Ilham secara kebahasaan berarti “menelan, meneguk, mengajarkan, dan mewahyukan”. Terminologisnya ilham berarti “sesuatu yang disampaikan Allah SWT ke dalam jiwa sehingga ia merasa terdorong atau dibangkitkan untuk mengerjakan atau meninggalkan sesuatu”.
Menurut az-Zarkasyi (ahli tafsir), dalam kitab al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an, ilham berarti “memberi pelajaran atau mengajar”. Tuhan memberikan pelajaran itu adakalanya dengan menciptakan ilmu yang diperlukan manusia atau dengan cara menunjukkan dalil yang dibawa nabi dan didukung akal.
Dalam Al-Qur’an, ilham hanya disebut satu kali, yaitu dalam surah asy-Syams (91) ayat 8 yang berarti: “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” Menurut Imam at-Tabari, ahli tafsir, terdapat dua penafsiran tentang ilham:
(1) Allah SWT menjelaskan sesuatu pada nafs (jiwa) yang pantas untuk dikerjakan atau ditinggalkan, baik berupa kebaikan atau keburukan; dan
(2) Allah SWT menjadikan kefasikan dan ketakwaan dalam jiwa. Mana saja yang dominan di antara kedua itu akan ber pengaruh terhadap perilaku manusia. Menurut Muhammad Abduh, definisi ilham adalah “perasaan halus yang membuat jiwa merasa yakin dan terdorong pada apa yang dicarinya, tanpa merasa atau mengetahui dari mana datangnya”.
Allah SWT dikenali melalui dua jalan: (1) Allah SWT memberi ilham kepada sebagian manusia untuk mengetahui-Nya, dan (2) Allah SWT memberikan wahyu kepada para nabi untuk menyampaikan ajaran-Nya kepada umat manusia.
Ilham memiliki persamaan dengan wahyu; keduanya merupakan media penerimaan ilmu pengetahuan atau pengetahuan yang didapat secara cepat dan rahasia dalam jiwa tanpa dipelajari lebih dahulu. Perbedaannya, ilham dapat berisi ilmu pengetahuan, peras-aan halus, insting, atau berupa tabiat yang diberikan kepada semua manusia atau hewan.
Adapun wahyu diberikan khusus kepada nabi yang datangnya dari Allah SWT melalui malaikat dan ada kewajiban untuk menyampaikannya kepada seluruh manusia. Pendapat lain menyebutkan, ilham merupakan emanasi dari Allah SWT namun tidak diketahui bagaimana dan mengapa ilham itu diturunkan.
Ada perbedaan ilham dengan ilmu. Ilmu merupakan sesuatu yang dipelajari, bersandar pada pemikiran dan penyelidikan, serta memerlukan usaha yang terus-menerus, sedangkan ilham adalah se suatu yang diperoleh tanpa melalui proses pemikiran dan penyelidikan serta tidak memerlukan usaha untuk mempelajarinya.
Ilham juga berbeda dengan rasa waswas atau keraguan hati. Ilham datang melalui akal fa‘al (malaikat), sedangkan waswas datang dari setan. Menurut Imam al-Ghazali (1058 M–19 Desember 1111 M), jika berupa kebaikan, pengetahuan itu dapat disebut ilham, dan apabila berupa kejelekan maka itu adalah waswas yang datang dari setan.
Bagi sufi, ilham mempunyai arti penting dalam kaitannya dengan tujuan mereka mencapai makrifat/ mahabah kepada Allah SWT. Dalam hal ini, jika dianggap sebagai tingkatan (maqam), maka makrifat termasuk usaha. Apabila dipahami sebagai hal, makrifat memerlukan atau menunggu pemberian Allah SWT.
Ada yang berpendapat bahwa makrifat kepada Allah SWT yang diperoleh melalui ilham tidak meyakinkan, tetapi Imam al-Ghazali memahami ilham sebagai nur Allah SWT yang memancar pada jiwa manusia sebagai kasyf (penerang/ pembuka), sehingga mengetahui rahasia Ketuhanan dan mengetahui hukum yang meliputi segala hal yang wujud.
Secara umum dapat dipahami bahwa ilham dapat diperoleh tanpa usaha, namun Allah SWT menurunkan ilham tertentu kepada orang yang memang pantas untuk menerimanya. Mereka melakukan usaha, meskipun pada akhirnya menunggu pemberian dari Allah SWT.
Daftar Pustaka
as-Suyuti, Jalaluddin Abdur Rahman bin Abi Bakar. al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an. Beirut: Dar al-Fikr, 1979.
at-Tabari, Abi Ja’far Muhammad bin Jarir. Jami‘ al-Bayan ‘an Ta’wil ayi Al-Qur’an. Cairo: Isa al-Babi al-Halabi, 1954.
az-Zarkasyi, Badruddin Muhammad bin Abdullah. al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an. Beirut: Dar al-Fikr, 1988
Ahmad Rofiq