur lain yang lebih baik di antara banyaknya jalur riwayat hadis. Hal ini diperlukan jika jalur sanad yang sudah ditemukan lemah kualitasnya.
(5) Menaikkan kualitas suatu hadis yang daif menjadi hasan atau sahih berdasarkan jalur lain yang kuat kualitasnya. Misalnya, sebuah hadis yang daif dapat menjadi kuat karena adanya jalur lain yang semakna dan syawahid (saksi) serta tawabi‘ (pendamping) yang menguatkan hadis tersebut.
(6) Mengetahui penilaian ulama terdahulu terhadap suatu hadis. Misalnya suatu hadis bernilai sahih, hasan, atau daif.
(7) Membedakan para perawi hadis yang memiliki nama yang sama, misalnya “dari Muhammad”, “dari Khalid”, atau “Abdullah”. Karena banyaknya nama yang sama dengan nama tersebut, melalui takhrij dapat diketahui Muhammad, Khalid atau Abdullah yang dimaksud.
(8) Menjelaskan ungkapan yang samar dari redaksi suatu hadis baik pada rawi maupun matan hadis itu sendiri. Misalnya ada ungkapan “‘an rajulin” (dari seseorang) “‘an fulanin” (dari si anu) atau “ja’a rajulun ila an-Nabi SAW” (telah datang seseorang kepada Nabi SAW). Melalui penelitian dari berbagai jalur dapat dilacak siapa yang dimaksud dengan rajul atau fulan pada hadis tersebut.
(9) Menghilangkan adanya kesan penghilangan rangkaian perawi (tadlis) pada hadis mu‘an‘an (hadis yang diriwayatkan dengan menggunakan lafal ‘an). Periwayatan hadis ini merupakan cara periwayatan yang tidak begitu jelas pelaksanaannya.
Dengan menggunakan jalur lain yang lebih jelas, yaitu menggunakan redaksi haddatsana (meriwayatkan kepadaku, yaitu penerimaan hadis dengan cara mendengar langsung dari guru yang secara aktif meriwayatkan kepada orang yang bersangkutan), akhbarana (periwayatan dengan cara tulisan), dan sami‘tu (periwayatan dengan cara mendengar pada suatu forum), penilaian terhadap hadis yang semula seperti terputus akan menjadi bersambung (muttasil).
(10) Menghilangkan kekhawatiran adanya hadis yang tercampur oleh perkataan perawi. Misalnya pada hadis yang diriwayatkan Imam Hanbali dari Aisyah binti Abu Bakar tentang beristinja dengan air. Dalam hadis tersebut dikatakan: “Suatu ketika Nabi masuk ke kakus, lalu beliau beristinja dengan air.
Beristinja dengan air dapat menyembuhkan wasir.” Ternyata, kata-kata terakhir (dalam matan berbunyi wa huwa syifa’ min al-basur) merupakan tambahan dari Aisyah. Hal ini dapat diketahui dengan cara membandingkannya melalui jalur lain, sehingga akan dapat dibedakan antara perkataan perawi dan perkataan Nabi SAW.
(11) Membatasi nama perawi. Pada nama orang Arab sering dicantumkan nama kunyah (gelar), misalnya dengan menyebut ibn pada Ibnu Abbas, Ibnu Umar, atau Abu pada Abu Bakar as-Siddiq atau Abu Hafs bagi Umar bin Khattab; laqab (gelar), misalnya Saif Allah bagi Ali bin Abi Thalib; dan nasab (marga, seperti al-Qusyairi bagi Imam Mus-lim).
Melalui takhrij, nama tersebut dapat dibatasi sehingga tidak terlalu panjang tetapi dapat dibedakan satu sama lain.
(12) Mengetahui kelengkapan suatu peristiwa yang diliput suatu hadis. Suatu hadis terkadang diriwayatkan dengan ungkapan yang kurang sesuai dengan makna yang dikehendaki. Hal ini dapat terjadi karena lemahnya daya tangkap sebagian periwayat. Dengan adanya jalur lain dapat diketahui secara lebih jelas maksud dan cakupan makna hadis tersebut.
(13) Menjelaskan makna kata-kata asing (garib) pada suatu matan hadis.
(14) Menghilangkan kesan syazz (rusak) pada suatu hadis. Dengan diketahuinya jalur lain yang lebih baik, kecacatan atau kerusakan suatu hadis dapat diselamatkan.
(15) Menjelaskan hadis yang terkadang diriwayatkan secara sepotong-sepotong. Dengan mengetahui jalur lain, dapat diketahui matan hadis seutuhnya.
(16) Menjelaskan hadis yang redaksinya kurang. Terkadang seorang perawi lupa meriwayatkan bagian-bagian tertentu dari suatu hadis. Dengan menggunakan jalur lain, dapat diketahui kekurangan suatu hadis.
(17) Mengetahui periwayatan hadis dengan lafal. Sebagian besar hadis diriwayatkan dengan makna. Dengan mengetahui jalur lain, dapat ditelusuri lafal asli suatu hadis.
(18) Menjelaskan waktu dan tempat terjadinya suatu hadis.
(19) Mengetahui peristiwa dan tokoh yang mendasari lahirnya hadis tersebut (asbab al-wurud).
(20) Mengetahui adanya nasikh dan mansukh pada suatu hadis.
Daftar Pustaka
al-Asqalani, Ibnu Hajar. Syarh Nukhbah al-Fikr fi Musthalah Ahl al-Atsar. Cairo: Dar at-Tiba‘ah al-Muhammadiyah, t.t.
Azami, M. M. Studies in Hadith Methodology and Literature, Indianapolis: American Trust Publications, 1977.
al-Baghdadi, Abu Bakar Ahmad bin Ali al-Katib, al-Kifayah fi ‘Ilm ar-Riwayah. Cairo: Dar al-Hadisah, 1972.
Faturrakhman. Ikhtisar Musthalah al-Hadis. Bandung: al-Ma‘arif, 1978.
Ibnu Abdul Hadi, Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul Qadir. Íuruq Takhrij Hadits Rasul Allah SAW. t.tp.: Dar al-I’tisam, t.t.
Ibnu Salah. ‘Ulum al-Hadits. Madinah: Maktaba al-’Ilmiyah, 1972.
al-Idlibi, Salahuddin bin Ahmad. Manhaj Naqd al-Matn ‘ind ‘Ulama’ al-Hadits an-Nabawi. Beirut: Dar al-Afaq al-Jadida, 1983.
al-Khatib, Muhammad Ajaj. Ushul al-Hadits ‘Ulumuhu wa Musthalahuhu. Beirut: Dar al-Fikr, 1989.
al-Qasimi, Muhammad Jamaluddin. Qawa‘id at-Tahdits min Funun Musthalah al-Hadits. Beirut: Dar Ihya’ as-Sunnah an-Nabawiyyah, t.t.
as-Salih, Subhi. ‘Ulum al-Hadits wa Musthalahuh. Beirut: Dar al-‘llm li al-Malayin, 1988.
Atjeng Achmad Kusaeri